|
HAKIM
itu identik dengan pemutus perkara. Ada kredo menyatakan judge made law, hukum
timbul karena putusan hakim. Profesi hakim merupakan pekerjaan yang mulia,
tetapi sekaligus rentan godaan.
Dengan ungkapan lain, hakim merupakan profesi yang dipuja
sekaligus dicela. Eksistensi keadilan memerlukan hakim dalam penerapannya.
Kalau hakimnya tidak lagi taat hukum, hukum akan rusak dan justru menimbulkan
keresahan khalayak.
Sejumlah kasus penyelewengan profesi hakim di negeri kita
tampaknya makin banyak terjadi. Ibarat fenomena gunung es, kasus-kasus yang
muncul masih menyimpan banyak kasus lain yang belum terkuak. Dari keputusan
hakim yang dipandang tidak adil, seperti kasus vonis hukum terhadap pencuri
sandal dan pencuri buah cokelat, hingga suap-menyuap kelas kakap. Yang terbaru
dan mengagetkan: tertangkapnya ketua MK oleh KPK. Ini membuktikan betapa
ringkih mentalitas dan karakter hakim.
Profesi
rawan
Dalam sejarah peradaban Islam, dikenal sematan profesi qadhi
al-qudhot yang merupakan instansi tertinggi dalam peradilan. Ada juga qadhi
al-madzalim, hakim yang mengurusi segala bentuk penyelewengan. Kedudukan badan
ini lebih tinggi daripada hakim biasa karena menangani perkara yang tak dapat
diputuskan hakim biasa, meninjau kembali beberapa keputusan yang ada, atau
menyelesaikan perkara banding.
Para ulama menetapkan persyaratan yang sangat ketat untuk
menjadi hakim, qadhi. Tak sembarang mereka yang ahli hukum mudah
menduduki posisi sebagai hakim. Di antara persyaratan itu adalah berkemampuan
tinggi, berkemampuan melaksanakan putusan, memiliki wibawa dan pengaruh besar,
bersih dan lurus, tidak serakah, dan menjaga diri atau sikap hati-hati dari
perbuatan syubhat dan meninggalkan yang haram.
Persyaratan ketat itu sesungguhnya berdasar pada hadis yang
mengingatkan, ”Hakim itu ada tiga golongan, yaitu satu golongan masuk surga dan
dua golongan lagi masuk neraka. Pertama, hakim yang masuk surga adalah hakim
yang mengetahui hak (kebenaran) dan ia menghukum dengan kebenaran itu. Kedua,
hakim yang mengetahui hak, tetapi ia menghukum dengan yang bukan hak, hakim ini
akan masuk neraka. Ketiga, hakim yang menghukum dengan tidak mengetahui
kebenaran dalam perkara itu dan ia memutus dengan ketidaktahuannya itu, maka
hakim ini pun akan masuk neraka” (HR Abu Dawud). Ada hadis lagi yang
mengingatkan, ”Barangsiapa yang diangkat sebagai hakim, sesungguhnya ia telah
disembelih tanpa pisau”.
Hadis itu merupakan peringatan betapa profesi hakim penuh
risiko sehingga membutuhkan ketahanan karakter diri yang kukuh. Dalam rekam
sejarah Islam, banyak ulama yang menyadari dan kemudian enggan menduduki
jabatan sebagai hakim. Ibnu Umar menolak ketika diminta Khalifah Usman bin
Affan menjadi hakim. Abu Hanifah menolak menjadi hakim, ketika diminta Khalifah
al-Mansyur. Semua ini didasari sikap karena saking takutnya terjungkal dalam
ketidakadilan dan kezaliman. Dalam pandangan ulama fikih sendiri, profesi hakim
dihukumi fardhu kifayah.
Pembenahan
mental
Ada kisah seorang sufi besar, Jalaluddin Rumi. Rumi dulunya
adalah seorang hakim yang sangat ahli dan kesohor pada masanya. Rumi dilahirkan
di lingkungan terpelajar. Bapaknya adalah seorang ahli hukum dalam mazhab
Hanafi. Keilmuannya tentang hukum yang luas membuat Rumi dipercaya jadi hakim
dan mengajar di madrasah-madrasah. Muridnya banyak dan masyarakat
berduyun-duyun menimba ilmu dari Rumi. Rumi juga dikenal sebagai pembicara yang
piawai dalam diskusi ilmiah yang menghadirkan banyak ilmuwan. Perjalanan
profesinya ini ia lakoni hingga usia 40 tahun.
Perubahan besar dalam hidupnya ketika Rumi bertemu dengan
Syam Tabriz, seorang pengelana spiritual yang berpenampilan nyeleneh atau
eksentrik. Perjumpaan yang diwarnai dengan dialog sekilas dengan Syam Tabriz
itulah yang membelokkan orientasi spiritual Rumi. Singkat kata, Rumi memilih
meninggalkan segala kebesarannya, kesohorannya, keprofesorannya, dan profesi
hakimnya. Dia menekuni kesufian demi mereformasi kediriannya yang dia sadari
banyak tergoda gemerlap duniawi.
Cerita ”pergumulan batin” ini tak berarti menghardik profesi
hakim secara sewenang-wenang. Cerita ini menyimpan hikmah betapa materi,
kemasyhuran, dan kecakapan ilmiah tidaklah cukup membuat seseorang baik dan
menggapai kearifan. Masih dibutuhkan kendali batin yang menyimpan pelajaran
berharga demi membentuk karakter pribadi yang tahan uji.
Nah, di sinilah yang hendak ditegaskan bahwa hakim perlu
membenahi diri sebagai bagian dari upaya memperbaiki kualitas lembaga
peradilan. Hakim yang setiap hari bergumul dalam pencarian keadilan seyogianya
memiliki tiga aspek dasar yang baik: insting, moral, dan nurani.
Pemimpin dan pengambil keputusan yang sudah mendayagunakan
aspek itu akan menjadi penegak hukum yang bermartabat, memiliki moral, dan
integritas sehingga setiap keputusannya membawa kemaslahatan bagi masyarakat
dan negara. Tiga aspek dasar itu harus senantiasa dibenahi dan diasah agar
tetap tajam dan bisa digunakan dengan baik.
Hakim yang memiliki insting bagus secara instingtif mampu
mengetahui hal baik dan buruk. Namun, itu belum menjamin moralnya otomatis
menjadi baik. Mungkin selama ini bashirah atau instingnya sudah baik,
tapi karena tertutupi oleh hawa nafsu, maka dlamir atau moralnya
dikorbankan. Karenanya, kedua-duanya haruslah dibenahi.
Insting dan moral (pada diri seorang hakim) yang baik akan
menghasilkan nurani yang memiliki daya deteksi sangat tajam dan peka. Nurani
itu akan memberi keputusan yang sangat jujur dan tak pernah bohong. Sekecil apa
pun kesalahan dan kebenaran akan dilihat dan dirasakan sehingga keputusan yang
diberikan menjadi apa adanya.
Selanjutnya, lebih lengkap lagi jika seorang hakim memiliki
asrar atau kemampuan menembus misteri danlathifah atau kelembutan. Dengan
memiliki asrar, seorang hakim mampu melihat implikasi dari keputusan yang
diambilnya. Dengan lathifah, seorang hakim akan mampu menyadarkan dan
menggerakkan masyarakat agar mengarah pada jalan yang benar.
Kita optimistis pembenahan akhlak, terkhusus di lingkungan
penegak hukum, akan mampu diwujudkan dengan semangat dan kerja yang didukung
pendidikan lahir dan batin serta mekanisme pengawasan lebih baik. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar