|
SUARA
MERDEKA, 15 Juli 2013
Pemerintah selalu merasa pada pihak yang benar, dan seperti
menyudutkan guru, siswa, dan pihak lain. KURIKULUM 2013, mengapa harus takut?
Ya, inilah saatnya kita “melihat pemberlakuan” Kurikulum 2013 yang mengundang
pro dan kontra. Sesungguhnyalah tak ada yang perlu ditakutkan. Pertama;
informasi tentang kurikulum baru itu dapat diakses secara onlinetiap saat.
Kedua; pemberlakuan kelas terpilih dan sekolah terpilih
menjadi kebijakan pada tahun pertama, Ketiga; pelatihan-pelatihan sudah
dilaksanakan. Keempat; buku pegangan sudah disiapkan. Lalu silabinya pun sudah
disiapkan. Jadi tidak ada alasan untuk takut atau khawatir. Mari kita songsong
Kurikulum 2013 dengan kepala tegak dan “kegembiraan”.
Tak Ada Alasan
Pelaksanaan kurikulum baru hakikatnya bukanlah suatu
perubahan besar dalam dunia pendidikan yang harus dikhawatirkan, apalagi
ditakutkan. Mengapa? Selain alasan-alasan di atas, pemberlakuan juga pada kelas
terpilih dan sekolah terpilih.
Pada tiap jenjang, yang terpilih adalah SD kelas I dan IV, jenjang
SMP kelas VII, dan jenjang SMA kelas X. Sekolah yang memberlakukan adalah yang
secara fisik, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia (SDM)-nya sudah
siap, termasuk gurunya. Maka dipilih terutama eks RSBI, dan sekolah yang sudah
dinilai siap meskipun bukan eks RSBI. Sekolahsekolah itulah yang dinilai sudah
mempunyai sarana dan prasarana serta SDM memadai.
Dengan kondisi itu, jelas di tiap kabupaten/kota dalam tiap
provinsi, yang memberlakukan Kurikulum 2013 adalah sekolah dengan kriteria-kriteria
tersebut. Secara bertahap, sambil terus berefleksi dan melakukan pembenahan
belajar dari pelaksanaan tahun pertama, Kurikulum 2013 akan diberlakukan untuk
semua jenjang dan semua sekolah, — tentu secara bertahap— dengan dukungan
sarana dan prasarana yang difasilitasi pemerintah. Mengapa sarana dan prasarana
serta SDM perlu dipersiapkan “lebih”, karena Kurikulum 2013 memuat pelajaran
“peminatan” yang memungkinkan siswa memilih minat berbeda- beda, dan ini perlu
penyediaan sarana yang menunjang dan memadai.
Bahkan moving kelas menjadi salah satu alternatif yang
harus dilakukan sehubungan dengan mata pelajaran peminatan tersebut.
Pelatihan-pelatihan sudah dilaksanakan secara berjenjang, dimulai dari
penyiapan narasumber tingkat nasional. Narasumber ini adalah pakar-pakar yang
terlibat dalam penyusunan Kurikulum 2013. Mereka akan melatih instruktur
nasional, yang nantinya melatih guru inti dan guru sasaran. Guru inti terdiri
atas kepala sekolah dan pengawas, serta guru yang ditugasi dan memenuhi syarat.
Guru sasaran adalah guru mata pelajaran terpilih di kelas
terpilih dari sekolah terpilih yang akan melaksanakan Kurikulum 2013. Guru inti
inilah yang nantinya mendampingi guru sasaran dalam pelaksanaan pembelajaran.
Liminalitas Kurikulum 2013 Buku pelajaran dan silabi juga sudah disiapkan,
tinggal bagaimana guru mempelajari dan membangun semangat melaksanakan dengan
positive thinking. Kalau kemudian kita berpikir, “Kan hasilnya belum tentu, dan
masih banyak kekurangan di sana sini”, marilah kita balik logika itu, “Tidak
ada hasil yang sempurna”, dan suatu perubahan pasti menuntut
konsekuensi-konsekuensi.
Dalam suatu perubahan pasti terjadi kondisi- kondisi yang
ambigu, kebingungan akan sebuah “identitas”. Itu pasti, di mana pun dan
menyangkut perubahan apa pun. Akan tetapi suatu saat akan menuju pada situasi
kemapanan. Situasi inilah yang oleh Victor Turner (1977) dipakai untuk
menganalisis perubahan ritus kehidupan masyarakat Ndembu di Afrika.
Menganalogikan ritus kehidupan tersebut dengan ritus “kehidupan persekolahan”,
sepertinya hal ini bisa dipahami.
Masyarakat, dalam hal ini sekolah, pasti akan mengalami
suatu masa yang di ambang pintu “tidak di sini, juga tidak di sana”. “Satu
kaki” harus segera melaksanakan ritus Kurikulum 2013, sementara “satu kaki
lainnya” masih pada ritus kurikulum lama. Kondisi inilah yang dinamakan
“antistruktur”, kondisi liminal yang menimbulkan keambiguan. Namun seiring
dengan berjalannya waktu ritus Kurikulum 2013, keliminalan itu akan membawa
pada situasi “struktur baru”, yang oleh Turner disebut sebagai fase “post
liminal”, fase “kemapanan dalam struktur baru”. Bagaimana kemapanan struktur
baru itu terjadi? Seiring berjalannya waktu pelaksanaan ritus baru, yakni
Kurikulum 2013, semua pihak akan melakukan refleksi, merekonstruksi ritus
pelaksanakan pembelajaran sesuai dengan kurikulum tersebut.
Tentu saja refleksi dan rekonstruksi itu disertai semangat
positif bahwa “ritus baru” yakni Kurikulum 2013 adalah pilihan yang dianggap
baik untuk membuat ritus kehidupan baru yang lebih baik di bidang pendidikan.
Jadi bukannya membabi buta mengatakan, “Pokoknya Kurikulum 2013 yang terbaik”.
Bukan begitu, namun tetap ada refleksi dan rekonstruksi sejarah perkurikuluman.
Maka dengan semangat dan niat baik, mari kita melaksanakan ritus baru Kurikulum
2013. The show must go on. Jadi,
siapa takut? ●
ang m�Iuah��� sebagai pemicunya.
Sangat jelas, kalangan swasta membutuhkan lebih banyak dolar untuk membayar
utangnya ke pihak asing, dengan sendirinya keadaan ini membawa pengaruh pada
penekanan posisi rupiah. Penulis menyimpulkan, dapat dikatakan stabilitas ekonomi kita masih berada pada titik yang aman. Pelemahan rupiah hanya “gangguan” sementara, yang disebabkan oleh utang swasta. Sepatutnya, pihak swasta mengedepankan rupiah secara umum di wilayah Indonesia. Meski ancaman ini hanya bersifat sementara, ancaman krisis kepercayaan terhadap rupiah dapat dipastikan akan menciptakan instrumen krisis yang dapat menimbulkan kesengsaraan di negeri ini. ●
pL�a h���yak dalam menentukan calon pemimpin.
Selama ini parpol peserta pemilu sepakat untuk membuat
aturan main dan menyerahkan hak istimewa mereka sebagai parpol yang berhak
mengusulkan pasangan capres. Parpol sepakat bahwa jika sebagai parpol peserta
pemilu yang ingin secara sendiri-sendiri mengusulkan pasangan capres, parpol
tersebut harus memenuhi ambang batas perolehan minimal 20% dari jumlah kursi
DPR atau 25% perolehan suara sah nasional dalam Pemilu DPR. Alasan akademis
yang sering dipakai dan paling ampuh untuk mengecoh ialah guna penguatan
presidensial. Padahal sesungguhnya, sekali lagi, hal itu tidak korelatif dan
linear.
Namun yang pasti, ambang batas yang berlaku selama ini
bukanlah tergolong perbuatan `tak senonoh' menurut konstitusi. Ada keadaan
pascadua periode pemilu langsung presiden, rakyat harus dibahasakan dengan
bahasa yang mudah dicerna mengenai ambang batas presidensial tersebut.
Bahasa yang mudah dicerna bahwa kalau ambang batas 20%,
rakyat hanya disuguhi menu prasmanan pasangan capres pada pemilu nanti maksimal
lima macam menu (pasangan capres). Kalau ambang batasnya diturunkan hingga
lebih rendah, mungkin titik 0% (cukup terdaftar sebagai peserta pemilu), menu
yang disajikan memungkinkan hingga 12 macam menu (pasangan capres) dari 12
peserta pemilu legislatif saat ini.
Oleh karenanya, jika wacana tersebut dibawa ke perdebatan
hak istimewa parpol dalam mengusulkan pasangan capres, akan terjadi
eksklusivitas perdebatan di antara parpol itu sendiri. Yang pasti ruang
dialektika sesungguhnya ialah kalkulasi politik atau kekuasaan di antara parpol
itu sendiri yang bisa jadi atmosfernya adalah saling jegal di antara mereka
sendiri. Namun yang pasti, dialektika publiknya tidak akan sevulgar itu, tetapi
akan menggunakan isu yang lebih mudah mengecoh, yaitu penguatan presidensial.
Padahal, esensi perdebatan ambang batas ini sesungguhnya
bukan hak parpol, melainkan yang utama ialah hak rakyat untuk memilih dari menu
prasmanan yang bakal disajikan parpol di pemilu presiden mendatang.
Oleh karenanya, isu ambang batas presidensial jangan
terburu-buru ditutup di DPR. Lemparkanlah ke rakyat hingga beberapa waktu ke
depan. Jika rakyat memang lebih menginginkan sedikit menu prasmanan karena
produknya dijamin berkualitas dan bergaransi pada pilpres nantinya, atau
setidaknya rakyat ternyata masih menyukai menu yang itu-itu saja seperti pemilu
ke marin, ambang batas presidensial tidak urgen untuk diubah.
Namun kalau rakyat menginginkan ada menu baru dan pilihan
lebih variatif karena rakyat sudah sadar tidak ingin dipaksa mencicipi menu
yang dipaksakan di antara parpol itu sendiri, parpol harus legowo memenuhi kehendak rakyat untuk merevisi ambang batas itu.
Semua bergantung pada ketersadaran rakyat akan hak
konstitusional sebagai pemilik kedaulatan. Yang pasti, bandul tersebut berada
pada kearifan parpol dalam mendesain demokrasi konstitusional kita, apakah
lebih senang berjudi dalam `kawin paksa' pasangan capres, atau melakukan
purifikasi akan hak keistimewaan mereka sebagai pemilik hak secara sendiri
dalam mengusulkan pasangan capres yang diberikan langsung oleh konstitusi? ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar