Rabu, 24 September 2014

Program Prioritas Jokowi di Papua

Program Prioritas Jokowi di Papua

Tito Panggabean ;   Peneliti Masyarakat dan Kebudayaan Papua;
 Anggota Asosiasi Antropologi Indonesia
KOMPAS, 24 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

JOKO WIDODO tiba di Pasar Baru Sentani sekitar pukul 08.50 WIT, Kamis, 5 Juni 2014. Seperti kebiasaannya, Jokowi blusukan ke pasar-pasar di Papua dalam rangka kampanyenya. Salah satu pasar yang dikunjungi Jokowi adalah pasar mama-mama, yakni tempat berjualan para ibu orang ”asli Papua”. Jokowi menjanjikan pembangunan pasar mama-mama sebagai salah satu prioritas programnya.

Pembangunan pasar harus disambut baik, terutama keberpihakan presiden baru kita untuk pemberdayaan mama-mama atau perempuan Papua yang selama ini sering tersisih. Keinginan untuk membangun tempat berjualan yang layak, bersih, dan sehat bagi mama-mama diharapkan menjadi salah satu daya tarik bagi pembeli, sekaligus mampu bersaing dengan pasar modern (supermarket).

Namun, Jokowi harus diingatkan: membangun tempat berjualan (pasar) buat mama-mama tidak sekadar fisik, juga membangun kebudayaan yang berorientasi pasar bagi mama-mama orang Papua asli itu. Sejauh ini mama-mama itu dianggap berjualan sangat kaku, tidak mau tawar-menawar, dan lebih memilih barang tidak laku daripada menjual dengan harga pasar yang tidak sesuai dengan keinginannya. Gaya berjualan, mematok harga yang kurang berorientasi pada sistem pasar, menyebabkan para penjual sayur-mayur orang Papua itu kalah bersaing dengan orang non-Papua yang berjualan jenis sayur yang sama. Pemandangan seperti itu dapat ditemui di hampir semua pasar di kabupaten maupun kecamatan.

Interaksi di ruang publik

Mama atau perempuan Papua jarang tampil, atau bahkan tidak punya tempat, di ruang publik. Barangkali hanya pasar tempat mereka ambil bagian dalam interaksi di ruang publik. Mama atau perempuan sudah terlampau sibuk dengan urusan domestik. Sejak mengandung, membesarkan anak, dan harus memberi makan anak, orangtua, suami, dan bahkan ternak peliharaan setiap hari, ia tidak punya waktu lagi berurusan dengan ”dunia luar”. Perempuan juga tidak biasa berpidato di ruang publik.

Bahkan, setinggi pendidikan sarjana sekalipun, perempuan harus merendah, dan sering kali mengungkapkan ekspresinya dengan berbisik-bisik dengan kerabat perempuan lainnya. Dalam kegiatan di kampung, perempuan hanya sebagai penyedia makanan dan minuman, duduk di belakang laki-laki setelah makanan dan minuman siap saji.

Tempat mama-mama adalah di rumah menjaga anak dan orangtua atau di kebun menanam dan memetik hasilnya untuk kebutuhan anggota keluarga dan ternak peliharaan. Pagi sudah bangun menyiapkan makanan buat keluarganya, kemudian ke kebun bersama anak-anaknya yang masih kecil, kembali dari kebun membawa hasil, mencuci, menyisihkan sebagian untuk makanan ternak, memasak, menyiapkan makanan untuk keluarga, demikian seterusnya setiap hari.

Berjualan hasil kebun belum lama dikenalnya. Pasar mulai dikenal sejak adanya pendatang ke Papua. Apalagi sistem ekonomi pasar yang profit oriented hanya samar-samar dipahami oleh mereka. Bagi mama-mama, kalkulasi penjualan hasil sayur-mayur di pasar diperhitungkan berdasarkan kebutuhan rumah tangganya. Mama membutuhkan garam, vetsin, gula, kopi, minyak goreng, dan beras, maka penjualan sayur-mayur yang dilakukan adalah untuk meraih kebutuhan domestik itu.

Dasar berhitung itu yang dipakai untuk menentukan harga sayuran yang dijual. Ia menjual setumpuk ubi, singkong, tomat, sayuran dengan perhitungan bahwa keuntungan itu akan setimpal untuk membeli kebutuhan rumah tangganya.

Berjualan bagi para mama itu bukan mencari surplus keuntungan, melainkan lebih mendasarkan pada pemenuhan kebutuhan domestiknya. Cara berpikir seperti ini mengingatkan pada cara ekonomi barter pada kebudayaan-kebudayaan masyarakat berburu dan meramu. Hal yang paling mengkhawatirkan dalam cara berpikir masyarakat meramu di era ekonomi pasar seperti sekarang ini adalah mereka berhenti berjualan sampai uang hasil jualannya habis, kemudian kembali lagi berjualan: ”mereka menikmati hasil keringat sebelum keringat mereka kering”.

Ini yang amat dihindari oleh mereka yang terlibat dalam ekonomi pasar, yang kalau berhenti berjualan dalam sehari saja akan membuat pembeli berpindah ke penjual lain. Pembeli adalah raja, karena itu trik-trik menggaet dan menjalin hubungan dengan pembeli serta mempertahankan pelanggan adalah keuntungan.

Program pemberdayaan

Program pemberdayaan bagi masyarakat Papua bukan tak pernah dilakukan. Pemerintah daerah maupun lembaga swadaya masyarakat acap kali melakukan, tetapi kerap terbentur kebudayaan setempat yang sering kali menganggap orang lokal malas, tidak disiplin, kurang gairah, tidak ada target. Pengenalan program business development bagi orang Papua, terutama mama-mama yang baru mengenal ekonomi pasar, seperti sebuah kejutan kebudayaan.

Pernah dibuat program budidaya tanaman pangan, sayur-mayur, juga pembuatan tepung dari singkong dan ubi, peternakan babi, sapi, ayam, sampai tata kelola koperasi, dan cara berjualan yang maksudnya agar penghasilan mama-mama meningkat. Namun, program pemberian modal bibit, peralatan, bangunan pasar, dan modal uang, di samping pelatihan keterampilan, berakhir tanpa hasil optimal sejalan berakhirnya proyek itu.

Pengenalan program-program pemberdayaan ekonomi keluarga semakin runyam sebab sosialisasi yang ditujukan kepada para perempuan atau mama-mama justru kebanyakan dihadiri para tokoh masyarakat yang umumnya laki-laki. Kebudayaan yang menonjolkan peran laki-laki yang seolah menjadi haknya tampil di ruang publik bisa salah kaprah ketika pemerintah memperkenalkan  program budidaya sayur-mayur, perkebunan kopi, misalnya. Sebab, pekerjaan laki-laki sebatas membuka lahan menjadi kebun, selebihnya—mulai dari pembibitan, pemeliharaan, pengawasan, sampai dengan panen—dikerjakan istri mereka.

Saya tidak mengetahui siapa mama-mama yang ditemui Jokowi di Jayapura. Tetapi perlu untuk mengidentifikasi pemahaman mereka tentang sistem ekonomi pasar dan pemahaman kita tentang kebudayaan Papua.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar