Kamis, 18 Juli 2013

Kurikulum Baru, Siapa Takut?

Kurikulum Baru, Siapa Takut?
Tri Marhaeni PA ;  Guru Besar Antropologi Fakultas Ilmu Sosial Unnes,
Anggota Tim Penyusun Kurikulum 2013 Mata Pelajaran Antropologi
SUARA MERDEKA, 15 Juli 2013


Pemerintah selalu merasa pada pihak yang benar, dan seperti menyudutkan guru, siswa, dan pihak lain. KURIKULUM 2013, mengapa harus takut? Ya, inilah saatnya kita “melihat pemberlakuan” Kurikulum 2013 yang mengundang pro dan kontra. Sesungguhnyalah tak ada yang perlu ditakutkan. Pertama; informasi tentang kurikulum baru itu dapat diakses secara onlinetiap saat.

Kedua; pemberlakuan kelas terpilih dan sekolah terpilih menjadi kebijakan pada tahun pertama, Ketiga; pelatihan-pelatihan sudah dilaksanakan. Keempat; buku pegangan sudah disiapkan. Lalu silabinya pun sudah disiapkan. Jadi tidak ada alasan untuk takut atau khawatir. Mari kita songsong Kurikulum 2013 dengan kepala tegak dan “kegembiraan”.

Tak Ada Alasan

Pelaksanaan kurikulum baru hakikatnya bukanlah suatu perubahan besar dalam dunia pendidikan yang harus dikhawatirkan, apalagi ditakutkan. Mengapa? Selain alasan-alasan di atas, pemberlakuan juga pada kelas terpilih dan sekolah terpilih.

Pada tiap jenjang, yang terpilih adalah SD kelas I dan IV, jenjang SMP kelas VII, dan jenjang SMA kelas X. Sekolah yang memberlakukan adalah yang secara fisik, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia (SDM)-nya sudah siap, termasuk gurunya. Maka dipilih terutama eks RSBI, dan sekolah yang sudah dinilai siap meskipun bukan eks RSBI. Sekolahsekolah itulah yang dinilai sudah mempunyai sarana dan prasarana serta SDM memadai.

Dengan kondisi itu, jelas di tiap kabupaten/kota dalam tiap provinsi, yang memberlakukan Kurikulum 2013 adalah sekolah dengan kriteria-kriteria tersebut. Secara bertahap, sambil terus berefleksi dan melakukan pembenahan belajar dari pelaksanaan tahun pertama, Kurikulum 2013 akan diberlakukan untuk semua jenjang dan semua sekolah, — tentu secara bertahap— dengan dukungan sarana dan prasarana yang difasilitasi pemerintah. Mengapa sarana dan prasarana serta SDM perlu dipersiapkan “lebih”, karena Kurikulum 2013 memuat pelajaran “peminatan” yang memungkinkan siswa memilih minat berbeda- beda, dan ini perlu penyediaan sarana yang menunjang dan memadai.

Bahkan moving kelas menjadi salah satu alternatif yang harus dilakukan sehubungan dengan mata pelajaran peminatan tersebut. Pelatihan-pelatihan sudah dilaksanakan secara berjenjang, dimulai dari penyiapan narasumber tingkat nasional. Narasumber ini adalah pakar-pakar yang terlibat dalam penyusunan Kurikulum 2013. Mereka akan melatih instruktur nasional, yang nantinya melatih guru inti dan guru sasaran. Guru inti terdiri atas kepala sekolah dan pengawas, serta guru yang ditugasi dan memenuhi syarat.

Guru sasaran adalah guru mata pelajaran terpilih di kelas terpilih dari sekolah terpilih yang akan melaksanakan Kurikulum 2013. Guru inti inilah yang nantinya mendampingi guru sasaran dalam pelaksanaan pembelajaran. Liminalitas Kurikulum 2013 Buku pelajaran dan silabi juga sudah disiapkan, tinggal bagaimana guru mempelajari dan membangun semangat melaksanakan dengan positive thinking. Kalau kemudian kita berpikir, “Kan hasilnya belum tentu, dan masih banyak kekurangan di sana sini”, marilah kita balik logika itu, “Tidak ada hasil yang sempurna”, dan suatu perubahan pasti menuntut konsekuensi-konsekuensi.

Dalam suatu perubahan pasti terjadi kondisi- kondisi yang ambigu, kebingungan akan sebuah “identitas”. Itu pasti, di mana pun dan menyangkut perubahan apa pun. Akan tetapi suatu saat akan menuju pada situasi kemapanan. Situasi inilah yang oleh Victor Turner (1977) dipakai untuk menganalisis perubahan ritus kehidupan masyarakat Ndembu di Afrika. Menganalogikan ritus kehidupan tersebut dengan ritus “kehidupan persekolahan”, sepertinya hal ini bisa dipahami.

Masyarakat, dalam hal ini sekolah, pasti akan mengalami suatu masa yang di ambang pintu “tidak di sini, juga tidak di sana”. “Satu kaki” harus segera melaksanakan ritus Kurikulum 2013, sementara “satu kaki lainnya” masih pada ritus kurikulum lama. Kondisi inilah yang dinamakan “antistruktur”, kondisi liminal yang menimbulkan keambiguan. Namun seiring dengan berjalannya waktu ritus Kurikulum 2013, keliminalan itu akan membawa pada situasi “struktur baru”, yang oleh Turner disebut sebagai fase “post liminal”, fase “kemapanan dalam struktur baru”. Bagaimana kemapanan struktur baru itu terjadi? Seiring berjalannya waktu pelaksanaan ritus baru, yakni Kurikulum 2013, semua pihak akan melakukan refleksi, merekonstruksi ritus pelaksanakan pembelajaran sesuai dengan kurikulum tersebut.

Tentu saja refleksi dan rekonstruksi itu disertai semangat positif bahwa “ritus baru” yakni Kurikulum 2013 adalah pilihan yang dianggap baik untuk membuat ritus kehidupan baru yang lebih baik di bidang pendidikan. Jadi bukannya membabi buta mengatakan, “Pokoknya Kurikulum 2013 yang terbaik”. Bukan begitu, namun tetap ada refleksi dan rekonstruksi sejarah perkurikuluman. Maka dengan semangat dan niat baik, mari kita melaksanakan ritus baru Kurikulum 2013. The show must go on. Jadi, siapa takut? 
ang m�Iuah� �� sebagai pemicunya. Sangat jelas, kalangan swasta membutuhkan lebih banyak dolar untuk membayar utangnya ke pihak asing, dengan sendirinya keadaan ini membawa pengaruh pada penekanan posisi rupiah. 
  
Penulis menyimpulkan, dapat dikatakan stabilitas ekonomi kita masih berada pada titik yang aman. Pelemahan rupiah hanya “gangguan” sementara, yang disebabkan oleh utang swasta. Sepatutnya, pihak swasta mengedepankan rupiah secara umum di wilayah Indonesia. Meski ancaman ini hanya bersifat sementara, ancaman krisis kepercayaan terhadap rupiah dapat dipastikan akan menciptakan instrumen krisis yang dapat menimbulkan kesengsaraan di negeri ini. 

pL�a h� �� yak dalam menentukan calon pemimpin.

Selama ini parpol peserta pemilu sepakat untuk membuat aturan main dan menyerahkan hak istimewa mereka sebagai parpol yang berhak mengusulkan pasangan capres. Parpol sepakat bahwa jika sebagai parpol peserta pemilu yang ingin secara sendiri-sendiri mengusulkan pasangan capres, parpol tersebut harus memenuhi ambang batas perolehan minimal 20% dari jumlah kursi DPR atau 25% perolehan suara sah nasional dalam Pemilu DPR. Alasan akademis yang sering dipakai dan paling ampuh untuk mengecoh ialah guna penguatan presidensial. Padahal sesungguhnya, sekali lagi, hal itu tidak korelatif dan linear.
Namun yang pasti, ambang batas yang berlaku selama ini bukanlah tergolong perbuatan `tak senonoh' menurut konstitusi. Ada keadaan pascadua periode pemilu langsung presiden, rakyat harus dibahasakan dengan bahasa yang mudah dicerna mengenai ambang batas presidensial tersebut.
Bahasa yang mudah dicerna bahwa kalau ambang batas 20%, rakyat hanya disuguhi menu prasmanan pasangan capres pada pemilu nanti maksimal lima macam menu (pasangan capres). Kalau ambang batasnya diturunkan hingga lebih rendah, mungkin titik 0% (cukup terdaftar sebagai peserta pemilu), menu yang disajikan memungkinkan hingga 12 macam menu (pasangan capres) dari 12 peserta pemilu legislatif saat ini.
Oleh karenanya, jika wacana tersebut dibawa ke perdebatan hak istimewa parpol dalam mengusulkan pasangan capres, akan terjadi eksklusivitas perdebatan di antara parpol itu sendiri. Yang pasti ruang dialektika sesungguhnya ialah kalkulasi politik atau kekuasaan di antara parpol itu sendiri yang bisa jadi atmosfernya adalah saling jegal di antara mereka sendiri. Namun yang pasti, dialektika publiknya tidak akan sevulgar itu, tetapi akan menggunakan isu yang lebih mudah mengecoh, yaitu penguatan presidensial.
Padahal, esensi perdebatan ambang batas ini sesungguhnya bukan hak parpol, melainkan yang utama ialah hak rakyat untuk memilih dari menu prasmanan yang bakal disajikan parpol di pemilu presiden mendatang.
Oleh karenanya, isu ambang batas presidensial jangan terburu-buru ditutup di DPR. Lemparkanlah ke rakyat hingga beberapa waktu ke depan. Jika rakyat memang lebih menginginkan sedikit menu prasmanan karena produknya dijamin berkualitas dan bergaransi pada pilpres nantinya, atau setidaknya rakyat ternyata masih menyukai menu yang itu-itu saja seperti pemilu ke marin, ambang batas presidensial tidak urgen untuk diubah.
Namun kalau rakyat menginginkan ada menu baru dan pilihan lebih variatif karena rakyat sudah sadar tidak ingin dipaksa mencicipi menu yang dipaksakan di antara parpol itu sendiri, parpol harus legowo memenuhi kehendak rakyat untuk merevisi ambang batas itu.
Semua bergantung pada ketersadaran rakyat akan hak konstitusional sebagai pemilik kedaulatan. Yang pasti, bandul tersebut berada pada kearifan parpol dalam mendesain demokrasi konstitusional kita, apakah lebih senang berjudi dalam `kawin paksa' pasangan capres, atau melakukan purifikasi akan hak keistimewaan mereka sebagai pemilik hak secara sendiri dalam mengusulkan pasangan capres yang diberikan langsung oleh konstitusi? 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar