Pada saatnya, secara suka cita atau
terpaksa, kita akan kembali kepada Tuhan YME. Sejauh-jauh kita meninggalkan
ajaran-Nya, selalu ada suara hati terdalam agar kita cepat kembali kepada
Tuhan.
Sejatinya, kita tidak berada dalam keyakinan
yang sama, apakah kita—semua anak manusia—bisa meninggalkan Tuhan? Bukankah
Dia adalah Zat Yang Mahabesar sehingga tak ada apa pun di luar
kebesaran-Nya. Maknanya, sejauh-jauh “pergi”, kita tetap berada dalam
Tuhan.
Bukankah kita sudah berketetapan dalam
konsensus nasional bahwa kita adalah bangsa yang berketuhanan? Kita
berjanji sampai kapan pun akan tetap seperti itu, kecuali negara ini
berubah haluannya.
Hal yang membuat kita “menjauh” dari Tuhan
adalah sikap negatif kita. Sikap negatif muncul akibat kita terlalu berani memberi
tafsir, sesuka kita atas filosofi hidup berketuhanan kita sebagai bangsa.
Tak bisa disangkal, betapa bebasnya kita dan betapa gampangnya kita menjual
jati diri bangsa.
Sampai kapan ini akan berlangsung? Sampai
kita menyadari telah mengabaikan kemanusiaan. Kita telah melupakan Sang
Entitas Tunggal yang membuat alam makrokosmos dan mikrokosmos tetap selalu
sehat dan berjalan penuh harmoni. Dialah Tuhan, tempat semua makhluk hidup
akan kembali dan berpulang. Entitas inilah sering dilupakan, diabaikan, dan
tidak diindahkan keberadaan-Nya.
Dalam beberapa hal, kita termasuk bangsa
yang terjebak dalam situasi ini. Kita terjebak dalam dialektika kehidupan
yang dibuat sendiri. Kita melupakan, mengabaikan, dan tidak mengindahkan
kebertuhanan kita.
Kita mengaku bangsa paling religius sehingga
bisa kapan saja memanggil
Tuhan untuk mengurusi kesulitan yang kita hadapi.
Sebutlah, beberapa ayat suci, maka Tuhan akan memenuhi harap dan pinta.
Kita takut tidak disebut bangsa pemuja agama dan pemburu cinta Tuhan. Hingga
saat melahirkan republik, kita sebutkan keterlibatan Tuhan dalam Pembukaan
UUD 1945.
Seakan tak cukup dengan itu—tentu setelah
perdebatan sengit dan cenderung saling ancam—para pendiri negeri bersepakat
meletakkan maqam Tuhan di posisi teratas, di antara lima filosofi hidup
bangsa.
Oleh karena itu, terpatrilah pada sila
pertama Pancasila, “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Itu catatan misi profetik
Indonesia. Sejak itulah, bahtera ini mulai bergerak, dayung dikayuh, layar
dikembangkan, dan bangsa Indonesia mengarungi samudra kehidupan yang luas
tak bertepi dan sarat tantangan.
Setelah sekian puluh tahun tergerus
gelombang kehidupan, kini kita saksikan yang terjadi. Para koruptor adalah
orang-orang pilihan di antara kita. Para koruptor adalah pengagum asli
firman-firman Tuhan.
Para koruptor adalah mereka yang separuh
lebih dari tahun-tahun kehidupannya dihabiskan di altar-altar pemujaan.
Para koruptor adalah sosok yang bertabur tanda bintang mahaputra utama.
Para koruptor adalah lulusan-lulusan terbaik di angkatannya dari lembaga
pendidikan terkemuka. Merekalah yang justru melupakan Tuhan!
Para koruptor adalah pelajar yang kini
menjadi guru, mahasiswa yang menjadi dosen, bahkan guru besar. Para
koruptor adalah santri yang kini menjadi kiai. Para koruptor adalah taruna
yang kini menjadi perwira.
Para koruptor adalah kawula yang kini
menjadi petinggi negeri. Para koruptor adalah anak bangsa ini. Para
koruptor adalah orang tua, anak, saudara, kemenakan, sepupu, tetangga,
kolega, rekan, musuh, lawan, serta manusia serigala berbulu domba. Mereka
adalah setan dalam suratan manusia. Para koruptor nyata-nyata mengabaikan
Tuhan!
Pada kasus lain, ada perempuan polisi yang
pamer aurat. Padahal, ia ajudan kapolda. Ada perempuan polisi yang
ekshibisionis, padahal ia kapolsek. Ada pula remaja yang bertelanjang ria
di bilik warung telekomunikasi. Ada Ketua Mahkamah Konstitusi tertangkap
karena menerima suap. Ada ratusan anggota legislatif masuk penjara
karena menjarah negeri sendiri. Ada mantan menteri tinggal di hotel prodeo.
Jangan tanya berapa jumlah penjahat kelas teri yang menjejali penjara.
Mereka tidak mengindahkan Tuhan!
Kenapa bisa sampai sejauh ini? Itu karena
kian lamat-lamat kejujuran bersemayam dalam diri bangsa ini. Itu karena tak
ada lagi kejujuran kita kepada Tuhan. Itu karena manusia Indonesia mulai
berani mengingkari kemanusiaannya.
Sebagian terbuai pemikiran John Locke,
Jean-Baptiste Say, Destutt de Tracy, Rousseau, Voltaire, B Franklin, T
Jefferson, I Kant, dan Adam Smith. Mereka menyuapi dengan paham liberalisme
yang menjebak. Seakan, hanya dengan demokrasi semua urusan bisa selesai.
Mereka menganggap antidemokrasi adalah musuh kemanusiaan.
Akibat jargon the winner takes all, mereka yang kalah semakin tersisih, yang
miskin semakin terasing, pemodal mengempaskan penduduk asli.
Secara signifikan, sistem ekonomi liberal
telah “berketurunan” menjadi sistem ekonomi kapitalis. Inilah dunia pemilik
modal finansial, penguasa jalur-jalur informasi, jaringan pasar yang
menggurita, kekuatan SDM yang andal. Tak ada tempat bagi yang lemah, tak
bermodal, dan tak memiliki kecakapan.
Di sisi lain, sebagai antitesis mazhab
liberalisme, munculah gerakan pengagum dogma. Inilah cara berkehidupan
dengan memaksakan perspektif dan cara pandang sesuai dogma yang
ultrakonservatif.
Begitu kakunya pendekatan ini, kehidupan
beragama mereka harus menduplikasi pandangan tokoh panutannya. Berbeda
berarti salah. Salah berarti di luar mazhab. Di luar mazhab berarti
terancam di neraka, tempat kemurkaan Tuhan!
Sesederhana itu. Ayat dan sabda harus sama
persis. Ayat dan sabda dihafal seperti yang didengar dan dicatat
sebagaimana yang diimlakan. Penyimpangan hafalan dianggap bidah. Setiap
bidah adalah kesesatan. Keranjang terakhir kesesatan adalah neraka.
Dua kutub, liberalisme dan dogmatisme,
menciptakan ketidakjujuran antaranak bangsa. Dua kutub ini membuat bangsa
terjebak dalam kehidupan yang serba permisif, materialistis, hedonistis,
menghalalkan segala cara, menganggap kemapanan sebagai antikemajuan, dan
semua kemajuan harus diimplementasikan dalam kebebasan yang tak bisa
dibatasi dengan apa pun, termasuk dengan moral agama. Ini penyakit akut.
Obatnya hanya moral. Dokternya hanya Tuhan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar