Indonesia dan Kemitraan Trans-Pasifik
Iman Pambagyo ; Mantan Duta Besar Indonesia
untuk Organisasi Perdagangan
Dunia
|
KOMPAS,
15 Januari 2016
Sejak Presiden Joko Widodo menyatakan Indonesia berniat
bergabung ke dalam pakta, sebagian besar pendapat yang disuarakan adalah
penolakan terhadap gagasan untuk bergabung ke dalam Kemitraan Trans-Pasifik.
Berbagai alasan telah dikemukakan. Singkatnya adalah bahwa
Indonesia belum siap dan tidak akan mampu bersaing dengan sesama anggota
Kemitraan Trans-Pasifik (Trans-Pacific
Partnership/TPP).
Sejumlah kalangan merespons penolakan ini dengan menyatakan
Indonesia perlu bergabung agar tidak dikalahkan, antara lain, oleh Vietnam
dan Malaysia dalam memasarkan produk alas kaki dan pakaian jadi ke pasar Amerika
Serikat. Kedua kubu tentu ada benarnya, tetapi itu baru berupa
potongan-potongan yang belum utuh dan, karenanya, mungkin sedikit bias.
Reformasi
ekonomi
Pengalaman Indonesia dalam perjanjian-perjanjian preferensi,
baik yang bersifat bilateral dengan Jepang, regional dalam ASEAN, maupun
bersama ASEAN dengan enam mitra dagangnya, menyajikan pelajaran amat
berharga. Kita tidak pandai untuk lekas menyesuaikan diri dan mencoba
sungguh-sungguh menjadi pemenang melalui skema-skema tersebut.
Dalam perjanjian preferensi, seperti Masyarakat Ekonomi ASEAN
(MEA), Kawasan Perdagangan Bebas (KPB) ASEAN-Tiongkok, KPB
ASEAN-Australia-Selandia Baru, TPP, ataupun regional, kita juga luput
memahami bahwa kesepakatan seperti kawasan perdagangan bebas atau kemitraan ekonomi
sebetulnya menawarkan kesempatan melakukan reformasi bersama-sama. Setiap
pemerintah pasti berupaya memperbaiki rezim perdagangan dan investasinya dari
waktu ke waktu untuk dapat terus bersaing dalam dunia yang terus berubah.
Pemerintah dapat memilih melakukannya sendiri. Namun, pemerintah
dapat juga memilih untuk melakukannya bersama negara lain dalam sebuah
perikatan, seperti kawasan perdagangan bebas atau perjanjian kemitraan
ekonomi lain dengan bonus peningkatan akses pasar dan pendalaman sumber
investasi asing. Karena itu, perjanjian preferensi seharusnya tidak dilihat
semata-mata sebagai ancaman, tetapi sebagai kesempatan melakukan reformasi
bersama negara mitra dengan bonus berupa tambahan akses pasar ekspor dan
kesempatan menarik pemodal asing.
Dalam konteks inilah kita dapat memahami keputusan Vietnam,
Peru, atau Malaysia, untuk bergabung ke dalam TPP, yaitu melakukan reformasi
bersama dan mendapatkan bonusnya. Sebagai negara yang sedang berkembang,
mereka juga mendapatkan sejumlah kelonggaran dalam TPP, terutama dalam bentuk
jangka waktu lebih panjang untuk memenuhi komitmen tertentu, sementara mereka
melaksanakan reformasi kebijakannya.
Revolusi cara
pikir
Berbeda dari perjanjian kemitraan regional sebelumnya, TPP
disebut-sebut sebagai sebuah model perjanjian masa depan.
Kita boleh tidak setuju apabila isu-isu nirperdagangan seperti
itu dikaitkan dengan perdagangan. Pasar, khususnya di negara maju, sudah
semakin dipengaruhi sentimen konsumen yang tidak dapat diabaikan.
Baik diingat bahwa ketika ratusan pekerja pabrik garmen di
Banglades tewas terjebak kebakaran pada akhir 2012 dan awal 2013, importir
pakaian di Amerika lekas-lekas mengalihkan pesanannya ke negara lain karena
khawatir pakaian buatan Banglades akan dijauhi konsumen. Hal yang kurang
lebih sama terjadi ketika lahan perkebunan sawit di Indonesia terbakar hebat
dan berdampak negatif di negara tetangga sehingga beberapa produk berbasis
sawit dari Indonesia diturunkan dari lemari-lemari jual di sejumlah gerai
modern.
Intinya, dunia terus berubah dan persaingan semakin ketat.
Berbagai isu yang pada dua atau tiga dasawarsa lalu tidak terkait dengan
masalah perdagangan dan investasi antarnegara kini jadi isu yang perlu
dipertimbangkan jika sebuah negara ingin berada di kelas utama. Ini
memerlukan revolusi dalam cara berpikir untuk dapat melihat jauh ke depan dan
mengambil langkah antisipatif sekarang. Tidak menunda-nunda, apalagi
menghindarinya.
Koordinasi dan sinkronisasi kebijakan antarsektor juga perlu
mendapat prioritas jika Indonesia ingin meningkatkan ekspor dan menarik
investasi asing. Kawasan perdagangan bebas atau perjanjian kemitraan di masa
depan tidak lagi merupakan masalah perdagangan saja, tetapi juga masalah
tenaga kerja, investasi, lingkungan, korupsi, UKM, BUMN, transparansi
peraturan, dan lain-lain.
Di dunia yang semakin terpolarisasi ke dalam berbagai perjanjian
preferensi, sulit dibayangkan bahwa Indonesia dapat meningkatkan ekspornya
secara signifikan dan menarik investasi asing secara masif apabila tidak ikut
bermain di dalamnya. Alasan yang sering dikemukakan mengenai TPP dan MEA
adalah ”Indonesia tidak siap”. Pendapat ini mungkin ada benarnya, terutama
jika kita berpikir dalam konteks kekinian, hari ini saja.
Namun, apabila alasan ”tidak siap” ini membuat kita
tenang-tenang saja seperti biasa dan tak menyelesaikan pekerjaan rumah yang
begitu lama tertunda, kita tak akan pernah naik kelas. Artinya, kita tak
dapat meningkatkan ekspor dan mengundang investasi asing secara signifikan,
ekspor akan terus bergantung pada komoditas primer, pertumbuhan ekonomi tetap
bergantung pada konsumsi domestik, lapangan kerja baru sulit diciptakan,
dan—karenanya—kesejahteraan umum sulit ditingkatkan.
Pilihan sungguh ada pada kita sendiri. Akan tetapi, seperti
digaungkan Presiden Joko Widodo, kita perlu melakukan revolusi mental agar
tak lagi melihat dunia hari ini dengan kacamata 20-30 tahun lalu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar