Rabu, 24 September 2014

Menyelamatkan Masa Depan Demokrasi

Menyelamatkan Masa Depan Demokrasi

St Sunardi ;   Dosen Pasca Sarjana Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta
KOMPAS, 23 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

BARU sebentar merasa lega setelah pemilihan legislatif dan pemilihan presiden, masyarakat dikejutkan oleh Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah yang kontroversial. Apa implikasi pilkada oleh DPRD bagi demokrasi di Indonesia? Apalagi kalau ternyata upaya ini lebih terkait dengan efek hasil pilpres daripada usaha untuk memajukan demokrasi di Indonesia.

Sudah banyak dibahas keterbatasan demokrasi perwakilan. Bahaya ini sudah diperingatkan oleh Nietzsche: demokrasi (parlemen) membuat orang-orang medioker menjadi penguasa, sebaliknya orang-orang unggul direpresi. Pandangan kontroversial ini membuat Nietzsche dicap sebagai anti demokrasi.
Pesan Nietzsche sebetulnya sederhana: demokrasi yang konon untuk mengakui manusia dengan potensinya justru direduksi dalam suatu prosedur buatan orang-orang kerdil yang membuat orang-orang unggul ini tidak nongol keluar.

Kalau diungkapkan dalam bahasa filsafat politik kontemporer, demokrasi itu justru terjadi kalau mereka yang selama ini tidak diperhitungkan (discounted) mulai diperhitungkan (counted) (J Rancière, 1999).

Gagasan demokrasi sangat kontras dengan ide penghapusan pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung. Argumentasi dalam ide penghapusan itu bisa membuat kita mengalami sesat pikir dalam politik demokrasi.

Karena dipilih oleh rakyat, para anggota DPR merasa berhak menentukan cara pilkada (sejauh penentuan itu sesuai prosedur, misalnya suara terbanyak) termasuk mengusulkan pilkada oleh DPRD, karena pemilihan langsung memboroskan uang dan menimbulkan banyak konflik horizontal.

Dalam argumentasi tersebut kita melihat bahaya praktik demokrasi yang justru sedang melawan demokrasi tersebut sendiri (democracy against democracy) (G Agamben, et al, 2011).

Bolehkah anggota DPR membuat aturan pilkada tanpa melibatkan rakyat secara langsung karena sudah diwakili oleh DPRD? Di sinilah terletak persoalan etika-politik demokrasi yang bisa membunuh demokrasi itu sendiri, bahkan politik dalam arti yang sebenarnya (bukan politik parlemen).

Realitas politis suatu bangsa tidak bisa direduksi ke dalam politik parlemen. Realitas politik di parlemen sebagai lembaga representasi rakyat tidak menyedot habis realitas politik yang hidup di rakyat.

Politik rakyat tidak selesai dengan terpilihnya para anggota parlemen yang seolah- olah bisa melakukan apa saja karena mereka sudah dipilih oleh rakyat.
Sebaliknya, parlemen seharusnya mencari berbagai cara (antara lain membuat undang- undang) agar bangsa ini bisa mencari orang-orang unggul dengan memperhitungkan (to count) mereka yang selama ini tidak diperhitungkan (discounted).

Ide penghapusan pilkada secara langsung mengesankan bahwa sekelompok besar orang di parlemen takut munculnya orang unggul.

Kita seakan-akan dalam keadaan darurat sehingga harus menarik arena demokrasi dari rakyat ke parlemen. Ini tragis, pertanda kembalinya Ancien Régime!

Patologi politis

Kita bisa menduga bahwa gerak politik di parlemen ini tidak bisa dipisahkan dari hasil pemilihan presiden (pilpres) yang baru saja selesai. Kita khawatir mereka menerjemahkan efek hasil pilpres itu menjadi politik balas dendam (politics of revenge) di parlemen dan kengerian akan demokrasi (hatred of democracy) yang hasilnya tidak bisa dikendalikan oleh partai politik.

Kalau ini yang benar-benar sedang terjadi, justru inilah yang merugikan kepentingan rakyat. Justru inilah suatu pemborosan karena biaya tinggi pemilihan legislatif (pileg) dan pilpres hanya menghasilkan rasa dendam dan benci di kalangan orang-orang yang tidak siap bertanding dalam arena politik yang sesungguhnya, yaitu rakyat.

Menang dan kalah direduksi menjadi terpilih atau tidak terpilih, bukannya pembelajaran demokrasi. Padahal, dalam pileg dan pilpres yang baru lalu muncul kegairahan politik luar biasa di kalangan rakyat yang melampaui mesin partai. Bukankah ini suatu kemenangan rakyat?

Karena itu, agenda yang lebih mendesak bagi partai politik dan parlemen adalah memperbaiki aturan main politik kepartaian dan parlemen supaya rakyat menjadi arena politik yang sebenarnya.

Usulan pilkada oleh DPRD adalah suatu langkah kemunduran yang tidak sensitif, bahkan tidak tahu malu yang sulit dijelaskan kecuali karena politics of revenge dan hatred of democracy.

Lembaga parlemen bisa berubah menjadi lembaga patologi politis karena lembaga ini muncul dari energi politik yang tidak sehat, yaitu balas dendam dan kengerian justru terhadap demokrasi yang sebenarnya.

Pileg dan pilpres yang baru saja kita lalui telah menjadikan rakyat kembali sebagai subyek politik. Rakyat boleh berharap karena ada jalan politis untuk perubahan.
Kenyataan ini seharusnya dipakai oleh partai politik, lembaga-lembaga masyarakat sipil, dan tentu juga parlemen untuk menata kembali aturan main supaya gairah politik rakyat tersalurkan.

Cepat atau lambat para pencemar langit demokrasi ini akan menemui nasib seperti dituturkan bait terakhir ”Sajak Rajawali” almarhum WS Rendra: ”rajawali terbang tinggi/ membela langit dengan setia/ dan ia akan mematuk kedua matamu/ wahai, kamu, pencemar langit yang durhaka”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar