Menteri,
Korupsi, Literasi
Bandung Mawardi ;
Esais
|
TEMPO,
12 September 2014
Hari-hari
menjelang akhir masa kerja Kabinet Indonesia Bersatu II, Susilo Bambang
Yudhoyono mesti bersedih dan menanggung malu akibat ulah para menteri yang
terlibat korupsi. Para menteri pasti belum membaca nasihat SBY dalam puisi
berjudul Membasuh Hati (1 Agustus 2010), dimuat di buku Membasuh Hati di
Taman Kehidupan (2014): "Menjaga hati yang bersih adalah akidah/ mengapa
kita menjauh/ dan tak pandai mencari berkah. Kita tentu maklum bahwa para
menteri adalah kaum sibuk, tak sempat membaca atau merenungi puisi, meski
merupakan gubahan sang atasan: SBY.
Di
Indonesia, korupsi adalah urusan hukum dan politik. Kita jarang mengurusi
korupsi dengan puisi. Kita masih ingat publikasi iklan melawan korupsi buatan
Partai Demokrat. Para menteri dan legislator asal Partai Demokrat malah
menjadi "teladan" untuk berkorupsi. Mereka cuma bermodal iklan, berisi
slogan, dan disajikan secara manipulaif.
Dulu,
mereka tak memilih gerakan melawan korupsi dengan berpuisi. Barangkali puisi
lebih bertuah ketimbang iklan-dalam membuka kesadaran dan keinsafan menjadi
insan mulia. Para menteri tentu tak mengoleksi buku Puisi Menolak Korupsi (Forum
Sastra Surakarta, 2013), yang berisi ratusan sajak gubahan ratusan
pujangga di Indonesia. Buku berketebalan 450 halaman itu bisa menjadi bacaan
reflektif dan kritis. Beni Setia mengajukan sajak berjudul Genetika Korupsi 3, berisi sinisme: "Kata-kata birokrat kata-kata
politisi satu maknanya: sudahkah korupsi?" Kita mengandaikan para
menteri, legislator, dan elite partai politik melek puisi ketimbang berlagak
menjadi bintang iklan untuk menolak atau melawan korupsi.
SBY
mungkin tak memberlakukan kriteria literasi saat membentuk Kabinet Indonesia
Bersatu II. Kita menduga para menteri bakal bebal dan bandel jika tak
memiliki kebiasaan membaca buku mengenai korupsi. Di Indonesia, selama
puluhan tahun telah terbit ratusan teks sastra bertema korupsi. Kita tak bisa
memastikan buku-buku sastra bertema korupsi adalah bacaan para menteri dan
legislator. Ah, mereka tentu meremehkan faedah puisi, novel, cerpen, serta
drama dalam ambisi keprofesian dan peningkatan kehormatan. Mereka belum
meneladani SBY. Kita berharap SBY terus menulis sajak bertema korupsi agar
menjadi bahan bacaan untuk para menteri dan legislator periode 2014–2019.
Kita
tak harus bergantung pada sastra untuk menjaga atau mengembalikan kewarasan
para menteri dan legislator. Syafii Maarif (2014) malah mengajukan usul
berbeda tapi berpijak pada literasi. Maarif menganjurkan agar para calon
menteri membaca dua teks terkenal dari Mohammad Hatta dan Sukarno: Indonesia
Merdeka (1928) dan Indonesia Menggugat (1930).
Pemikiran
para penggerak bangsa dianggap memberi referensi bagi para menteri agar
mengerti sejarah Indonesia, mentalitas perjuangan, dan kesanggupan memuliakan
Indonesia. Literasi diharapkan menjadi kriteria dalam memilih dan menetapkan
menteri. Maarif ingin kesadaran atas sejarah dan biografi para penggerak
bangsa menjadi referensi perlawanan korupsi. Kita juga ingin memastikan para
menteri dalam kabinet Joko Widodo-Jusuf Kalla memang kaum pembenci korupsi
dan melek literasi agar Indonesia mulia. Amin.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar