Minggu, 14 September 2014

Tri Rismaharini, Dibenci dan Dicintai

Tri Rismaharini, Dibenci dan Dicintai

Ardi Winangun  ;   Pengamat Politik
DETIKNEWS, 11 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

Di tengah kesuksesan Walikota Tri Rismaharini dalam memimpin Kota Surabaya, ternyata prestasi yang demikian tidak membuat PDIP mengusung Risma kembali dalam Pemilu Walikota 2015. Hal demikian dikatakan oleh Ketua DPD PDI Jawa Timur Bambang DH. Sebelumnya, partai berlambang banteng moncong putih itu mengusung perempuan alumni ITS itu dalam Pemilu Walikota 2010. Alasan PDIP tidak mengusung Risma sebab disebut Risma selama ini kerjanya hanya melakukan pencitraan.

Tentu alasan yang demikian bisa dikatakan mengada-ada. Mengapa tuduhan serupa tidak dialamatkan kepada Jokowi atau kepala daerah lain yang berasal dari PDIP seperti Gubenur Jawa Tengah Ganjar Pranowo. Kalau disebut PDIP akan mencari calon kepala daerah yang suka kerja keras; bukankah Risma sudah bekerja keras.

Benarkah PDIP tidak mengusung Risma? Meski sudah ada lontaran dari Bambang DH namun ucapan itu belum final, belum ada keputusan resmi. Seperti biasanya, keputusan di PDIP, meski menggunakan kata demokrasi, namun semuanya berada di tangan Ketua Umum PDIP Megawati. Jadi diusung atau tidaknya Risma oleh PDIP semuanya tergantung pada Megawati. Meski Bambang DH mengatakan yang demikian, kalau Megawati berpikir sebaliknya, maka ludah yang sudah dibuang oleh Bambang DH akan dijilat kembali.

Bambang DH dan rekan-rekannya mengatakan demikian bisa jadi dilandasi alasan, pertama, meski Risma sukses membangun dan mengelola Surabaya, terbukti dari banyaknya penghargaan yang diterima dari berbagai lembaga dunia, serta adanya pembangunan yang langsung dirasakan oleh masyarakat namun polah tingkat Risma dirasa oleh Bambang DH dan rekan-rekannya terlalu kebablasan.

Risma dirasa oleh mereka sulit diatur dan bekerja semaunya sendiri, meski oleh masyarakat hal yang demikian dianggap bagus. Misalnya, dalam soal penggusuran lokalisasi Gang Dolly, Risma tutup mata, tutup telinga, dan tutup mulut ketika langkahnya itu tidak segaris dengan rival-rivalnya di partai yang menolak langkah-langkah Risma dalam soal penutupan lokalisasi Gang Dolly.

Sikap pantang mundur Risma dalam penutupan Gang Dolly inilah bisa jadi yang membuat rival-rivalnya di partai kecewa dengannya. Soal Gang Dolly bisa jadi puncak kebencian rival-rivalnya di partai kepada Risma, sebab sebelumnya banyak langkah Risma dalam menata kota pahlawan ternyata merugikan para pencari untung atau pemburu rente. Akumulasi kekecewaan itulah yang membuat Bambang DH menyatakan tidak akan mengusung Risma lagi.

Kedua, apa yang dikatakan Bambang DH tadi bisa jadi hanya sebatas test the water, menguji reaksi publik pada suatu wacana atau isu. Test the water ini sama seperti survei. Survei kepada elektabilitas Risma saat ini belum digelar sehingga hasilnya belum diketahui. Dengan menggunakan test the water maka akan diketahui sejauh mana respons masyarakat, bila respons masyarakat tinggi maka menunjukkan potensi Risma untuk menang tinggi. Demikian sebaliknya.

Dari respons masyarakat terhadap lontaran Bambang DH ternyata banyak orang dan partai politik menyayangkan sikap yang demikian. Sampai-sampai partai lain siap mengusung Risma. Dengan adanya respons yang demikian maka Risma merupakan sosok yang potensial untuk menang dalam Pemilu Walikota yang akan datang.

Dengan respons masyarakat dan partai politik lain yang masih menginginkan Risma maka PDIP bisa mengambil langkah selanjutnya. Bila responnya positif maka PDIP harus tetap memberi tiket Risma dalam Pemilu Walikota bila ingin tetap berkuasa di Surabaya.

Dalam fenomena kepala daerah yang terkadang tidak menurut partai pengusung, saat-saat ini sedang ngetrend. Di era keterbukaan, kepala daerah berani tidak menjalankan instruksi partai. Namun cara seperti ini tidak semua kepala daerah bisa. Kepala daerah yang berani melawan instruksi partai biasanya mereka yang kerjanya sungguh-sungguh dan langsung melihat proses pembangunan yang dilakukan di lapangan.

Cara kerja kepala daerah yang demikian memang bagus, di mana proses pembangunan yang dilaksanakan meski baru seumur jagung namun masyarakat sudah bisa merasakan ada tanda-tanda perbaikan. Sosok yang demikian tidak hanya ada pada Risma, ada beberapa kepala daerah dan wakilnya seperti itu, misalnya Wakil Gubenur Jakarta, Ahok, juga mempunyai sikap yang demikian. Selama ini dirinya nyaris tidak pernah bersentuhan dengan partai yang mengusungnya, Partai Gerindra.

Bila kita meminjam apa yang pernah dikatakan Presiden Filipina, 1935-1944, Manuel L. Quezon, loyalitasku kepada partai berakhir ketika loyalitasku kepada bangsa dimulai, memang harus diresapi oleh Presiden dan kepala daerah di Indonesia. Pepatah ini penting sebab bila mereka masih mendahulukan loyalitas kepada partai, maka proses pembangunan yang dilakukan tidak akan maksimal.

Idealisme yang ada menjadi tumpul bila terhambat kepentingan partai yang terkadang tidak berpihak kepada rakyat. Bayangkan bila Risma lebih memilih loyal kepada partai, tentu Gang Dolly sampai sekarang tetap akan buka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar