Sabtu, 04 Januari 2014

Mandulnya Kandidasi Capres 2014

                           Mandulnya Kandidasi Capres 2014

Bambang Arianto   ;   Peneliti Politik Bulaksumur
Empat Research and Consulting (BERC) Yogyakarta
SUARA KARYA,  31 Desember 2013
                           



Perburuan ikon calon presiden (capres) melalui jalur konvensi nampaknya belum semeriah proses kandidasi capres di daerah asalnya yakni Amerika. Konvensi yang ditujukan guna menjaring capres di pemilu 2014 semakin menghilang dari alam sadar publik. Euforia konvensi yang digelar seakan larut oleh opini dan resistensi politik yang berkembang.

Sebut saja konvensi yang digelar Partai Demokrat (PD) euforianya tidak semeriah hajatan yang digelar Partai Golkar pada pemilu 2004. Kala itu euforia konvensi dapat menarik atensi publik. Pendidikan dan edukasi politik pun berjalan sebagaimana mestinya. Ini menegaskan asumsi publik bahwa konvensi PD banyak menampilkan logika ilusi popularitas yang cenderung menutupi keterpurukan sebagai parpol korup.

PD yang tengah mengalami kemunduran elektabilitas dimata publik, harusnya mampu memanfaatkan proses konvensi sebagai upaya reformulasi citra parpol. Sayangnya elit PD justru sibuk melancarkan serangan ke berbagai pihak termasuk kepada Gubernur DKI Jokowi, yang ujung-ujungnya menimbulkan ketidaksimpatian publik. PD juga terkesan keropos dan tidak solid karena terlalu reaksioner dengan opini dan resistensi yang berkembang menjelang pemilu 2014.

Publik akhirnya disuguhi tontonan yang tidak mencerdaskan nalar, dan jauh dari upaya menyajikan kontestasi yang mendidik.

Ditengah merosotnya euforia konvensi PD, muncul reaksi publik melalui sejumlah tokoh agama dan para cendekiawan. Sebuah ajang perburuan ikon pemimpin milik rakyat. Kemunculan konvensi rakyat didasari dari elite politik yang diusung sebagai capres, baik yang diusung oleh partai maupun konvensi PD, diprediksi belum layak memimpin bangsa. Komite konvensi rakyat yang bermaterikan KH Solahuddin Wahid atau Gus Solah, Pendeta Nathan Setiabudi, Romo Frans Magniz-Suseno, Jaya Suprana, Adnan Buyung Nasution, dan Aristides Katoppo.

Konvensi ini menjaring tokoh-tokoh partai dan nonpartai yang dianggap layak menjadi penerus kepemimpinan nasional. Konvensi rakyat tidak hanya dimaksudkan untuk memberikan alternatif kepada rakyat, namun juga memberikan alternatif kepada partai politik yang selama ini mengekor. Munculnya konvensi rakyat di tengah semi-euforia konvensi versi PD, menjadi tanda tanya bagi publik. Apakah ini sebagai bentuk dari dampak euforia konvensi PD ataukah pembuktian dari akumulasi kekecewaan politik publik terhadap konvensi PD?

Hambatan konvensi

Perlu disadari, baik itu konvensi rakyat maupun konvensi bentukan parpol, tetap saja ukuran keberhasilan konvensi sangat ditentukan oleh kemampuan para kandidat dalam merangkai tingkat atraktivitas dan akseptabilitas publik. Tidak lepas pula bagaimana para kandidat mampu mempengaruhi dan menciptakan image positif guna menumbuhkan empati publik melalui serangkaian kontruksi peristiwa politik.

Artinya faktor personalisasi politik jelas berpengaruh. Ini merupakan katalisator yang dapat membantu menetapkan pilihan publik. Calon kandidat peserta konvensi akan mampu mencapai titik maksimal jika didukung oleh personalisasi politik yang sedapat mungkin terlembaga. Bekerjanya tim sukses maupun ormas pendukung menjadi kunci sukses, namun hal ini tidak semata-mata didasarkan pada kecintaan buta publik. Sebab hal ini tidak saja akan menumbuhkan kultus individu namun juga melemahkan peran parpol dalam sistem representative democracy.

Berkerjanya mesin pendongkrak popularitas seperti iklan dan survei politik telah meyakinkan keberadaannya secara otomatis dalam menggantikan realitas politik secara langsung. Munculnya fenomena lanjutan, dengan menguatnya trans-historisasi pengalaman dan tindakan politik, yang mana para kandidat mengklaim masuk kedalam dunia politik, atau para kandidat merasa telah dikenal melalui iklan politik. Para kandidat mengakui telah melaksanakan program konvensi ketika sudah melaporkan dirinya dalam bentuk iklan politik, ataupun membentuk ormas namun berorientasi politis sebagai tim kampanye. Disini terlihat jelas bila peserta konvensi lebih suka menghandalkan uang guna mendanai iklan politik ketimbang membangun program politik yang berbasis rakyat.

Para capres konvensi tidak memahami citra politik yang dihasilkan oleh iklan politik yang tampak oleh indra, tidak memiliki eksistensi yang substansial, persamaan apalagi representasi yang diharapkan. Citra politik hanya bisa merujuk pada suatu representasi visual dari realitas seperti terlihat pada foto, konsepsi mental, atau imajinatif dari seorang individu, peristiwa, lokasi, dan objek. Citra politik adalah kondisi yang mana realitas politik dibingkai dan sekaligus direduksi ke dalam prinsip dan wujud-wujud citra di dalam berbagai media. Proses pencitraan ini menjadi fluktuatif dengan makin terlibatnya aktifitas atau klaim kuasi-saintifik dalam politik melalui survei.

Survei kemudian merekonstruksi penjelasan dan penilaian etis berdasarkan analisa data sehingga menjadi tembok yang hiperrealitas. Ini dapat menunjukkan sebagai hambatan terbesar bagi proses kandidasi capres model konvensi di Indonesia, sebab informasi yang dihasilkan publik cenderung timpang dan artifisial.

Akan sia-sia bila nantinya para kandidat konvensi capres 2014 di Indonesia masih menghandalkan serangkaian operasi mendidik yang dilakukan melalui media iklan guna merepresentasikan citra yang sedemikian rupa. Hal ini juga menyangkut serangkaian citra dan slogan-slogan yang sugestif yang kesemuanya dilakukan dalam kerja yang melibatkan agensi iklan, lembaga survei maupun konsultan politik bayaran. Artinya masih ada harapan besar bagi bekerjanya operasi mendidik lainnya dalam upaya evolusi representasi semu menjadi representasi citra yang realitas. Hal ini akan ditunjukkan pada program kampanye kandidasi yang lebih bersifat bermanfaat dan mendidik rakyat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar