Kecelakaan
Jagorawi, Hatta, dan Kontestasi 2014
Bawono Kumoro ; Peneliti Politik The Habibie Center
|
SINAR
HARAPAN, 16 Januari 2013
Hajatan pesta demokrasi pemilihan presiden tahun 2014 memang
masih sekitar satu setengah tahun lagi. Meskipun demikian, para tokoh telah
mulai aktif tampil di muka publik untuk menggalang dukungan dan
memperkenalkan diri sebagai calon presiden (capres).
Sejauh ini paling tidak ada tiga tokoh yang secara tersirat
telah menunjukkan niat politik untuk ambil bagian dalam kontestasi pemilihan
presiden tahun 2014. Ketiga tokoh itu adalah Aburizal Bakrie, Prabowo
Subianto, dan Hatta Rajasa. Dalam forum rapat pimpinan nasional partai mereka
masing-masing, ketiga tokoh itu secara tersirat telah menunjukkan niat
politik untuk maju sebagai capres dalam pilpres tahun 2014.
Namun, patut diingat bahwa di era pelilihan secara langsung
seperti saat ini modal dukungan partai politik saja tidak cukup. Tingkat
popularitas seorang kandidat turut memainkan peran penting dalam menentukan
hasil akhir kontestasi pemilihan presiden secara langsung. Jika seorang
kandidat memiliki tingkat popularitas yang tinggi di mata publik, hampir
dapat dipastikan ia memiliki tingkat elektabilitas yang tinggi pula.
Fenomena kemunculan Partai Demokrat dan Susilo Bambang Yudhoyono
(SBY) menjadi bukti konkret hal itu. Pada pemilu 2004, Partai Demokrat selaku
pendukung utama SBY hanya memperoleh suara 7,45 persen sehingga secara
matematis peluang SBY untuk menduduki kursi kepresidenan pun kecil.
Namun, realitas politik berbicara lain. Pada pilpres putaran
kedua SBY berhasil meraup suara 60,62 persen. Hal serupa kembali terjadi pada
pemilu 2009. SBY berhasil tampil sebagai pemenang pilpres hanya dalam satu putaran
dengan perolehan suara 60,80 persen, jauh melampaui perolehan suara Partai
Demokrat sebesar 20,85 persen.
Selain soal popularitas, seorang capres mutlak juga harus
disukai oleh para calon pemilih. Mungkin saja sebagian besar publik mengenal
nama Aburizal Bakrie, Prabowo, dan Hatta. Tetapi yang menjadi pertanyaan
kemudian adalah apakah pengenalan publik terhadap ketiga tokoh itu berada
dalam konteks citra positif atau citra negatif?
Di tingkat ini Aburizal Bakrie akan menghadapi hambatan serius.
Ada dua kasus pemicu kemunculan resistensi publik terhadap ambisi Aburizal
Bakrie untuk maju dalam pemilihan presiden tahun 2014. Pertama, bencana
luapan Lumpur Lapindo.
Bencana luapan lumpur yang menimpa Kabupaten Sidoarjo, Jawa
Timur itu terjadi akibat kesalahan pengeboran yang dilakukan PT Lapindo
Brantas. Saham PT Lapindo Brantas dimiliki secara penuh oleh PT Energi Mega
Persada. PT Energi Mega Persada merupakan anak perusahaan kelompok usaha
Bakrie.
Kedua, kasus skandal tunggakan pajak. Selain bencana luapan
lumpur Lapindo, Aburizal Bakrie juga berpotensi tersandung skandal tunggakan
pajak yang dilakukan kelompok usaha Bakrie, yaitu PT Kaltim Prima Coal, PT
Bumi Resources, dan PT Arutmin.
Hal tidak jauh berbeda turut dialami Prabowo. Ketua Dewan
Pembina Partai Gerindra ini memiliki cacat masa lalu berupa rekam jejak buruk
semasa masih aktif di dunia militer. Prabowo dianggap sebagai pihak paling
bertanggung jawab atas penculikan aktivis-aktivis pro demokrasi menjelang
kejatuhan rezim Orde Baru.
Apabila dibandingkan dengan ketiga tokoh itu, praktis nama Hatta
memiliki citra relatif bersih dan bebas dari beban sejarah masa lalu.
Realitas itu secara tidak langsung telah mendorong lawan-lawan politik Hatta
untuk mulai memunculkan citra negatif terhadap diri ketua umum Partai Amanat
Nasional (PAN) tersebut.
Citra Negatif
Polemik beberapa hari belakangan ini terkait kasus kecelakaan
lalu lintas tol Jagorawi yang melibatkan anak bungsu Hatta, Rasyid Amrullah
Rajasa, dapat dilihat sebagai sebuah upaya untuk memunculkan citra negatif
tersebut.
Mungkin benar apa yang dikatakan sejumlah kalangan bahwa tahun
2013 merupakan tahun pemanasan bagi jagad politik Indonesia. Berbagai
pertempuran politik akan semakin intens terjadi menjelang pemilu legislatif
dan pemilihan presiden tahun 2014. Demi kepentingan politik masing-masing
tidak akan ada rasa sungkan untuk membuka aib dan kelemahan lawan-lawan
politik, meskipun berupa musibah kecelakaan tidak disengaja.
Sebagaimana diketahui, pada Selasa (1/1) lalu, mobil BMW X5
dengan nomor polisi B 272 HR yang dikemudikan Rasyid Amrullah Rajasa terlibat
kecelakaan dengan mobil Luxio di KM 3.350 Tol Jagorawi arah Bogor. Mobil BMW
X5 itu menabrak bagian belakang mobil Luxio sehingga pintu terbuka
mengakibatkan lima penumpang terlempar keluar seketika, dan dua orang di
antaranya meninggal dunia.
Segera setalah peristiwa itu terjadi, berbagai respons muncul di
muka publik, tidak terkecuali dari kalangan elite politik. Sebagai contoh,
politikus Partai Demokrasi Indonesia (PDIP) Perjuangan Eva Kusuma Sundari
mengatakan kasus ini bisa bergulir menjadi bola panas yang berakibat negatif
bagi rencana pencalonan Hatta dalam pemilihan presiden tahun 2014.
Bahkan, tidak sedikit pihak berprasangka Hatta akan menggunakan
pengaruh dan posisi pejabat publik yang dimilikinya untuk mengintervensi
proses hukum sang anak.
Sadar dengan kemunculan berbagai prasangka dan tudingan itu
Hatta kemudian mengambil langkah-langkah untuk menetralisasi keadaan. Tanpa
menunggu hari berganti, Hatta memutuskan untuk mengunjungi para keluarga
korban untuk meminta maaf atas kecelakaan lalu lintas yang melibatkan sang
anak dan mengakibatkan korban jiwa.
Di samping itu, Hatta pun legowo menerima keputusan pihak
kepolisian yang menetapkan Rasyid sebagai tersangka kecelakaan Jagorawi. Di
masa lalu, penetapan seorang anak pejabat atau pejabat sebagai tersangka
hampir dipastikan tidak akan pernah terjadi. Mereka seakan mendapatkan
keistimewaan tersendiri karena tidak pernah tersentuh hukum. Hal seperti itu
tidak berlaku di era demokrasi penuh keterbukaan saat ini.
Bahkan, dalam kasus kecelakaan Jagorawi, Hatta mengantarkan
langsung sang anak ke pihak kepolisian untuk menjalani proses hukum setelah
pulih dari perawatan luka dan trauma pascakecelakaan di Rumah Sakit Pusat
Pertamina, Jakarta.
Kesediaan untuk bertanggung jawab dan menaati proses hukum itu
diyakini tidak akan menjadi batu sandungan bagi rencana pencalonan Hatta
dalam pemilihan presiden tahun 2014. Alih-alih menjadi batu sandungan, sikap
itu boleh jadi akan dilihat publik sebagai acuan (benchmark) bersikap dari Hatta terkait komitemen dalam penegakan
hukum di Indonesia manakala ia menjadi pemimpin kelak.
Akhirnya, konsistensi Hatta terhadap janji kesediaan untuk
bertanggung jawab dan menaati proses hukum kini tengah diuji dalam beberapa
minggu ke depan.
Jika kelak publik menilai Hatta lulus dalam ujian ini, itu dapat
menjadi nilai plus tersendiri bagi pencalonan Hatta sebagai presiden dalam
pemilihan presiden tahun 2014. Sebaliknya, jika publik menilai Hatta gagal
dalam ujian ini, bukan mustahil pencalonan Hatta sebagai capres mengalami
ganjalan serius. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar