Merebut
Sejarah Masa Depan
Donny Syofyan ; Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
|
SINAR
HARAPAN, 16 Januari 2013
Kalender 2013 baru saja terbuka. Warga negara
yang arif percaya selalu ada hubungan erat antara masa lalu, hari ini dan
waktu yang akan datang. Adlai Stevenson (1900-1995), seorang kandidat
presiden Amerika Serikat, mengatakan bahwa kita bisa memetakan masa depan
kita dengan jelas dan bijaksana hanya bila kita mengetahui masa lalu yang
telah membawa kita kepada hari ini.
Tak
jauh berbeda, Jules de Goncourt (1830-1870) menyatakan bahwa hanya ada dua
arus besar dalam sejarah manusia; kehinaan yang melahirkan kaum konservatif
dan keirian yang membentuk manusia-manusia revolusioner.
Pasal
sepakat atau tidak dengan proposisi di atas, dalam banyak hal terbuhul erat
dengan pelajaran sejarah yang diterima masa lalu. Pada satu sisi, bila kita
mendapatkan pelajaran yang benar dalam sejarah, boleh jadi kita melihat
adanya relasi antara masa lalu, masa kini dan masa depan. Di sisi lain, jika
apa yang kita peroleh di masa lalu hanya sebatas pelajaran menghafal “fakta mati” dari peristiwa-peristiwa yang
berlalu, tentu kita tidak bakal mampu memafhumi ketiga relasi di atas.
Hemat
saya, masyarakat kita tidak pernah menerima mata pelajaran sejarah yang logis
dan bisa dipertanggungjawabkan sebelum menaiki jenjang perguruan tinggi.
Perguruan tinggilah—lewat interaksi intensif dengan mereka yang benar-benar
paham sejarah—membuat kita mengerti apa dan pentingnya sejarah.
Kita
membutuhkan sejarah, bukan untuk mengatakan kepada kita apa yang terjadi pada
masa silam atau menjelaskan masa lalu, tapi membuat masa silam itu hidup
sehingga ia bisa menjelaskan kepada kita dan membuat masa depan menjadi
mungkin.
Kita
perlu melihat kajian sejarah sebagai sejarah
tentang apa yang telah diperbuat manusia tentang dirinya dalam konteks
lingkungan fisik dan sosial, sebuah riwayat tentang petualangan moral
manusia, tentang keputusan baik dan buruk, dan tentang pertimbangan yang
semuanya terlihat jelas dalam konsekuensi-konsekuensinya.
Pelbagai
peristiwa bersejarah hanya bisa dipahami dengan memperbaiki masa lalu setepat
mungkin dan dengan memandang peristiswa tersebut sebagai hasil dari keputusan
eksistensial manusia pada masa tertentu. Upaya untuk menjadikan masa lalu
hidup kembali dalam konteks kekinian mensyaratkan keterlibatan aktif
orang-orang yang membuat sejarah dan menganggap mereka sebagai subjek moral
yang terlibat dalam perjuangan dalam mengisi takdir mereka.
Semangat
Zaman
Apakah
sejarah pernah diajarkan dengan cara-cara seperti ini di sekolah-sekolah
kita? Jawaban dari pertanyaan ini sering kali “tidak”. Kesalahan terbesar yang
terukir di sebagian besar sekolah kita adalah sejarah sering kali dikelirukan
dengan “kronik” (chronicle), yakni
daftar peristiwa yang terjadi menurut deret hitung peristiwa itu terjadi.
Sesuatu
yang luput dari perhatian kita adalah bahwa kajian sejarah sejatinya terkait
erat dengan kejadian-kejadian manusia masa lalu yang harus ditelaah sebagai
implikasi pembebasan manusia. Dalam hal ini perlu ditekankan bahwa
unsur-unsur kronik bukanlah peristiwa-peristiwa manusia, melainkan perilaku
terluar. Kronik, karenanya menurut sejarawan, hanyalah kerangka sejarah, atau
sejarah tanpa prinsip yang menghidupkan.
Menyentuh
kerangka saja tidak akan mendidik generasi muda untuk mampu menangkap
semangat zaman (zeitgeist). Dengan
arti kata, pengajaran kronik semata tidak akan memandu generasi muda
mendapatkan wawasan yang terkait dengan proses mental peristiwa masa lalu
yang masih berlangsung dalam jiwa dan pikiran bangsa.
Pada
level ekstrem, kecenderungan yang berlebihan pada kronik hanya berakibat pada
munculnya sebuah kealpaan psikologis dan etis yang kian parah di negeri ini,
khususnya di kalangan kawula muda, yang kian buta sejarah. Bila kita tidak
menyadari akar tunggang dari pelbagai krisis yang melanda negeri ini,
bagaimana mungkin kita bisa melakukan pembebasan untuk menyongsong masa
depan?
Tanpa
reformasi pengajaran sejarah yang serius, jangan harap lahirnya tunas-tunas
muda bangsa yang paham karakter bangsa dan sadar posisinya selaku pemilik
masa depan. Jangan pula berharap akan munculnya pemuda dan pemudi yang kritis
untuk mengoreksi kesalahan masa lalu dan arif untuk mengambil yang terbaik di
masa silam guna direkonstruksi sesuai kebutuhan dewasa ini.
Mengingat
proses dan upaya penemuan sejarah adalah sebuah proyek dan proses kolektif
lintas generasi, program perbaikan sistem dan metode pengajaran sejarah perlu
dilihat sebagai persoalan mendesak dalam reformasi sistem pendidikan kita.
Penangguhan yang tidak tentu dalam upaya perbaikan ini hanya membuat larut
anak bangsa yang cuma bisa berlari di tempat.
Kejujuran
memahami masa lalu menjadi tantangan terberat dalam mendidik generasi mendatang.
Mempertahankan inakurasi sejarah, terutama di kalangan generasi muda, hanya
akan melanggengkan kebuntuan memafhumi identitas.
Sebaliknya,
persepsi yang jujur dalam menatap sejarah meniscayakan lahirnya anak-anak
bangsa dengan kepribadian yang tegak dan matang. Karenanya, tidak berlebihan
mengatakan bahwa kemelekan warga bangsa Indonesia terhadap sejarahnya sendiri
berkorelasi linear dengan kedewasaan bangsa ini menyeimbangkan idealisme yang
tak realistis dan realisme yang kelewat pragmatis di hari esok.
Kini
menjadi momen yang tepat untuk mendesain dan melaksanakan reformasi
pengajaran sejarah kita. Indonesia punya ratusan profesor, doktor, dan guru
sejarah yang berpengalaman dalam sistem kita untuk membimbing sekolah-sekolah
kita menuju metode pengajaran sejarah yang autentik, jujur dan mencerahkan.
Diharapkan reformasi pengajaran sejarah ini pada akhirnya akan membangkitkan cita-cita ideal bangsa ini untuk
masa depan.
Memahami
cita-cita ideal ini amat krusial, seperti yang dinyatakan oleh Abba Eban (1986)
bahwa suatu bangsa menulis sejarahnya dalam citra idealnya. Kita akan
berhenti menjadi bangsa yang ragu-ragu mengenai masa depan kita begitu kita
mengerti bahwa cita dan ideal kita adalah untuk masa depan negeri ini,
terutama kaum muda sebagai pelaku sejarah umat manusia abad-abad mendatang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar