Rabu, 24 September 2014

Negara Tak Berdaya dengan Asap

Negara Tak Berdaya dengan Asap

Chaidir Anwar Tanjung ;   Jurnalis di detikcom, Bermukim di Riau
DETIKNEWS, 22 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

Serasa berada di negeri berawan. Begitulah bila 'musim' asap telah tiba di Riau. Negara tak berdaya untuk mengatasi kebakaran lahan dan hutan.

Kebakaran hutan dan lahan, sebenarnya sudah belasan tahun yang lalu terjadi. Pada tahun 1997 silam, agaknya itu menjadi puncak tertinggi soal kebakaran lahan khususnya di Riau

Bila mengingat masa itu, Bumi Riau saat benar-benar gelap dikepung asap. Jarak pandang tak sampai 10 meter. Kadang kita terkejut tengah berjalan kaki, tiba-tiba berpapasan dengan pejalan kaki lainnya atau pengendara.

Pengalaman itu, terus berulang hingga saat ini. Yang patut kita simak, apakah di Indonesia ini hanya Sumatera dan Kalimantan saja yang punya hutan dan lahan? Jawabannya tentu tidak.

Namun saban tahun Bumi Melayu itu seakan menjadi mesin penggiling hutan dan lahan yang paling dahsyat di Indonesia. Hutan dan lahan luluh lantak dibakar, lantas bila sudah bersih dijadikan areal perladangan atau perkebunan kelapa sawit. Apakah milik masyarakat atau perusahaan dalam skala kecil dan besar.

Era tahun 2006 kebakaran hutan juga pernah terjadi nyaris separah yang pernah terjadi di tahun 1997 silam. Sejumlah negara tetangga termasuk Australia mencoba membantu untuk mengatasi kebakaran itu. Mereka menurunkam tim ke Riau. Ini karena efek asap sudah menyeberang sampai ke negara Malaysia dan Singapura.

Padahal kehadiran para pemadam dari berbagai negara tetangga itu sebenarnya tak banyak membantu di lapangan. Mereka tak bisa beradaptasi dengan kondisi ril di lapangan. Tercatat saat itu tim pemadam Malaysia dan Singapura banyak yang sesak nafas dan harus dikembalikan ke negaranya.
Tim asing itu, tak pernah berada di gardu depan dalam memadamkan kobaran api. Kesatria sesungguhnya adalah tim dari negeri ini sendiri. Setelah api padam yang sebenarnya adalah usaha tim Indonesia, namun di mata internasional seakan tim tamu yang telah sukses memadamkan kobaran api di hutan.

Sadar akan opini publik internasional yang menyanjung tim tamu, pemerintah Indonesia tak lagi mau dibantu negara tetangga. Itu sebabnya, dua tahun terakhir ini, ketika kabut asap melanda Riau, pemerintah tak mau lagi menerima tawaran bantuan dari negara lain.

Pemerintah kita mengerahkan TNI/Polri dengan jumlah lebih dari 1.500 personel ditambah ribuan tenaga masyarakat. Terlepas tertolong oleh cuaca hujan buatan ataupun hujan alami, yang pasti kobaran api bisa dipadamkan. Sikap Presiden SBY yang menolak bantuan pihak asing itu, patut kita acungi jempol. Tapi ini hanya urusan bantuan tim asing untuk memadamkan kobaran api di hutan.

Saya menilai wajarlah, SBY menolak tim pemadam negara tetangga. Karena memang kitalah yang paling tahu bagaimana sebenarnya untuk menjinakkan si jago merah yang membara di lahan gambut di daerah kita sendiri.

Yang tidak habis pikir, kebakaran hutan dan lahan, terus berlanjut. Banyak sudah tenaga terkuras, banyak sudah dana terbuang. Ratusan miliar dana terkuras hanya untuk dana operasional dalam memadamkan api. Itu belum kita hitung kerugian materil lingkungan, kerugian sektor bisnis, kerugian kesehatan masyarakat, ancaman terhadap satwa liar. Maka jika dikalkulasikan, negara ini sudah kehilangan ratusan triliun hanya untuk urusan asap di Riau.

Kalau kita sebut pemerintah tak melakukan sosialisasi ke masyarakat agar tak membakar, agaknya tak mungkin. Karena selama ini berbagai pendekatan sudah dilakukan. Pengumpulan seluruh kepala desa untuk menyampaikan ke warganya jangan membakar, sudah berulang kali dilaksanakan.

Penangkapan pelaku pembakar hutan dengan ancaman hukuman lingkungan juga ditegakkan. Perusahaan yang ikut terlibat membakar turut terseret. Mulai dari Presiden Soeharto menjelang lengser, pindah ke BJ Habibie, lanjut ke Gus Dur, beralih ke Megawati Soekarnoputri, sampai ke Presiden SBY dua periode, asap-asap dari perut bumi Riau terus mengepul.

Presiden SBY malah sempat menginap dua malam di Riau pada tahun ini hanya karena asap. SBY turun langsung ke lapangan untuk melihat secara dekat bagaimana sebenarnya kondisi kebakaran itu. Dia satu-satunya presiden yang pernah turun langsung ke lapangan untuk melihat kebakaran lahan di Riau.

Agaknya, Pemerintah Pusat pun bingung, Pemprov Riau apa lagi. Pemkab yang ada di Riau pun tak berdaya mengatasi soal asap. Bagaimana tak bingung, kasus yang sama terus terulang. Dan anehnya, di provinsi lain tak pernah terjadi seperti di Riau. Malah sekarang intensitas kabut asap sudah kayak makan obat, setahun 3 kali terjadi.

Kita sama-sama bingung, metode apa lagi yang harus dijalankan untuk mengatasi kebakaran hutan. Mungkin jawaban yang paling cocok adalah, kebakaran itu akan berhenti sendiri setelah hutan tak ada lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar