Gaza
dan Jerusalem Simbolis
Jean Couteau ; Penulis Kolom “Udar
Rasa”Kompas Minggu
|
KOMPAS,
31 Agustus 2014
KADANG
saya membayangkan suatu saat saya harus bisa menerbangkan sendiri pesawat.
Itu bukan karena cita-cita yang tidak kesampaian, sebab semasa bocah pun
sumpah saya tidak bercita-cita jadi pilot. Melainkan, betapa untuk urusan
naik pesawat, terutama di pelabuhan-pelabuhan udara modern, sekarang semua
cenderung harus dilakukan sendiri oleh calon penumpang.
Seperti
terjadi di pelabuhan udara Muenchen baru-baru ini. Saya tiba di bandara di
Jerman itu pukul empat pagi. Pesawat yang hendak membawa saya ke Kopenhagen
dijadwalkan lepas landas pukul enam. Bandara sepi. Meja check in tidak ada
petugas.
Saya
tolah-toleh seperti kunyuk mencari bocah yang menyumpitnya. Di Indonesia,
biasanya ada saja orang siap membantu. Satu-dua calon penumpang saya lihat
memencet-mencet mesin untuk mendapatkan boarding pass.
Dengan
kepercayaan diri di bawah 50 persen, saya coba ikut-ikutan. Saya pencet
tombol. Keluar instruksi. Kadang mesin seperti ngadat, bahkan menyatakan saya
salah. Diam-diam saya panik. Saya tidak terlatih merayu mesin.
Entah
bagaimana, keluar juga boarding pass. Persoalan berikut, bagaimana dengan
koper, yang harus masuk bagasi pesawat? Kembali saya harus berhadapan dengan
mesin, yang terletak persis di pinggir conveyor alias ban berjalan. Dengan
logika seadanya saya letakkan koper di atas conveyor.
Kembali
saya memencet-mencet. Setelah kekeliruan beberapa kali, keluar lembaran
kertas berperekat yang harus saya kalungkan di pegangan kopor. Tiba-tiba
conveyor bergerak, membawa koper saya pergi. Kaget saya. Sempat terpikir,
kalau saya lengah, jangan-jangan saya ikut terbawa, tercemplung di bagasi
pesawat.
Sungguh
pagi yang menegangkan. Dunia makin impersonal. Kita tidak lagi berhadapan
dengan orang yang bisa kita tanya-tanya.
Sudah
diakrabi cukup banyak orang, mentransfer uang sekarang tidak lagi perlu
berhadapan dengan petugas bank. Cukup dilakukan sendiri lewat ATM, laptop,
atau handphone. Yang masih ke bank berhadapan dengan petugas untuk mengambil
uang tinggal orang-orang berumur.
Begitu
pun pemesanan tiket pesawat, kereta api, hotel, dan lain-lain. Tak diperlukan
lagi berhadapan dengan orang. Belum lagi urusan lebih sehari-hari seperti
Coca-Cola, cokelat, kopi panas, kondom, dan lain-lain. Semua bisa didapat
lewat mesin. Kita tinggal menyemplungkan koin.
Itulah
bagian dari revolusi digital yang kita alami kini dan bakal menjadi masa
depan kita. Manusia makin teralienasi dari manusia lain. Andaikata Nietzsche
masih hidup, paling hanya dia yang bungah.
Sebaliknya,
bagi sebagian besar manusia, justru ada kebutuhan makin besar atas komunitas,
sosiabilitas, suasana kekeluargaan, di tengah arus globalisasi dan revolusi
digital ini. Itu yang saya rasakan, sekaligus yang menjadi alasan saya ke
Jerman. Saya mengikuti Guru Gunawan Rahardja, menghadiri retret para anggota
perguruan dari seluruh negara di Eropa. Selama sepuluh hari kami bersama
mereka, berlatih silat pagi sore, bercengkerama, ngobrol, setiap hari.
Dari
Jerman, usai kegiatan yang oleh sebagian orang dianggap katrow, kuno ini,
melalui Kopenhagen saya menuju Swedia untuk tugas kantor. Saya akan
mengunjungi perusahaan furniture modern, yang mereknya niscaya tak asing bagi
kalangan atas Jakarta.
Tadinya,
saya bersiap-siap untuk melakukan wawancara dan eksplorasi soal bentuk, rupa,
fungsi, dan berbagai hal yang berhubungan dengan dunia desain mutakhir.
Ancang-ancang tersebut seketika saya ubah. Begitu bertemu, pihak perusahaan
ini lebih banyak bicara bagaimana menciptakan kehidupan sehari-hari yang lebih
baik, bagi sebanyak-banyaknya orang. Tak ketinggalan, tanggung jawab untuk
kelangsungan hidup di masa depan, atau istilahnya: sustainability. Itulah
katanya inti kreasi mereka. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar