Rabu, 24 September 2014

Menjaga Demokrat (dari) Menjegal Rakyat

Menjaga Demokrat (dari) Menjegal Rakyat

Refly Harun ;   Pakar dan Praktisi Hukum Tatanegara
DETIKNEWS, 22 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

Dukungan Partai Demokrat terhadap pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung, Kamis (19/9/2014), seperti napas baru bagi kelompok pengusung (tetap) pilkada langsung. Dukungan gerbong besar Demokrat di DPR periode 2009-2014 – mengontrol 148 kursi – telah membuat konstelasi politik langsung berubah.

Semula koalisi pilkada oleh DPRD unggul besar karena disokong oleh enam parpol, yaitu Golkar, Gerindra, PPP, PAN, PKS, termasuk Demokrat sendiri. Praktis hanya tiga parpol yang setia pada pilkada langsung, yaitu PDIP, PKB, dan Hanura. Kini, kondisi berbalik. Koalisi pro pilkada langsung unggul 287 kursi berbanding 273 kursi dari kelompok pilkada oleh DPRD – yang secara resmi dikumandangkan oleh kelompok politik baru bernama Koalisi Merah Putih (KMP).

Bila dihitung, keunggulan kubu pro pilkada langsung hanya 14 kusi. Masih riskan dan sangat mungkin disalib. Tidak heran pembesar Demokrat langsung mengimbau kepada para anggotanya agar datang pada rapat paripurna pengambilan keputusan yang diperkirakan akan digelar pada tanggal 25 September 2014 nanti.

Dukungan Demokrat juga makin menggairahkan kelompok masyarakat sipil yang terus menyuarakan penolakan terhadap pilkada oleh DPRD di berbagai kota, mulai dari para aktivis mahasiswa, pengamat, hingga aktivis perempuan. Menjelang pengambilan keputusan dalam rapat paripurna DPR tanggal 25 September nanti, kelompok masyarakat sipil sudah menyiapkan demonstrasi sebesar dan sebisa mungkin di depan Gedung DPR. Bisa dijamin demonstrasi ini murni suara dari para aktivis demokrasi, sama sekali tidak mengerahkan kelompok-kelompok 'profesional' yang biasa dibayar dengan sebungkus nasi dan uang Rp 50-100 ribu.

Jalan Tengah

Dukungan Demokrat seperti jalan tengah (the middle way) bagi Presiden SBY untuk memelihara warisan (legacy) demokrasinya. Atas nama kewenangan konstitusional, SBY bisa menyatakan tidak setuju dengan ide pemilihan oleh DPRD. Maka seketika itu pula pembahasan di DPR tidak ada artinya lagi karena setiap RUU harus dibahas bersama DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama. Bila salah satu pihak tidak setuju, RUU Pilkada tidak bisa dimajukan lagi dalam persidangan saat ini (Pasal 20 Ayat [2] dan Ayat [3] UUD 1945).

Soalnya, api pilkada oleh DPRD justru berasal dari pemerintah sendiri. Adalah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) yang semula mengusulkan pilkada oleh DPRD untuk gubernur, sedangkan untuk bupati/walikota tetap dipilih langsung oleh rakyat. Di perjalanan pembahasan RUU Pilkada, Kemendagri mengganti proposal. Giliran bupati/walikota yang diusulkan dipilih oleh DPRD, sedangkan gubernur tetap dipilih langsung. Posisi pemerintah terakhir ini diamini Demokrat hingga sebelum terbentuknya KMP yang menyapu semua ide tentang separuh langsung-separuh tidak langsung tersebut dengan proposal pemilihan penuh oleh DPRD, baik untuk gubernur maupun bupati/walikota.

Penggunaan kewenangan konstitusional oleh SBY seolah menghadapkan sang Presiden pada posisi dilematis. Menyatakan tidak setuju dengan pemilihan DPRD seperti menjilat ludah sendiri karena posisi itu justru awalnya menjadi sikap pemerintah, kendati hanya untuk satu jenis pemilihan, apakah gubernur ataukah bupati/walikota.

Bila menguatkan pilkada oleh DPRD, SBY juga akan menjilat ludahnya akan hikayat keberhasilan pilkada langsung di semua daerah dalam pemerintahannya. Hikayat keberhasilan proses demokrasi di Tanah Air yang ia ceritakan saat menyampaikan pidato kenegaraan tanggal 15 Agustus lalu.

Pilihan mendukung pilkada oleh DPRD juga akan menyebabkan SBY akan meninggalkan warisan (legacy) yang buruk pada akhir pemerintahannya bagi proses demokrasi yang telah mulai menunjukkan perkembangannya. Pilihan untuk menggerakkan mesin Demokrat adalah jalan tengah elegan yang menghindarkan SBY dari dilema akut.

Soalnya lagi, tidak ada jaminan voting bisa dimenangkan kubu pro pilkada langsung. Itulah sebabnya kita menagih komitmen seluruh anggota Demokrat untuk datang dan memberikan suara menentang pilkada oleh DPRD. Tentu saja soliditas PDIP, Hanura, dan PKB tidak boleh pecah dengan tawaran atau masalah apa pun.

Tentu tidak mudah menahan suara 148 anggota Demokrat karena sebagian besar tidak akan duduk lagi di kursi empuk DPR. Tidak ada hantu yang perlu ditakuti lagi untuk berbeda pendapat. Hantu bernama 'recall', yang selama ini menghalangi anggota DPR untuk berbeda pendapat dengan partainya, tidak memiliki daya magis lagi karena para anggota sudah di akhir perjalanan mereka selama lima tahun.

Taat kepada garis partai agar bisa dimajukan lagi pada perhelatan pemilu lima tahun lagi bukanlah insentif yang menarik untuk tetap setia kepada partai. Kenikmatan berada di lingkaran kekuasaan juga tidak akan dirasakan lagi oleh mereka yang tidak terpilih karena Demokrat sudah memilih untuk menjadi penyeimbang, paling tidak posisi hingga hari ini. Kalaupun masuk pada pemeritnahan Jokowi-JK, Demokrat bukan peran utama lagi, melainkan sekadar figuran.

Mengingat perbedaan suara tipis, cuma 14 kursi, sedikit saja anggota DPR dari Demokrat mangkir tidak menghadiri sidang paripurna atau ada yang berani memilih untuk mendukung pilkada tidak langsung, maka proposal dipilih oleh DPRD bisa menang dalam pertarungan voting. Kondisi ini tentu tidak diinginkan mereka yang setia mengusung pilkada langsung.

Terlebih tahun depan ada lebih dari 200 pilkada yang akan digelar. Inilah insentif bagi kubu Merah Putih untuk tetap merekatkan barisan. Dengan penguasaan hampir semua DPRD di republik ini, KMP tinggal bagi-bagi jatah siapa dapat posisi kepala daerah di mana. Alasan yang dikumandangkan selama ini mengenai beragam mudharat pilkada langsung hanyalah dalih yang sengaja dicari-cari demi penguasaan politik lokal dengan cara mudah dan murah, tanpa sama sekali melibatkan keputusan rakyat.

Calon-calon kepala daerah tinggal 'sowan' ke para pembesar KMP untuk meminta restu. Para pembesar KMP tinggal memerintahkan DPRD yang mereka kuasai untuk mengamankan pilihan para elite tersebut. Para anggota DPRD tersebut pasti tidak akan berani berbeda pendapat dengan para elite karena instrumen recall masih di tangan pembesar-pembesar partai.

Pada titik ini, sebagaimana tulisan sebelumnya "Memasung Pilkada Langsung" (11/9/2014), kita tidak hanya akan kehilangan pilkada langsung oleh rakyat, melainkan pula pilkada oleh para wakil-wakil rakyat di daerah. Pilkada akan digantikan keputusan segelintir elite, yaitu mereka yang berada di pucuk pimpinan parpol-parpol yang berkoalisi. Padahal, parpol kita sendiri saat ini masih jauh dari tradisi demokrasi. Pilkada akan bergeser dari dipilih dengan jalan ‘demokratis’ menjadi jalan ‘oligarkis’ bahkan ‘elitis’.

Man to Man Marking

Tidak ada cara lain, bila ingin efektif, kelompok-kelompok masyarakat sipil harus melakukan taktik "man to man marking", taktik menjaga lawan satu demi satu dalam sepakbola. Semua anggota DPR dari empat fraksi pendukung pilkada langsung, yang akan unggul bila hadir semua dan memberikan suara bagi pilkada (tetap) langsung, harus dibanjiri dengan pesan-pesan agar mereka datang dan menggunakan hak suara mereka.

Penting diingatkan kepada mereka bahwa suara mereka bakal menentukan nasib demokrasi di negeri ini. Suara mereka bakal menentukan terhenti atau tidaknya laju demokrasi yang mulai tumbuh di arah yang benar dengan bermunculan sosok-sosok seperti Risma (Surabaya), Ganjar Pranowo (Jawa Tengah), Azwar Anas (Banyuwangi), Nurdin Abdullah (Bantaeng), Ridwan Kamil (Bandung), dan beberapa lagi. Bahkan, presiden terpilih, Jokowi, juga produk dari pemilihan langsung.

Fenomena Jokowi telah menunjukkan bahwa pilkada langsung adalah tempat persemaian calon-calon pemimpin bangsa. Fenomena Jokowi menunjukkan bahwa pemimpin tidak datang dari para pemimpi, tetapi memang benar-benar mereka yang telah berpengalaman dalam memimpin. Pemimpin tidak datang dari langit, tapi tumbuh dari bumi bersama rakyat yang dipimpinnya.

Tanggal 25 September nanti, para wakil rakyat akan beradu voting bagi masa depan demokrasi ini. Dalam balutan dilema, Presiden SBY sepertinya tidak akan menggunakan kewenangan konstitusional untuk menghentikan upaya membelokkan arus demokrasi – kendati kita tetap akan menuntutnya pada situasi yang genting dan mengharuskan. Oleh karena itu, marilah kita jaga wakil-wakil rakyat yang pro pemilihan langsung untuk datang ke sidang paripurna DPR, dan yang lebih penting lagi memberikan suara bagi masa depan demokrasi di negeri, yaitu pemilihan (tetap) langsung kepala daerah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar