Sabtu, 04 Januari 2014

Tsunami Politik

                                                       Tsunami Politik

Indra J Piliang   ;   Direktur Eksekutif The Gerilya Institute
SUARA KARYA,  31 Desember 2013
                           
  

Dari beragam hasil survei, angka yang paling menarik adalah berapa persen pemilih yang belum menentukan pilihannya yakni rata-rata di bawah 30 persen.
Sekalipun begitu, pemilih yang sudah memilih masih ada kemungkinan untuk berubah pilihan, tergantung pada perkembangan dinamika politik sampai 9 April 2014 nanti.
Dari angka 30 persen, itu pun sudah termasuk pemilih yang besar kemungkinan tidak menggunakan hak pilihnya. Berbeda dengan Australia yang mewajibkan pemilih menggunakan hak pilihnya, di Indonesia memilih adalah hak. Sebagai hak, boleh digunakan atau tidak.

Artinya, partai-partai politik hanya bisa memperebutkan sekitar 10 persen pemilih lagi apabila angka golput mencapai 20 persen. Dalam Pemilu 2004, angka golput mencapai 23,34 persen. Angka itu bertambah menjadi 29,01 persen pada Pemilu 2009.

Artinya, apabila pertambahan jumlah golput terus terjadi, dibandingkan dengan hasil survei bulan Desember 2013 ini, parpol tinggal berkelahi untuk merebut pemilih yang masih ragu-ragu di masing-masing partai. Perkelahian itu dengan cara mencederai partai politik lain dengan cara politik hitam.

Untuk mempertahankan tingkat keterpilihan, partai politik seyogianya makin menonjolkan calon-calon anggota legislatifnya ketimbang cerita tentang partainya. Di luar itu, pemilih kian rasional dengan cara menyimak program-program yang ditawarkan ketimbang hanya sekadar wajah yang manis atau ganteng.

Cara berkampanye juga tidak lagi mudah, lebih banyak lewat tatap muka, dialog dan turun tangan ketimbang hanya membagi-bagikan kalender atau stiker. Makin jelas dan baik program yang disampaikan, makin besar peluang keterpilihan kandidat yang bersangkutan. Makin sering bertemu konstituen, makin besar kesempatan bagi publik untuk mengenali kandidat secara langsung.

Publik sudah rasional dengan sendirinya, sehingga mencari satu suara saja begitu sulit. Jarang ada yang disebut suara serumpun alias satu orang bisa memengaruhi sekian puluh, ratus atau ribu orang lainnya. Bagi yang sudah berpengalaman di lapangan, pasti sering bertemu dengan tipikal orang yang menjanjikan suara serumpun itu. Padahal, kenyataannya kosong. Pergerakan manusia yang cepat, begitu juga informasi yang bertubi, menyulitkan satu orang untuk memengaruhi banyak orang di zaman sekarang. Masyarakat kian individualistis.

Dengan demikian, Pemilu 2014 sepertinya tak akan lagi melahirkan efek tsunami politik sebagaimana terjadi dengan Partai Demokrat pada Pemilu 2004 dan Pemilu 2009. Begitu juga dengan PKS. Efek itu hanya bisa terjadi ketika figur begitu kuat, sementara rekam jejak sama sekali belum terbaca.

Masalahnya, Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera sudah tercoreng dengan beragam kasus korupsi, seperti juga terjadi dengan partai lain. Sebaliknya, walau terserang kasus korupsi di sebagian kadernya, Partai Golkar memiliki ketangguhan dari sisi infrastruktur kepartaian serta cukup terbentengi dengan kader-kader yang sudah piawai menghadapi isu negatif.

Sisa waktu menjelang Pemilu 2014 akan lebih banyak diisi dengan dialog-dialog yang konstruktif dan memberikan harapan ketimbang pola serangan kampanye hitam yang negatif.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar