Tri
Rismaharini, Dibenci dan Dicintai
Ardi Winangun ;
Pengamat
Politik
|
DETIKNEWS,
11 September 2014
Di
tengah kesuksesan Walikota Tri Rismaharini dalam memimpin Kota Surabaya,
ternyata prestasi yang demikian tidak membuat PDIP mengusung Risma kembali
dalam Pemilu Walikota 2015. Hal demikian dikatakan oleh Ketua DPD PDI Jawa
Timur Bambang DH. Sebelumnya, partai berlambang banteng moncong putih itu
mengusung perempuan alumni ITS itu dalam Pemilu Walikota 2010. Alasan PDIP
tidak mengusung Risma sebab disebut Risma selama ini kerjanya hanya melakukan
pencitraan.
Tentu
alasan yang demikian bisa dikatakan mengada-ada. Mengapa tuduhan serupa tidak
dialamatkan kepada Jokowi atau kepala daerah lain yang berasal dari PDIP
seperti Gubenur Jawa Tengah Ganjar Pranowo. Kalau disebut PDIP akan mencari
calon kepala daerah yang suka kerja keras; bukankah Risma sudah bekerja
keras.
Benarkah
PDIP tidak mengusung Risma? Meski sudah ada lontaran dari Bambang DH namun
ucapan itu belum final, belum ada keputusan resmi. Seperti biasanya,
keputusan di PDIP, meski menggunakan kata demokrasi, namun semuanya berada di
tangan Ketua Umum PDIP Megawati. Jadi diusung atau tidaknya Risma oleh PDIP
semuanya tergantung pada Megawati. Meski Bambang DH mengatakan yang demikian,
kalau Megawati berpikir sebaliknya, maka ludah yang sudah dibuang oleh
Bambang DH akan dijilat kembali.
Bambang
DH dan rekan-rekannya mengatakan demikian bisa jadi dilandasi alasan,
pertama, meski Risma sukses membangun dan mengelola Surabaya, terbukti dari
banyaknya penghargaan yang diterima dari berbagai lembaga dunia, serta adanya
pembangunan yang langsung dirasakan oleh masyarakat namun polah tingkat Risma
dirasa oleh Bambang DH dan rekan-rekannya terlalu kebablasan.
Risma
dirasa oleh mereka sulit diatur dan bekerja semaunya sendiri, meski oleh
masyarakat hal yang demikian dianggap bagus. Misalnya, dalam soal penggusuran
lokalisasi Gang Dolly, Risma tutup mata, tutup telinga, dan tutup mulut
ketika langkahnya itu tidak segaris dengan rival-rivalnya di partai yang
menolak langkah-langkah Risma dalam soal penutupan lokalisasi Gang Dolly.
Sikap
pantang mundur Risma dalam penutupan Gang Dolly inilah bisa jadi yang membuat
rival-rivalnya di partai kecewa dengannya. Soal Gang Dolly bisa jadi puncak
kebencian rival-rivalnya di partai kepada Risma, sebab sebelumnya banyak
langkah Risma dalam menata kota pahlawan ternyata merugikan para pencari
untung atau pemburu rente. Akumulasi kekecewaan itulah yang membuat Bambang DH
menyatakan tidak akan mengusung Risma lagi.
Kedua,
apa yang dikatakan Bambang DH tadi bisa jadi hanya sebatas test the water, menguji reaksi publik
pada suatu wacana atau isu. Test the water ini sama seperti survei. Survei
kepada elektabilitas Risma saat ini belum digelar sehingga hasilnya belum
diketahui. Dengan menggunakan test the water maka akan diketahui sejauh mana
respons masyarakat, bila respons masyarakat tinggi maka menunjukkan potensi
Risma untuk menang tinggi. Demikian sebaliknya.
Dari
respons masyarakat terhadap lontaran Bambang DH ternyata banyak orang dan
partai politik menyayangkan sikap yang demikian. Sampai-sampai partai lain
siap mengusung Risma. Dengan adanya respons yang demikian maka Risma
merupakan sosok yang potensial untuk menang dalam Pemilu Walikota yang akan
datang.
Dengan
respons masyarakat dan partai politik lain yang masih menginginkan Risma maka
PDIP bisa mengambil langkah selanjutnya. Bila responnya positif maka PDIP
harus tetap memberi tiket Risma dalam Pemilu Walikota bila ingin tetap
berkuasa di Surabaya.
Dalam
fenomena kepala daerah yang terkadang tidak menurut partai pengusung,
saat-saat ini sedang ngetrend. Di era keterbukaan, kepala daerah berani tidak
menjalankan instruksi partai. Namun cara seperti ini tidak semua kepala
daerah bisa. Kepala daerah yang berani melawan instruksi partai biasanya
mereka yang kerjanya sungguh-sungguh dan langsung melihat proses pembangunan
yang dilakukan di lapangan.
Cara
kerja kepala daerah yang demikian memang bagus, di mana proses pembangunan
yang dilaksanakan meski baru seumur jagung namun masyarakat sudah bisa
merasakan ada tanda-tanda perbaikan. Sosok yang demikian tidak hanya ada pada
Risma, ada beberapa kepala daerah dan wakilnya seperti itu, misalnya Wakil
Gubenur Jakarta, Ahok, juga mempunyai sikap yang demikian. Selama ini dirinya
nyaris tidak pernah bersentuhan dengan partai yang mengusungnya, Partai
Gerindra.
Bila
kita meminjam apa yang pernah dikatakan Presiden Filipina, 1935-1944, Manuel
L. Quezon, loyalitasku kepada partai
berakhir ketika loyalitasku kepada bangsa dimulai, memang harus diresapi
oleh Presiden dan kepala daerah di Indonesia. Pepatah ini penting sebab bila
mereka masih mendahulukan loyalitas kepada partai, maka proses pembangunan
yang dilakukan tidak akan maksimal.
Idealisme
yang ada menjadi tumpul bila terhambat kepentingan partai yang terkadang
tidak berpihak kepada rakyat. Bayangkan bila Risma lebih memilih loyal kepada
partai, tentu Gang Dolly sampai sekarang tetap akan buka. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar