PERNIAGAAN nilai UTSUAS, skripsi, tesis, dan
disertasi selaris kacang goreng. Sejumlah guru di Sulut rela merogoh Rp25
juta hingga Rp30 juta untuk memburu gelar ‘magister’ palsu. Bahkan, sekitar
400 perguruan tinggi (PT) terjerat plagiarisme dalam proses akreditasi dan
kenaikan jabatan fungsional dosen.
Wabah diploma
disease (1980-an) kembali menyerang dunia PT di Tanah Air. ‘Pelunasan’
kredit perkuliahan termasuk salah satu orientasi pendidikan formal kita.
Sejak awal, seorang calon sarjana harus membanting tulang untuk memenuhi
tuntutan perkreditan. Penguasaan ilmu pengetahuan merupakan dampak samping
pelunasan beban akademik. Tidak mengherankan jika peserta didik acap kali
terjebak plagiarisme dan pembelian skripsi, tesis atau disertasi.
Virus demam sertifikat atau ijazah dieram
dalam rahim politik, ekonomi, dan budaya yang korup. Martabat dan kapasitas
manusia seolah-olah hanya bersandar pada prestasi akademik. Padahal,
selembar sertifi kat, ijazah, atau segala gelar akademik sama sekali tidak
menjamin kadar keetisan hidup seseorang. Akhir-akhir ini, tidak sedikit
doktor atau profesor harus berurusan dengan polisi, KPK, jaksa, dan hakim.
Kasus-kasus korupsi, plagiarisme, dan tindak kekerasan melilit tugas dan
pelayanan mereka.
Kondisi bangsa saat ini sangat diwarnai
pendidikan ala Orba yang mengesampingkan pembatinan nilai. Piagam, ijazah,
dan medali termasuk sasaran akhir proses pendidikan formal. Kurikulum
pendidikan formal tercemar gerakan politicking penguasa. Segala cara (kekerasan,
pemaksaan, dan tindakan biadab) ditempuh untuk mencapai maksud dan tujuan
politik penguasa. Catatan sejarah tahun 1965 mencerminkan pendidikan
politik yang memilukan. Nilai dasar dalam komunitas moral, seperti
kebenaran, kejujuran, tanggung jawab, transparansi, dan kepentingan sosial
tenggelam. Setiap jebolan PT akan menjadi pemburu harta, takhta, dan
mahkota, karena biaya pendidikan formal selama di PT sangat mahal.
Junjung pendidikan
nilai
Harus diakui, pemerintah semakin
memperhatikan proses pendidikan formal. Alokasi dana pemerintah dalam
bidang itu tidak kecil. Sejumlah PT (atau sekolah) swasta sudah menikmati
uluran tangan pemerintah. Dana hibah, rangsangan riset, dan sertifikasi
guru/dosen masih berlangsung sampai sekarang. Sambil menyadari bahaya
‘penyimpangan anggaran’, tata kelola dunia pendidikan formal di Tanah Air
sudah waktunya ditinjau ulang dengan lebih menyeluruh. Justru itu,
penanggung jawab utama dunia pendidikan formal di pusat dan daerah tidak
perlu terlibat langsung untuk menangani proyek infrastruktur pendidikan.
Benarkah sistem pendidikan kita sungguh
mencerdaskan hidup berbangsa dan bernegara? Sampai sekarang, kecerdasan
intelektual masih sangat menonjol kalau dibandingkan dengan kecerdasan
spiritual dan emosional. Keetisan tindakan manusia tidak pernah dijamin
oleh prestasi akademiknya. Jumlah pemeluk agama terus bertambah, tapi mutu
hidup beriman masih menyedihkan. Kadar etis sejumlah pemegang tampuk
pemerintahan terasa kian terpuruk.
Pemerintah (cq Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan) bertanggung jawab penuh atas sistem pendidikan nilai bangsa
kita yang sangat majemuk. Bagaimanakah nilai-nilai dalam falsafah bangsa
dan kebijaksanaan lokal bisa diolah menjadi orientasi hidup berbangsa dan
bernegara? Nilai-nilai yang selama ini ditelantarkan itu mencakup
kemanusiaan, kebaikan, kejujuran, kerohanian, tanggung jawab, toleransi,
dan demokrasi. Kekuatan sebuah bangsa tidak terletak pada banyaknya
penduduk dan pesatnya pembangunan fi sik, tapi pada sistem pendidikan formal
yang menekankan nilai-nilai penguat bangsa itu.
Kebangkitan nilai dalam dunia pendidikan
tampak dalam sikap pendidik yang menghargai sikap dan perilaku setiap
peserta didik. Yang dihargai bukan hanya kecerdasan intelektual, melainkan
juga tindakan peserta didik di ruang pendidikan. Kebenaran, kejujuran,
ketekunan, dan transparansi perilaku seseorang mendapat tempat istimewa. Identitas
pendidikan kita tidak hanya melunaskan kredit dan mengejar angka-angka,
tapi tertuju pada perilaku setiap peserta didik.
Tegakkan etika pendidikan
Tanpa mengabaikan peran keluarga dan
masyarakat, pendidikan formal
bertujuan membangun etos hidup dan kerja
menurut kebutuhan masyarakat. Sarjana yang diharapkan dewasa ini bukan hanya pemegang
selembar ijazah, melainkan juga yang terampil dalam keahliannya. Sebuah
lembaga pendidikan formal ikut mempersiapkan sarjana-sarjana terampil dan
bernilai tambah kalau dibandingkan dengan sarjana dari negara tetangga.
Etika pendidikan itu tidak terlepas dari
etika profesi dunia pendidikan formal. Yang seharusnya memenuhi tuntutan
etika profesi bukan hanya peserta didik, melainkan terutama pendidik. Di
lapangan, pendidik cenderung bertindak menurut kehendak pribadi tanpa
memperhatikan kepentingan peserta didik. Etika profesi itu membentuk kode
eksplisit untuk menghindari bentuk-bentuk sanksi atas pelanggaran. Pada
abad ke-4 SM, muncul Sumpah Hipocrates sebagai kode profesional, tolok ukur
profesi.
Etika pendidikan memberikan arah dan
pegangan dalam menggerakkan roda pendidikan sehingga nilai-nilai humaniora
dapat diwujudkan. Yang didahulukan dalam ajang pendidikan formal ialah
mempersiapkan anak-anak didik menjadi insan-insan cerdas secara holistis.
Setamat pendidikan formal, peserta didik sanggup mengambil keputusan yang
tepat dan mengisi hidup dengan baik. Pendidikan itu tidak hanya menyentuh
lapisan akal budi, tapi sungguh menyentuh ranah pembinaan hati nurani
hingga akhir hayat.
Sambil menyadari bahaya politisasi
pendidikan formal, pendidikan hati nurani yang jujur dan bertanggung jawab
sangat penting. Seakan-akan kaum akademisi melupakan peran hati nurani
dalam pelaksanaan tugas kenegaraan. Sistem pendidikan kontekstual di Tanah
Air perlu segera menjawab kebutuhan konkret pemerintahan, hukum, politik,
ekonomi, agama, sosial, dan kebudayaan.
Jika sistem dan kurikulum pendidikan tidak
menjawab kebutuhan kontekstual, materi pendidikan dalam ruang sekolah belum
membumi, tetapi masih melangit. Salah satu mata pelajaran pokok yang mutlak
diolah dalam dunia pendidikan formal ialah pembinaan hati nurani yang baik,
jujur, bersih, transparan, dan bertanggung jawab dalam hidup dan pelayanan
edukatif.
Biasanya, pendidikan nilai semestinya dimulai sejak dalam rahim seorang
ibu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar