Masyarakat akan tahu bahwa, di dalam pusaran kekuasaan,
kaum Islamis juga bisa tersangkut korupsi dan terbuai bujuk rayu nikmat
duniawi. Mereka sangat bisa terlibat skandal seksual, tergiur suap,
mengkhianati janji-janji suci nan surgawi, dan kewalahan memasarkan teori
konspirasi sebagai dalih agar mereka tetap tampak suci.
Salah satu gejala politik menarik setelah lebih dari 2
tahun Musim Semi Arab adalah terjadinya proses desakralisasi Islamisme.
Yang dimaksud desakralisasi adalah semakin menipisnya kredibilitas dan
melemahnya kekuatan simbolik Islamisme sebagai paham yang menjadikan Islam
bukan hanya agama, tapi juga proyek ideologi politik kekuasaan. Ini
sesungguhnya gejala yang mudah diterka, terutama karena belum gemilangnya
performa Islamisme di pentas politik Timur Tengah di Kairo, Maroko, dan
Tunisia.
Khalil al-Anani--ahli Timur Tengah dari Universitas
Durham, Inggris--merekam gejala itu dalam sebuah kolom di Foreign Policy,
11 Februari 2013. Menurut al-Anani, selama lebih dari tiga dekade,
Islamisme Timur Tengah telah mencitrakan diri sebagai ideologi penyelamat
(salvation ideology) yang mampu memberi suaka bagi generasi muda Timur
Tengah yang termarginalisasi dan teralienasi oleh proses urbanisasi serta
kebijakan rezim yang dianggap tidak agamawi. Islamisme, al-Anani mencatat,
bagi kaum muda urban konservatif itu, dipandang sebagai proyek emansipasi
dari perpolitikan yang profan dan temporal.
Otoritarianisme dan buruknya performa rezim-rezim
sekuler Timur Tengah telah mengubah proyek Islamisme menjadi magnet yang
menjanjikan surga di muka bumi. Berbekal janji suci tegaknya negara Islam
atau negara Islami, gerakan-gerakan Islamisme seperti al-Ikhwanul
al-Muslimun maupun an-Nahdla berhasil menarik simpati dan mempesona
masyarakat luas Timur Tengah. Namun, setelah 2 tahun revolusi dan
demokratisasi memberi mereka peluang untuk bertakhta, pelan-pelan
janji-janji surgawi itu menjelma menjadi halusinasi dan fatamorgana.
Langkah-langkah dan kebijakan kaum Islamis yang belum
berhasil, baik di Mesir maupun Tunisia, telah ikut menodai
"kemurnian" dan "kesucian" proyek Islamisme.
Aktor-aktor Islamisme, baik Ikhwani, Salafi, maupun Nahdlawi, membuktikan
bahwa mereka juga manusia yang rentan salah dan dosa. Al-Anani mencatat,
sekalipun partai-partai Islamis mendominasi perpolitikan elektoral Timur
Tengah kini, pesona Islamisme pelan-pelan mengalami erosi. Lewat
perpolitikan sehari-hari, Islamisme telah mendesakralisasi diri sendiri dan
itu sangat mungkin terjadi lebih intensif di era demokrasi.
Tiga Penyebab
Al-Anani tidak memerinci sebab-sebab desakralisasi
Islamisme. Namun, menurut saya, setidaknya ada tiga penyebab yang bisa
diamati. Pertama, gagap kekuasaan. Selama 3-4 dekade, kaum Islamis Timur
Tengah terbiasa dengan wacana oposisi. Selama menjadi oposan terkuat atas
rezim, mereka leluasa melancarkan propaganda dan mengumbar ide-ide yang tak
berjejak di tanah sekalipun. Masuk ke kekuasaan, mereka dihadapkan pada
"hukum besi" pragmatisme dalam pengelolaan pemerintahan. Pada
titik ini, konsistensi antara idealisme dan ideologi Islamisme diuji oleh
langkah-langkah taktis dan praktis mereka di dalam memerintah.
Dalam konteks Timur Tengah, sikap Islamisme terhadap
Israel merupakan bahan ujian paling nyata. Wacana Islamisme yang ekstrem
terhadap Israel tidak serta-merta dapat diterjemahkan ke dunia nyata ketika
mereka berada di dalam pusaran kekuasaan. Sampai kini, rezim
Islamis-Ikhwani Mesir tetap berkomitmen untuk menjaga perdamaian dengan
Israel. Ujian lain berupa janji pengelolaan sistem ekonomi yang berkeadilan
dan non-ribawi. Sikap dogmatis terhadap soal bunga bank adalah sangat khas
di kalangan Islamis. Namun, ketika berkuasa, rezim Islamis-Ikhwani mau tak
mau menerima bantuan ribawi Dana Moneter Internasional (IMF) demi
menanggulangi tekanan dan krisis ekonomi yang mendera negeri Firaun ini.
Penyebab kedua desakralisasi berkaitan dengan performa
dan kemampuan rezim Islamis dalam mewujudkan janji-janji surgawi mereka.
Dalam proses transisi politik yang dramatis di Timur Tengah saat ini,
ekspektasi sosial-politik-ekonomi publik sangat tinggi, sementara kesabaran
akan janji-janji perubahan sangat rendah. Retorika-retorika suci belaka tak
akan bermakna sepanjang publik tak menemukan perbaikan-perbaikan nyata
dalam perikehidupan mereka. Pada titik ini, rezim Islamis Mesir, Maroko,
maupun Tunisia, akan diponten berdasarkan pencapaian-pencapaian nyata
mereka dalam mewujudkan aspirasi dan tuntutan perubahan.
Penyebab ketiga berkenaan dengan kesalahan-kesalahan
elementer kaum Islamis sendiri. Dalam proses demokratisasi Timur Tengah
saat ini, tindak-tanduk kaum Islamis akan selalu direkam serta dipantau
masyarakat dan media jauh lebih bebas. Kesalahan-kesalahan kaum Islamis
yang mungkin lebih kecil saja akan dipandang lebih gawat ketimbang salah
dan alpa rekan-rekan non-Islamis mereka. Meminjam adagium sufisme,
"apa yang terhitung pahala bagi orang biasa, akan terbilang dosa bagi
para penempuh jalan Allah" (hasanat
al-abrar, sayyi'at al-muqarrabin). Dalam konteks ini, terbukanya
aib-aib pribadi dan publik kaum Islamis yang mengklaim politik bermoral
agama, akan dipandang sebagai skandal akbar oleh masyarakat dan media.
Menuju Normalisasi
Sekalipun menangkap gejala desakralisasi dalam tubuh
Islamisme, Al-Anani tidak memprediksi masyarakat Timur Tengah akan mengalami
sekularisasi kultural yang masif dalam waktu yang segera. Kaum Islamis ada
kemungkinan masih tetap punya tuah dan pesona di kotak suara--paling tidak
2-3 pemilu lagi--sepanjang belum terjadinya pencerahan pendidikan dan
kultural yang merata. Demokrasi ada kemungkinan mempercepat proses
desakralisasi dan sekularisasi, utamanya bila performa mereka di
pemerintahan tidak lebih baik daripada rezim sekuler yang dikecam mereka.
Dalam jangka pendek dan menengah, proses desakralisasi
mungkin sekali akan dibarengi normalisasi Islamisme itu sendiri. Yang saya
maksud normalisasi adalah persepsi publik yang semakin luas bahwa tidak ada
yang unik dan istimewa dari Islamisme. Kaum Islamis adalah makhluk politik
di antara makhluk-makhluk politik lainnya; mereka berkontestasi dalam
merebut kekuasaan dengan sumber daya yang mereka punya. Sementara pada era
Perang Dingin sosialisme dan komunisme mempesona, kini Islamisme-lah yang
berjaya dan menjadi primadona. Gagal-berhasilnya uji coba mereka di alam
demokrasi adalah imbang belaka.
Normalisasi akan lebih cepat lagi bila media dan
masyarakat berhasil menangkap fakta bahwa kaum Islamis adalah makhluk
politik yang tidak sesuci klaim-klaim mereka. Masyarakat akan tahu bahwa,
di dalam pusaran kekuasaan, kaum Islamis juga bisa tersangkut korupsi dan
terbuai bujuk rayu nikmat duniawi. Mereka sangat bisa terlibat skandal
seksual, tergiur suap, mengkhianati janji-janji suci nan surgawi, dan
kewalahan memasarkan teori konspirasi sebagai dalih agar mereka tetap
tampak suci.
Saat hal-hal itu terjadi sebagaimana di
negeri kita, normalisasi Islamisme secara paripurna akan terjadi dan
politik akan dipahami sebagai cara-cara yang manusiawi untuk mencapai
tujuan-tujuan yang mungkin mulia dan suci--mungkin pula hina dan sangat
duniawi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar