Sabtu, 25 Januari 2014

Petruk Bukanlah Seorang Raja

Petruk Bukanlah Seorang Raja

Suyadi   ;    Pendongeng, Pelukis,
Dalang dan Penulis Buku Cerita Anak Bergambar ”Petruk Jadi Raja”
KOMPAS,  25 Januari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                      
SIAPAKAH Petruk? Mengapa Petruk harus jadi raja? Tulisan ini merupakan pandangan pribadi penulis atas opini Yudhistira ANM Massardi, ”2014: Petruk (Harus) Jadi Raja” (Kompas, 24 Desember 2013).

Mari (kembali) berkenalan dengan Petruk. Sekadar untuk mengingat-ingat siapa dia, mengapa sampai ada lakon Petruk Jadi Raja, dan bagaimana tingkah polahnya saat jadi raja.

Petruk adalah seorang punakawan. Punakawan berarti pengiring dan penasihat kesatria. Bersama Semar, ayahnya,  dan kedua saudaranya, Gareng dan Bagong, Petruk mengabdi pada kelima kesatria Pandawa di Amerta.

Tokoh dagelan

Kisah Petruk Jadi Raja dimulai sewaktu surat Kalimasada (yang dianggap pusaka oleh para Pandawa) dicuri utusan dari negara seberang. Dalam peperangan yang seru, pusaka Kalimasada berhasil direbut kembali oleh Pandawa. Karena peperangan masih terus berlangsung, salah seorang putra Pandawa, Bambang Priyambada, menitipkan surat Kalimasada kepada Petruk agar pusaka tersebut aman.

Pusaka Kalimasada inilah yang akan dipakai oleh Petruk untuk ”menyerang’” sebuah negara agar ia bisa menjadi raja. Negara pilihannya adalah Sonyawibawa (dalam versi lain dipakai juga Rancangkencana atau Lojitengara). Sonyawibawa adalah sebuah negara yang makmur.  Berpenduduk bacingah yang artinya dihuni oleh warga manusia dan warga yang berwujud raksasa. Rajanya sendiri bernama Prabu Jayasantika yang telah berhasil menjaga kerukunan antara warga manusia dan raksasa.

Dalam pergelaran wayang kulit, pasukan Sonyawibawa yang bertugas di Perang Gagal (perang pada sore hari) adalah pasukan manusia. Adapun dalam Perang Kembang (perang waktu tengah malam) yang maju pasukan raksasa dipimpin Buta Cakil.

Petruk dengan mudah menundukkan negara Sonyawibawa berkat kesaktian surat Kalimasada. Kemudian ia bergelar Prabu Kantongbolong alias Tongtongsot alias Belgeduwelbeh.  Untuk melengkapi hidupnya, ia memilih perempuan sederhana yang sehari-hari bekerja sebagai juru masak istana sebagai permaisurinya.

Ada berbagai versi mengenai permaisuri Petruk. Ada yang menyebutkan tokoh Limbuk. Adapun dalam pentas Petruk Jadi Raja, yang tokoh Petruknya diperankan oleh Ki Manteb Sudarsono, sang permaisuri bernama Jemunak yang bekerja sebagai pelayan bersih-bersih. Sejak Petruk menjadi raja, istana menjadi ajang pesta. Para sentana senantiasa mabuk,  sedangkan sang raja bertayuban ria bersama para putri dan dayang-dayang.

Adegan ini pernah disaksikan penulis dalam lakon Petruk Jadi Raja versi Wayang Orang Langen Sedyo Rahayu di Surabaya, sekitar tahun 1950-an. Pun serupa itu pernah ditemui dalam pergelaran Wayang Orang Tri Tunggal, tahun 1960-an, di kawasan Kosambi, Bandung.

Dalam versi mana pun, ketika Petruk jadi raja, ia mengambil perempuan sebagai permaisurinya dari kalangan wong cilik. Ternyata Petruk tetap setia akan ungkapan dalam bahasa Jawa: Ojo lali bibit kawit (jangan lupa dari mana kau berasal). 

Apa pun versinya selalu ada kesamaan:  begitu Petruk menjadi raja, negara yang tadinya tata tenteram berubah menjadi negara dagelan yang morat-marit. Belum puas dengan kedudukannya sebagai raja, Prabu Belgeduwelbeh ingin memiliki jajahan. Ia menantang Pandawa untuk bertekuk lutut. Peperangan pun terjadi dengan kekalahan di pihak Pandawa. Bima, Arjuna, dan Gatotkaca menjadi tawanan Prabu Belgeduwelbeh.

Menurut rekaman piringan hitam berlabel His Master’s Voice di akhir dekade 1930-an yang dimainkan oleh Wayang Orang Sriwedari, terekam bagaimana Gatotkaca diberi tugas oleh Petruk Sang Raja untuk terbang dan memetik buah-buahan yang matang dan menangkap hewan perburuan untuk santapan istana. Bima diberi tugas menjaga keamanan, sedangkan Arjuna menjadi mantri pasar. Konon ibu-ibu yang berbelanja dapat mengagumi ketampanan si mantri pasar. Kelakuan Petruk Sang Raja sungguh tak lazim. Dalam rekaman tersebut, tokoh Petruk yang diperankan oleh Ki Sastrodirum tidak ada duanya hingga sekarang.

Betapa pun saktinya Prabu  Belgeduwelbeh, toh akhirnya ia dapat dikalahkan oleh Semar dan Gareng yang mampu merebut surat Kalimasada. Petruk pun kembali ke aslinya sebagai sang punakawan.

Fenomena Jokowi-Basuki

Pesan Kresna kepada Petruk, ”Menjadi raja adalah tugas negarawan. Engkau Petruk, engkau punakawan. Tugasmu menjadi pengiring dan penasihat kesatria. Ini tugas yang sungguh mulia.”

Lakon Petruk Jadi Raja penuh dengan kejutan dan kelucuan. Namun, di balik kelucuan ini tersirat pesan yang mulia: ”the right man on the right place”.
Lalu, pertanyaannya adalah mampukah Petruk mengatur negara? Ia memang rakyat, berempati terhadap nasib wong cilik karena Petruk sendiri berasal dari wong cilik. Akan tetapi, untuk mengatur negara dan persoalan-persoalan kenegaraan dibutuhkan seorang negarawan. Sementara Petruk adalah seorang punakawan.

Fenomena Joko Widodo alias Jokowi-Basuki dalam opini Yudhistira belum pas kongruensinya dengan spirit lakon Petruk Jadi Raja.  Jokowi-Basuki yang fenomenal dari kalangan nonmiliter, yang acap blusukan melihat dari dekat persoalan Jakarta, bukan berarti mereka adalah ”Petruk yang jadi raja”.  Meski dengan gaya keseharian yang jauh dari protokoler dan mau menjadi rakyat saat bertugas di lapangan, bukan berarti mereka perwalian dari spirit goro-goro yang penuh kejenakaan.

Fenomena Jokowi-Basuki adalah bentuk yang segar sebagai negarawan di negeri ini. Mereka bekerja tiada lelah, memperbaiki lagi tatanan yang sudah ada, memperbaiki acakadut-nya Jakarta dengan cerdas, tegas, dan dekat secara personifikasi. Akan tetapi, itu bukan berarti mereka berasal dari kalangan akar rumput seperti Petruk.

Ada kesan pemaksaan makna dari fenomena Jokowi-Basuki jika diisyaratkan sebagai metafora ”Petruk jadi raja”. Sebab, Jokowi-Basuki bukanlah dari metafora punakawan. Jika dalam opini Yudhistira mengisyaratkan Petruk for President, maka penulis mempertanyakan metafora tersebut. Sebab, dalam lakon klasik tersebut adalah Petruk not for President.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar