TAHUN 2013 hampir berlalu dan menyisakan
persoalan-persoalan besar terkait petani kecil, pertanian, dan pangan. Kita
akan memasuki tahun 2014 yang penuh tantangan dengan dinamika politik luar
biasa.
Petani yang berjumlah 91,91 juta
jiwa (IFAD 2011, BPS 2012) atau 26,13 juta rumah tangga (BPS 2013) sebagai
komponen terbesar rakyat yang selama ini praktis dilupakan akan menjadi
”buah bibir” di kalangan politikus dan para pendulang suara. Jargon
pembelaan petani kecil, swasembada, kemandirian, dan kedaulatan pangan akan
jadi kata-kata sakti yang akan lebih sering diucapkan atau diperdengarkan.
Data pertanian dan produksi pangan 2013-2014 boleh jadi akan menjadi data
”seolah-olah”. Seolah-olah terjadi peningkatan tajam produksi pertanian,
seolah- olah target swasembada pangan tercapai, seolah-olah impor pangan
menurun, serta seolah-olah lainnya yang menunjukkan kinerja sektor
pertanian dan pangan seolah-olah luar biasa.
Dalam kenyataannya hanya sedikit
penguasa dan perumus kebijakan menyadari bahwa pertanian dan pangan
merupakan komponen luar biasa penting bagi sebuah bangsa. Kerusuhan sosial
dan bahkan pergantian rezim sering kali diawali dari krisis pangan. Krisis
pangan di Indonesia 1998 (impor beras mencapai rekor tertinggi 6,077 juta
ton) menjadi pemicu kerusuhan besar dan pergantian rezim di 1998.
Penelitian NECSI (New England Complex
System Institute, 2012) menyimpulkan, karakter geografis kekerasan
berubah cepat ketika negara kian tergantung impor dan pada saat bersamaan
terjadi ledakan harga pangan. Letupan-letupan kecil di tingkat lokal bisa
berkembang jadi kerusuhan besar di tingkat nasional bahkan regional. Arab
Spring 2011 yang ditandai tumbangnya beberapa rezim di Timur Tengah secara
langsung dan tak langsung terkait krisis pangan dan ketergantungan impor
pangan yang sangat besar.
Indonesia telah masuk fase
jebakan impor pangan yang sangat mengkhawatirkan. Impor serealia (gandum,
beras, kedelai, dan jagung) meningkat 61 persen periode 2011-2013
dibandingkan periode 2007-2009 (Food
Outlook, FAO 2010-2013). Persentase gandum sebagai bahan pangan
pokok yang 12 tahun lalu sekitar 7,66 persen (2001) saat ini menyusun 14,59
persen makanan pokok rakyat Indonesia, atau meningkat hampir 100 persen
dalam dua periode jabatan presiden. Tidak hanya bahan pangan pokok,
ketergantungan impor kita terhadap belasan jenis pangan lainnya dari bawang
hingga daging sapi perlahan-lahan juga mulai meningkat.
Indonesia, sebagaimana banyak
negara lain, menganut model ketahanan pangan (food security) yang menjadi cetak biru semua perumusan
kebijakan terkait sektor pertanian dan pangan. Dalam model ketahanan
pangan, asal dan bagaimana cara pangan diproduksi tak penting, yang penting
pangan tersedia. Padahal pangan, jenis yang dikonsumsi, sistem produksinya,
bahkan cara penyajiannya memuat budaya, ajaran, bahkan nilai-nilai sakral
lintas generasi yang melekat erat. Sedekah bumi di banyak desa di Indonesia
merupakan salah satu penghormatan terhadap pertanian dan pangan yang memuat
ajaran-ajaran leluhur yang sarat makna.
Sekadar komoditas
Pangan kemudian direduksi
menjadi sekadar komoditas. Bersamaan dengan hal itu, perdagangan pangan
internasional menjadi suatu keniscayaan dan ketahanan pangan nasional harus
diletakkan dalam kerangka perdagangan internasional sebagaimana diatur WTO.
Perubahan konsep dan tata nilai tentang pangan dan pertanian ini dampaknya
sungguh luar biasa bagi negara berkembang. Banyak pangan dan budaya pangan
lokal musnah. Banyak praktik pertanian yang mengandalkan keselarasan alam
dan harmoni kehidupan menjadi rusak tergantikan oleh praktik pertanian
”modern” yang padat energi dan bahan beracun. Hubungan sosial, keselarasan,
dan semangat gotong royong antarpetani semakin retas dan tergantikan dengan
hubungan berkarakter kapitalistis dan individualistis.
Ketahanan pangan dan
perangkatnya telah menjadikan penguasaan benih dan sarana produksi serta
perdagangan pangan internasional mengerucut ke hanya beberapa perusahaan
raksasa yang nir-nilai budaya pangan dan pertanian. Meskipun demikian, para
ekonom liberal, termasuk di Indonesia, bersikukuh bahwa perdagangan pangan
internasional merupakan hal terbaik bagi negara berkembang yang punya
keunggulan komparatif di bidang pertanian. Meski demikian, yang terjadi
adalah sebaliknya, negara berkembang yang awalnya eksportir pangan utama
berubah jadi importir pangan dengan kerugian sekitar 50 miliar dollar AS
per tahun akibat hilangnya potensi ekspor produk pertanian mereka (Brown,
2012).
Ketahanan pangan global yang
diharapkan mampu menurunkan harga pangan dunia sehingga pangan mampu
diakses dan dijangkau penduduk termiskin ternyata hanya ilusi. Sebagai
contoh, harga kedelai internasional yang secara konsisten turun
perlahan-lahan sejak 1960 akibat peningkatan produksi tiba-tiba mulai
bergejolak justru setelah WTO dilahirkan.
Kesepakatan Pertanian (Agreement
on Agriculture) diberlakukan serta
kedelai transgenik dikomersialisasikan.
Harga yang mencapai titik terendah periode 1996-2000 tiba-tiba melonjak
drastis dan saat ini harganya 100 persen lebih tinggi dibandingkan periode
itu (World Bank Commodity Price Data, 1960-2013). Kecenderungan sama
terjadi pada jagung, gandum, dan bahan pangan lainnya. The Economist (6 Desember 2007)
menyebutnya the end of cheap food,
era pangan murah telah berlalu justru ketika negara berkembang, termasuk
Indonesia, tergantung impor pangan akibat hancurnya sistem pertanian
mereka.
Ketahanan pangan menegasikan
kekuatan ekonomi politik asimetris yang menguntungkan negara maju. Hanya
dalam kurun lima tahun sudah terjadi dua kali krisis pangan dunia, yaitu
2008 dan 2011, dan harga pangan mulai meningkat ketika sebagian besar
negara berkembang sudah menjadi importir neto pangan. Ini menjadi pemicu
gerakan kedaulatan pangan yang kian menguat di seluruh dunia. Beberapa
negara mulai memasukkan konsep itu dalam UU dan kebijakan pertanian pangan
mereka, termasuk Indonesia.
Kedaulatan pangan
Saat ini merupakan periode emas
untuk mengubah paradigma dan melaksanakan kedaulatan pangan (food sovereignty). Kedaulatan pangan
awalnya adalah gerakan dan kerangka kebijakan yang lahir tahun 1996 sebagai
respons atas dimasukkannya sektor pertanian dalam sistem perdagangan dunia
melalui Kesepakatan Pertanian (Lee,
2007). Gerakan ini kemudian jadi gerakan sosial yang diadopsi oleh
ribuan organisasi, terutama organisasi nonpemerintah. Kedaulatan pangan
menjawab kelemahan fundamental ketahanan pangan terutama bagi negara
berkembang.
Dalam dua tahun terakhir ini
muncul dua UU penting terkait pangan dan pertanian yang menggunakan
kedaulatan sebagai asasnya. Pada UU No 18 Tahun 2012 tentang Pangan, Bab II
Pasal 2 menyebutkan : penyelenggaraan
pangan dilakukan dengan berdasarkan asas a. kedaulatan”. UU No 19/2013
tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani pada Bab II Pasal 2 juga
mencantumkan bahwa ”perlindungan dan pemberdayaan petani berasaskan pada: a.
kedaulatan”. Kedaulatan juga menjiwai banyak pasal dan ayat di UU No 5/1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria. Keputusan Mahkamah Konstitusi
18 Juli 2013 tentang gugatan petani terhadap UU No 12/1992 tentang Sistem
Budidaya Tanaman juga menegaskan tentang ”kedaulatan” dalam hal ini
kedaulatan petani atas benih, teknologi, dan plasma nutfah pertanian.
Dengan demikian, kedaulatan
pangan harus dilaksanakan di Indonesia sesuai amanat dan mandat konstitusi,
baik oleh pemerintah kini maupun yang akan datang. Sayang sekali DPR,
perumus kebijakan, pemerintah, dan tokoh politik sering keliru memaknai
kedaulatan pangan. Kedaulatan pangan sering disalahartikan dan
dicampuradukkan dengan swasembada, kemandirian, ketahanan pangan.
Konsep swasembada dan
kemandirian pangan (food sufficiency)
pertama kali dikembangkan di Inggris yang bermakna sama dengan ketahanan
pangan (food security).
Sebaliknya, kedaulatan pangan bertolak belakang (counterframe) dengan ketahanan pangan (Benford dan Snow, 2000).
Ketahanan pangan menggunakan model
produksi pertanian industri
(agroindustri), perdagangan pangan liberal,
mengagungkan hak kekayaan intelektual di bidang pertanian, dan menganut
diskursus lingkungan berkonsep rasionalisme ekonomi. Sebaliknya, kedaulatan
pangan menganut model pertanian agroekologi, dengan model perdagangan proteksionis,
antipaten kehidupan, dan mengakui kepemilikan komunal serta konsep
rasionalisme hijau (Lee, 2007).
Entitas utama di dalam ketahanan
pangan adalah aktor-aktor ekonomi, hubungan antaraktor adalah kompetitif,
dimotivasi oleh rational self-interest dan mekanistik.
Sebaliknya, paradigma kedaulatan pangan mengakui kompleksitas produksi
pangan, hubungan harmonis antarpetani, dan petani dengan alam serta
berperspektif ekologis. Tahun 2014 merupakan tahun politik dan tahun
penting untuk mencari dan mendapatkan pemimpin Indonesia yang menaruh
perhatian besar terhadap pembangunan pertanian, peduli terhadap
kesejahteraan petani, dan berani membumikan dan melaksanakan agenda
kedaulatan pangan. Semoga ”satrio piningit” tersebut benar-benar kita
dapatkan untuk menyelamatkan kita dari bencana pangan dan sosial di masa
datang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar