INDONESIA
akan menggelar Konferensi Tingkat Menteri Kesembilan di Bali, 3-6 Desember.
Konferensi Tingkat Menteri (KTM)
memiliki kewenangan pembuatan keputusan tertinggi di Organisasi Perdagangan
Dunia (WTO), dengan pertemuan dilangsungkan sekali dua tahun. KTM Bali
penting sekali karena akan menentukan arah kebijakan WTO dua tahun ke depan.
Pertemuan WTO di Bali akan
mendiskusikan berbagai hal yang diharapkan bisa memecahkan kebuntuan
perundingan yang selama ini terjadi. Sekjen WTO Roberto Azevedo (12
November 2013) menyatakan, ”We are
too closed to success to accept failure but it is all or nothing now.”
Masyarakat Indonesia sudah
gamang melihat dampak dari pembukaan pasar dengan banjirnya produk asing
dan semakin besarnya dominasi bisnis asing sehingga banyak kelompok
masyarakat mempertanyakan kebijakan pembukaan pasar internasional Indonesia,
khususnya menyambut KTM WTO di Bali.
Apakah WTO?
WTO yang berdiri sejak 1995
sebagai kelanjutan General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) adalah
wadah kerja sama ekonomi beranggotakan 159 negara. Misinya meningkatkan
arus perdagangan barang dan jasa. WTO adalah organisasi internasional
global yang mengatur perdagangan antarnegara, dengan tujuan membantu
produsen barang dan jasa, eksportir dan importir, dalam melaksanakan
bisnisnya agar berjalan lancar. Fungsi WTO yang merupakan forum pemerintah
adalah menentukan aturan perdagangan internasional, menyelesaikan sengketa
perdagangan internasional, menyelesaikan masalah perdagangan antarnegara,
memonitor kebijakan perdagangan anggotanya, memberikan bantuan teknis dan
pelatihan bagi negara berkembang, dan kerja sama dengan organisasi
internasional lain.
WTO pada masa lalu dianggap
kurang dapat merespons kebutuhan negara-negara berkembang (yang mayoritas
anggota WTO) karena harus menerapkan praktik-praktik perdagangan dengan
disiplin tertentu yang kadang sulit diimplementasikan dengan kapasitasnya
yang terbatas.
Namun, sejak Doha Development
Agenda 2001 diluncurkan, kondisi berubah. WTO mulai ”berpihak” ke negara
berkembang sehingga dalam perundingannya mempertimbangkan keterbatasan
negara berkembang dalam melaksanakan komitmennya, menyadari kenyataan bahwa
banyak negara berkembang merasa bahwa sistem yang ada menciptakan kelemahan
kompetitif dalam hubungan dengan negara maju. Negara kurang berkembang juga
termarjinalkan oleh perjanjian WTO dan sistem perdagangan multilateral yang
ada.
Karena itu, prinsip yang
diterapkan dalam berbagai kesepakatan WTO saat ini adalah tanpa
diskriminasi, semakin terbuka, dapat diandalkan dan transparan, semakin
kompetitif, memberikan manfaat lebih kepada negara sedang berkembang, serta
memproteksi lingkungan dalam operasinya. WTO sudah mulai lebih ramah kepada
negara sedang berkembang ataupun negara kurang berkembang.
Meski manfaat yang dinikmati
negara berkembang terbatas, kehadiran WTO telah meningkatkan perdagangan
global. Perdagangan dunia tumbuh 22 kali lipat pada kurun 1950-2000, dengan
ekspor barang tumbuh 6 persen per tahun. Untuk periode 2000-2012,
perdagangan dunia tumbuh 2,17 kali (UN Comtrade, 2013). Menurut WTO, cukup
banyak bukti yang menunjukkan bahwa perdagangan mendorong pertumbuhan
ekonomi dan menciptakan lapangan kerja di beberapa negara. World Commission
on the Social Dimension of Globalization (2004) melaporkan dampak negatif
globalisasi berdasarkan survei di 73 negara.
Hampir di semua kawasan, kecuali
Asia Selatan, AS, dan Uni Eropa, jumlah penganggur dunia meningkat pada
kurun 1990-2002, dan 59 persen masyarakat dunia hidup di negara dengan
kesenjangan yang meningkat. Hanya 5 persen penduduk tinggal di
negara-negara dengan kesenjangan menurun. Penyebabnya: aturan main global
yang tak adil (lebih menguntungkan negara maju), lebih mengedepankan nilai
kebendaan, telah mencabut sebagian kedaulatan negara berkembang, banyak
pihak dirugikan oleh globalisasi, dan pemaksaan sistem ekonomi liberal di
negara berkembang.
Karena itu, Stiglitz (2007)
mengusulkan adanya sebuah kontrak sosial global antara negara maju dan
negara sedang berkembang untuk mencapai keseimbangan baru. Salah satu
usulan yang dikemukakan adalah perlunya komitmen negara maju untuk
mengaplikasikan perdagangan yang adil, di mana semua subsidi dan hambatan
dalam perdagangan dihilangkan. Namun, kita tahu perdagangan seperti itu
tidak ada di dunia. Karena itu, Stiglitz mengusulkan supaya negara sedang
berkembang diperlakukan berbeda agar adil.
Sikap Indonesia
Banyak pro dan kontra di
Indonesia menghadapi KTM WTO di Bali. Dalam diskusi panel Fokus Grup
Industri, Perdagangan, dan Investasi Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia
dengan Kementerian Perdagangan (12/11), pengusaha yang diwakili Ketua
Apindo meminta sebaiknya KTM di Bali ”dimandekkan” agar tak ada komitmen
baru karena pengusaha Indonesia sudah kewalahan dengan pembukaan pasar
hingga saat ini. Ketua Komisi VI DPR mewanti-wanti Mendag tak membuat
komitmen baru bagi Indonesia di Bali. LSM yang diwakili Direktur Eksekutif
Institute for Global Justice mengemukakan banyaknya permasalahan Indonesia
dalam pasar yang kian terbuka. Ia juga khawatir terhadap komitmen baru.
Kemendag yang diwakili Wakil
Mendag mengharapkan munculnya Paket Bali awal Desember nanti. Target
Indonesia dalam KTM Bali adalah paket kecil tetapi kredibel untuk
mengembalikan kepercayaan dunia kepada WTO sebagai forum utama perundingan
perdagangan multilateral, mencakup sekurangnya tiga elemen utama:
fasilitasi perdagangan, isu tertentu dari perundingan sektor pertanian, dan
isu-isu pembangunan, yang diharapkan bisa masuk dalam Paket Bali. Sementara
itu, kesepakatan lain, seperti perluasan dan pendalaman Perjanjian
Teknologi Informasi (PTI) yang bersifat plurilateral, dianggap bonus.
Melihat kontradiksi tajam antara
pemerintah, DPR, LSM, dan pengusaha—kalaupun pemerintah berhasil mencapai
berbagai kesepakatan yang intinya membuka pasar lebih luas (bahkan misalnya
hanya untuk PTI)—pasti akan mendapatkan respons negatif dari DPR,
pengusaha, atau LSM. Apalagi pembukaan pasar TI pada saat ini saja sudah
membuat pasar TI di Indonesia banyak dibanjiri produk asing. Neraca
perdagangan TI yang dulu surplus kini defisit dan nilainya cenderung
meningkat karena tak bisa bersaing dengan produk luar. Demikian juga
kinerja perdagangan produk nonpertanian secara umum negatif (Penelitian dan Pelatihan Ekonomika dan
Bisnis, FEB, UGM, 2012).
Indonesia yang anggota inti
karena sudah menjadi anggota sejak WTO berdiri 1 Januari 1995 sebaiknya
bermain cantik di Bali nanti. Usulan Kemendag agar KTM Bali mampu
menghasilkan paket kecil yang dapat mengembalikan kepercayaan dunia pada
WTO sebagai forum utama perundingan perdagangan multilateral adalah bagus.
Hanya saja, komitmen baru pembukaan pasar Indonesia seperti perluasan dan
pendalaman PTI sebaiknya tidak dilakukan. Jangan memberikan komitmen yang
pada masa akan datang memberatkan ekonomi Indonesia.
Sebaiknya, Indonesia
”menyelamatkan diri” lebih dahulu dengan mengerjakan pekerjaan rumah yang
selama ini tidak digarap, yaitu meningkatkan daya saing dengan memperbaiki
infrastruktur, SDM, kelembagaan, dan faktor pendukung lain. Jangan sampai
rapor kerja sama ekonomi internasional—yang diukur dengan neraca
perdagangan barang, jasa, modal, transaksi berjalan, neraca pembayaran—
yang secara umum memburuk, kian memburuk. Jangan sampai dalam pasar yang
semakin terbuka, Indonesia hanya jadi penonton atau bahkan korban dari
globalisasi karena membuka pasarnya selebar-lebarnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar