Sambil mengambil pisau bedah, Dokter Terawan mulai
menyanyikan lagu kesukaannya, Di Doa Ibuku. Suaranya pelan, tapi sudah memenuhi ruang operasi itu.
Saya
berbaring di depannya, di sebuah ruang operasi di RSPAD Gatot Subroto
Jakarta, Jumat pagi lalu. Peralatan operasi sudah disiapkan dengan rapi.
Para perawat juga sudah berada di posisi masing-masing.
Sebenarnya saya tidak dalam keadaan sakit. Juga tidak punya keluhan
apa pun. Hanya, saya memang sudah lama ingin melakukan ini: cuci otak.
Sejak masih jadi direktur utama Perusahaan Listrik Negara dulu. Keinginan
itu tertunda terus oleh kesibukan yang padat, terutama setelah menjadi
menteri BUMN. Bahkan, keinginan untuk coba-coba melakukan stem cell pun tertunda sampai sekarang.
Mencoba merasakan cuci otak ini bisa dianggap penting, bisa juga
tidak. Saya ingin mencobanya karena ini merupakan metode baru untuk
membersihkan saluran-saluran darah di otak. Agar terhindar dari bahaya
stroke atau perdarahan di otak. Dua bencana itu biasanya datang tiba-tiba.
Kadang tanpa gejala apa-apa. Dan bisa menimpa siapa saja.
Saya tahu, metode cuci otak Dokter Terawan ini masih kontroversial.
Pendapat kalangan dokter masih terbelah.
Masih banyak dokter yang belum bisa menerimanya sebagai bagian dari medical treatment.
Pengobatan model Dokter Terawan, ahli radiologi yang berumur 48 tahun, yang
berpartner dengan Dokter Tugas, ahli saraf yang berumur 49 tahun, ini masih
terus dipersoalkan. Dia masih sering "diadili" di rapat-rapat
profesi kedokteran.
Saya terus mengikuti perkembangan pro-kontra itu. Termasuk ingin tahu
sendiri secara langsung seperti apa cuci otak itu. Dengan cara
menjalaninya. Kesempatan itu pernah datang, tapi beberapa kali tertunda.
Sebab, ada pasien yang lebih mendesak untuk ditangani. Sebagai orang sehat,
saya harus mengalah.
Kamis malam lalu kesempatan itu datang lagi. Seusai sidang kabinet di
istana, saya langsung masuk RSPAD Gatot Subroto. Berbagai pemeriksaan awal
dilakukan malam itu: periksa darah, jantung, paru-paru, dan MRI. Dan yang
juga penting dilakukan Dokter Tugas adalah ini: pemetaan saraf otak.
Beberapa tes dilakukan. Untuk mengetahui kondisi saraf maupun fungsi otak.
Keesokan harinya, pagi-pagi, saya sudah bisa menjalani cuci otak di ruang
operasi. Saya sudah tahu apa yang akan terjadi karena dua minggu sebelumnya
istri saya sudah lebih dulu menjalaninya. Saat itu saya menyaksikan dari
layar komputer.
Cuci otak ini dimulai dengan irisan pisau di pangkal paha. Saat mengambil
pisau, seperti biasa, adalah saat dimulainya Dokter Terawan menyanyikan
lagu kesukaannya, Di Doa
Ibuku.
Perhatian saya pun terbelah: mendengarkan lagu itu atau siap-siap merasakan
torehan pisau ke pangkal paha yang tidak dibius. Tiba-tiba Dokter Terawan
mengeraskan suaranya yang memang merdu. Saya pun kian memperhatikan lagu
itu.
Saat puncak perhatian saya ke lagu itulah, rupanya Dokter Terawan
menorehkan pisaunya. Tipuan itu berhasil membuat rasa sakit hanya melintas
sekilas.
Dan Dokter Terawan terus menyanyi:
Di waktu masih kecil
Gembira dan senang
Tiada duka kukenang
Di sore hari nan sepi
Ibuku berlutut
Sujud berdoa
Kudengar namaku disebut
Di doa ibuku
Sebuah lagu yang isinya kurang lebih saya alami sendiri saat saya masih kecil,
sebelum ibu saya meninggal saat saya berumur 10 tahun. Otomatis perhatian
saya ke lagu itu. Itulah cara Dokter Terawan membius pasiennya.
Saya jadi teringat saat memasuki ruang operasi menjelang ganti hati enam
tahun lalu di RS Tianjin, Tiongkok. Ruang operasi dibuat ingar-bingar oleh
lagu rock yang lagi top-topnya saat itu di sana: Mei Fei Se Wu, yang
berarti bulu mata menari-nari. Sebelum lagu berbahasa Mandarin itu
berakhir, saya sudah tidak ingat apa-apa lagi: Saya dimatikan selama 13
jam.
Demikian juga Dokter Terawan. Sambil terus menyanyikan Di Doa Ibuku, dia mulai
memasukkan kateter dari luka di pangkal paha itu. Lalu mendorongnya menuju
otak. Kateter pun terlihat memasuki otak kanan. "Sebentar lagi akan
ada rasa seperti mint,"
ujar Terawan.
Benar. Di otak dan mulut saya terasa pyar yang lembut disertai rasa Mentos
yang ringan.
Itulah rasa yang ditimbulkan oleh cairan pembasuh yang disemprotkan ke
saluran darah di otak.
"Rasa itu muncul karena sensasi saja," katanya.
Hampir setiap dua detik terasa lagi sensasi yang sama. Berarti Dokter
Terawan menyemprotkan lagi cairan pembasuh lewat lubang di dalam kateter
itu. Saya mulai menghitung berapa pyar yang akan saya rasakan. Kateter
itu terus menjelajah bagian-bagian otak sebelah kanan. Pyar, pyar, pyar. Lembut. Mint. Ternyata sampai 16
kali.
Begitu dokter mengatakan pembersihan otak kanan sudah selesai, saya melirik
jam. Kira-kira delapan menit.
Kateter lantas ditarik. Ganti diarahkan ke otak kiri. Rasa pyar-mint yang sama terjadi lagi. Saya tidak
menghitung. Perhatian saya beralih ke pertanyaan yang akan saya ajukan
seusai cuci otak nanti: Mengapa dimulainya dari otak kanan?
Usai mengerjakan semua itu, Terawan menjawab. "Karena terjadi
penyumbatan di otak kiri Bapak," katanya.
Hah? Penyumbatan? Di otak kiri? Mengapa selama ini tidak terasa? Mengapa
tidak ada gejala apa-apa? Mengapa saya seperti orang sehat 100 persen?
Dokter Terawan, kolonel TNI-AD yang lulusan Universitas Gadjah Mada
Jogjakarta dengan spesialisasi radiologi dari Universitas Airlangga
Surabaya itu, lantas menunjuk ke layar komputer. "Lihat sebelum dan
sesudahnya," ujar Terawan.
Sebelum diadakan pencucian, satu cabang saluran darah ke otak kiri tidak
tampak di layar. "Mestinya bentuk saluran darah itu seperti lambang
Mercy. Tapi, ini tinggal seperti lambang Lexus," katanya.
Setiap orang ternyata memiliki lambang Mercy di otaknya. "Nah, setelah
yang buntu itu dijebol, lambang Mercy-nya sudah kembali," katanya
sambil menunjuk layar sebelahnya. Jelas sekali bedanya.
Karena saluran yang buntu itu, beban gorong-gorong di otak kanan terlalu
berat. "Lama-lama bisa terjadi pembengkakan dan pecah," katanya.
"Lalu terjadilah perdarahan di otak," tambahnya.
Alhamdulillah. Puji Tuhan. Saya
pun langsung teringat Pak Sumaryanto Widayatin, deputi menteri BUMN bidang
infrastruktur dan logistik yang hebat itu. Yang juga ketua alumni ITB itu.
Yang idenya banyak itu. Yang terobosan birokrasinya tajam itu. Sudah hampir
setahun terbaring tanpa bisa bicara dan hanya sedikit bisa menggerakkan
anggota badan.
Saluran darah ke otaknya pecah justru di tengah tidurnya menjelang dini
hari. Saya sungguh menyesal tidak menyarankannya ke Terawan sebelum itu.
Penyesalan panjang yang tidak berguna. Kini, setelah perawatan yang panjang
oleh istrinya yang hebat, Pak Sum memang terlihat kian segar dan pikirannya
tetap hidup bergairah, tapi masih perlu banyak waktu untuk bisa bicara.
Setelah cuci otak ini berhasil membersihkan gorong-gorong yang buntu, saya
kembali ke kamar. Kaki tidak boleh bergerak selama tiga jam. Tapi, sore itu
saya sudah bisa terbang ke Surabaya. Untuk merayakan Imlek bersama
masyarakat Tionghoa dan besoknya mengadakan khataman Alquran bersama para hufadz di rumah saya.
Tiap hari Dokter Terawan sibuk dengan antrean yang panjang. Ada yang karena
sakit, ada juga yang karena ingin tetap sehat.
Bagi yang cito! akan langsung ditangani. Tapi,
bagi yang sehat, antrenya sudah mencapai tiga bulan. Sebab, hanya sekitar
15 orang yang bisa ditangani setiap hari. Lebih dari itu, bisa-bisa Terawan
sendiri yang akan mengalami perdarahan di otaknya.
Belum diterimanya metode itu oleh dunia kedokteran di seluruh dunia membuat
gerak Terawan terbatas. Misalnya tidak bisa secara terbuka mengajarkan
ilmunya itu ke dokter-dokter lain agar antrean tidak terlalu panjang.
Sampai hari ini, baru dialah satu-satunya di dunia yang bisa melakukan cara
itu.
Kalau profesi dokter tidak segera bisa menerima metode itu, jangan-jangan
Persatuan Insinyur Indonesia yang akan segera mengakuinya. Anggap saja
Terawan ahli membersihkan gorong-gorong yang buntu. Hanya, gorong-gorong
itu letaknya tidak di Bundaran HI. ●
|
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar