Audit dan
Kontrol Densus 88
Herie Purwanto ; Ajun Komisaris Polisi,
Dosen Fakultas Hukum Universitas Pekalongan (Unikal)
|
|
JAWA
POS, 18 Februari 2013
SEPAK
terjang Densus 88 Antiteror beberapa waktu terakhir mendapat sorotan dari
parlemen. Komisi III DPR yang membidangi hukum dan HAM berencana membentuk
panitia kerja (panja) untuk mengawasi satuan khusus Mabes Polri tersebut.
Selama ini Polri dan BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme)
terkesan mendiamkan tindakan Densus 88 yang di luar batas saat menindak
terduga teroris. Densus diduga melakukan sejumlah pelanggaran berat HAM
saat beberapa kali terjadi salah tangkap dan salah tembak. (Jawa Pos, 16/02).
Capaian
Densus 88 dalam memberantas terorisme di Indonesia sudah diakui secara
internasional. Bahkan, Australia dan AS angkat topi kepada kinerja Densus
88 yang mampu menuntaskan beberapa kasus peledakan bom seperti bom Bali,
Marriott, dan pengeboman lainnya hingga ke akar-akarnya. Amerika belum bisa
secara tuntas hingga kini mengungkap siapa sebenarnya aktor intelektual di
balik serangan ke gedung kembar World Trade Centre.
Beberapa negara juga tidak sungkan-sungkan datang ke Indonesia,
tepatnya ke Jakarta Centre for Law
Enforcement Cooepration (JCLEC) yang berada di kompleks Akademi
Kepolisian. Lembaga, yang donasinya dari beberapa negara, itu menjadi
tempat mempelajari pengungkapan terorisme. Pengakuan secara internasional
tersebut menunjukan korelasi signifikan terhadap keberadaan dan
keberhasilan Densus 88 dalam memerangi terorisme di Indonesia.
Bila sementara pihak beranggapan bahwa dalam operasinya Densus 88
melanggar HAM dan bertindak di luar hukum, misalnya menangkap tersangka
teroris dengan kekerasan, ditembak hingga mati, salah tangkap, ataupun
tindakan lain yang diduga masuk ranah pelanggaran HAM, perlu dikaji lebih
dalam. Mengapa demikian?
Pertama, pembongkaran terorisme tentu tidak semudah memberikan stigma
Densus 88 telah bersikap arogan dengan mengumbar kekerasan saat menangkap
tersangka teroris. (Saya tidak menggunakan istilah terduga teroris karena
dalam hukum acara kita tidak mengenal istilah terduga. Seseorang yang
kedapatan sudah ada bukti permulaan yang cukup sebagaimana diatur dalam
pasal 184 UU Nomor 8/1981 tentang KUHAP merupakan tersangka, bukan
terduga).
Densus 88 tentunya telah mengantongi minimal dua alat bukti sebelum
memastikan sasaran yang akan ditangkap. Hanya, saat akan menangkap
tersangka, Densus 88 berada dalam keadaan yang berbeda ketika polisi biasa
akan menangkap tersangka kejahatan biasa atau konvensional. Misalnya,
tersangka pencurian. Terhadap tersangka pencurian pun, standard operating procedur (SOP) berbeda. Bila pencurian
dengan kekerasan dengan tersangka bersenjata, tentu eskalasi kekuatan
timnya pun akan berbeda.
Hal itu juga sama dengan Densus 88 yang dibentuk khusus menghadapi
kejahatan dengan eskalasi risiko yang tinggi, yaitu teroris. Asumsi yang
harus dibangun saat akan melakukan operasi penangkapan teroris ibarat akan
masuk ke belantara peperangan. Di sini akan berlaku adagium to kill or to be killed,
dibunuh atau membunuh. Itu tidak berarti pembenaran bahwa terhadap
tersangka langsung ditembak. Ada urutan atau tahapan kapan dan bagaimana
senjata harus diarahkan kepada sasaran yang mematikan. Yang jelas, sasaran
mematikan dibidikkan manakala nyawa petugas terancam, atau jiwa orang lain
terancam.
Terhadap teroris yang sudah didoktrin tidak peduli kematian, Densus
88 tentu membutuhkan kewaspadaan ekstratinggi. Walaupun sudah bersikap
waspada dan profesional, sering juga anggota Densus 88 tewas tertembak
teroris. Itu yang kadang kurang terekspos dan diperhatikan publik. Baru
ketika tersangka teroris tertangkap dalam keadaan tertembak, Densus 88
diposisikan sebagai pihak yang kurang menjunjung tinggi HAM.
Libatkan Eksternal
Kedua, muncul anggapan bahwa Mabes Polri maupun BNPT tutup mata
terhadap tindakan Densus 88 tadi. Muncul anggapan, Densus melalaikan asas
praduga tak bersalah atau presumtion
of innocence sampai pada
tindakan extra judicial
killing. Karena itu,
perlu diadakan audit terhadap kinerja Densus yang bersimbol burung hantu
tersebut. Sejatinya, apa yang dilakukan Densus 88 setelah melakukan aksi
penangkapan terhadap teroris akan dipertanggungjawabkan secara internal.
Bentuk pertanggungjawaban itu scientific
crime identification (SCI). Pengungkapan suatu perkara dengan
standar SCI sudah diakui internasional. Baik metode maupun pembuktian
dilakukan secara ilmiah sehingga bisa dikaji kebenaran materi perkara
tersebut.
Hanya, ketidakterlibatan lembaga eksternal pada proses tersebut
memunculkan asumsi yang kurang menguntungkan profesionalisme Densus 88.
karena itu, ke depan memang diperlukan adanya transparansi.
Sedangkan, pengendalian dan pengawasan memang sudah sewajarnya
dilakukan lembaga eksternal, khususnya komisi III. Hasilnya disampaikan
kepada publik secara berkala dan terbuka sehingga muncul penilaian lebih
adil atas kinerja Densus 88 dan tak muncul ide gegabah untuk
membubarkannya. Adakah jaminan bila Densus 88 dibubarkan teroris di negeri
ini tidak semakin eksis?
●
|
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar