Anda
Masih Mendengarkan Radio?
Antyo Rentjoko ;
Bekas
Blogger
|
TEMPO,
12 September 2014
“Saya
kagum sama Anda, suka ngeliat Anda di TV," kata pria itu via telepon
kepada seorang aktris sinetron yang sedang berbincang pagi di studio radio
classic rock M97FM, Jakarta, sekitar sepuluh tahun silam.
"Ah,
masa sih, Pak? Sinetron saya kan mainnya pagi, yang nonton ibu-ibu sama
pembantu. Kalo pagi bapak-bapak kan di kantor," si aktris menyahut.
Saya
tak tahu berapa banyak pendengar yang tersenyum. Sejauh saya tebak, stasiun
itu tak memantau pendengar secara real time-kalaupun ada alatnya, pasti
merepotkan, berbeda dari streaming yang servernya rajin mencatat.
Saya
juga tak tahu di mana saja para pendengar pagi itu menyimak radio. Saya
berpengandaian bahwa mayoritas seperti saya mendengarkannya dalam mobil.
Dalam
kehidupan domestik sekarang rasanya semakin jarang radio ngoceh dan
berdendang mengisi pagi. Fungsi auditifnya sebagai benda sudah lama dioper
oleh televisi. Bukankah televisi juga sering kita perlakukan sebagai radio,
didengarkan sambil lalu saja?
Untuk
itu, koreksi si aktris tadi sebenarnya menanyakan hal lain: mengapa pagi itu
bisa ada yang mendengarkan radio dan menelepon ke studio? Tanpa interaksi,
pengelola radio dan pengiklan hanya bertumpu pada asumsi yang dimuat dalam
rate card: jam sekian pendengarnya segini, jenis kelaminnya kebanyakan pria,
dan mendengarkannya dalam mobil.
Saya
tak tahu Anda kini seberapa akrab dengan radio. Saya? Karena kini jarang
menyetir, saya jarang mendengarkan radio. Sementara itu, dalam angkot belum
tentu sopir menyetel radio, bahkan USB flash disk telah menjadi gudang lagu.
Para penumpang pun tak butuh lagu dari sopir karena mereka menjadikan musik
lebih individual: ponsel adalah pustaka lagu berkatalog.
Hanya
kadang saja Internet pada desktop saya pakai untuk mendengarkan (bukan
menyimak) streaming secara acak, dari Radio RGS di Sumenep sampai Auralmoon
untuk progrock.
Maka
saya ingin tahu apakah sampel Badan Pusat Statistik itu mewakili Anda. Ada
Indikator Sosial-Budaya 2003, 2006, 2009, dan 2012 dalam situs BPS. Salah
satunya adalah "Persentase Penduduk Berumur 10 Tahun ke Atas yang
Mendengar Radio". Angka selama 2003–2012, dengan interval tiga tahun,
makin menurun: 50,29 persen, 40,26 persen, 23,50 persen, dan 18,57 persen.
Apakah pada 2015 nanti turun lagi?
Sejauh
ini, radio tidak mati. Freddie Mercury pernah melolongkannya bersama Queen
dalam Radio Gaga, "Radio, someone still loves you."
Tentang
bagaimana radio bertahan, biarlah para pelaku bisnis dan ahlinya yang
berbicara. Lebih baik kembali ke paragraf awal tentang radio classic rock
M97FM yang tampaknya menyasar pria 30–55 (usia pensiun) itu. Mulanya radio
itu bernama Monalisa. Akhir 1990-an, Masima (Prambors) mengelolanya menjadi
M97FM (Male 97 FM).
Radio
itu tak laku di pasar iklan, padahal saudara-saudaranya, misalnya Delta (dulu
radio dakwah) dan Female, bisa hidup. Lalu radio itu mati dengan berpamitan.
Di sela hari-hari akhir penyiarnya keceplosan meledek adlibs tentang pakan
anjing.
Agustus
2005, M97FM mati. Kabar yang menyambutnya: ada sebuah hard disk yang berisi
12.800 lagu claro (classic rock)
sedang menganggur. Radio yang pernah memutar lagu keriting dari band tak tenar
National Health (album Missing Pieces) itu kemudian menjadi
Radio Dangdut TPI, lantas menjadi jejaring bernama Radio Dangdut Indonesia.
Terbukti
radio belum mati dan bisa bertahan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar