Antisipasi
Iklim Global
Muhammad Fikruzzaman Rahawarin
; Peneliti LPEM
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
|
REPUBLIKA,
15 Januari 2013
Dunia beberapa kali dibuat
terkejut oleh fluktuasi cuaca yang ekstrem. Bahkan, belum lama ini cuaca
ekstrem berturut-turut menghantam berbagai belahan dunia di awal tahun. Australia
yang disambangi gelombang panas menjadi korban pertama dengan memakan
kerugian puluhan ribu ekor ternak. Tak lama berselang, Yordania bersama
semenanjung Timur Tengah dan Cina juga menghadapi gelombang dingin ekstrem.
Terutama di Cina, suhu yang dicapai kemarin merupakan yang terburuk dalam 28
tahun terakhir dengan perkiraan kerugian ekonomi mencapai 110 juta dolar AS.
Menurut Nicholas Stern, pakar perubahan
iklim dan lingkungan dari Grantham
Research Institute di Inggris, kerugian ekonomi yang dihasilkan hanya
oleh cuaca ekstrem berpotensi mencapai satu persen dari GDP dunia pada tahun
2050 mendatang. Sementara itu, estimasi kerugian akibat perubahan iklim (yang
salah satu komponennya adalah cuaca ekstrem) diperkirakan mencapai 20 persen
dari GDP dunia.
Realita
Dewasa Ini
Berbicara mengenai perubahan iklim
tentunya tidak akan terlepas dari isu pemanasan global. Di mana salah satu elemen
dari pemanasan global adalah emisi karbon yang meningkat ke atmosfer. Jika
ditelisik dari aspek historis, peningkatan emisi karbon pertama kali
mengalami peningkatan yang massif sejak era Revolusi Industri di Inggris pada
pertengahan abad ke-18.
Saat itu, konsentrasi emisi karbon
yang berada di atmosfer masih berada di kisaran 280 parts per million (ppm). Namun,
seiring dengan meningkatnya aktivitas ekonomi dunia, kini konsentrasinya
telah meningkat sebesar sepertiga dari konsentrasi emisi karbon pada periode
sebelum Revolusi Industri.
Berdasarkan laporan Badan Atmosfer
dan Kelautan Nasional AS (NOAA)
per Desember 2012 lalu, konsentrasi emisi karbon telah mencapai angka 395 ppm dan diperkirakan akan terus meningkat. Tentunya hal ini nantinya akan mengakibatkan peningkatan suhu bumi di masa mendatang.
Sejauh ini, proyeksi yang
dilakukan World Bank menunjukkan bahwa setiap tahunnya dunia mengalami
kenaikan suhu dengan rata-rata sebesar 0,8 derajat celsius akibat peningkatan
emisi karbon. Bahkan, proyeksi tersebut menunjukkan bahwa pada akhir abad ini
suhu permukaan bumi akan naik hingga mencapai empat derajat celcius, dengan
20 persen kemungkinan untuk melebihi angka estimasi tersebut pada 2100.
Apabila kondisi ini terus
berlanjut, bukan hal yang mustahil apabila per- ubahan iklim dan cuaca
ekstrem akan menjadi lebih ekstrem lagi di masa depan.
Dibutuhkan kerja sama antarnegara dalam menanggulanginya, terlebih karena isu
perubahan iklim merupakan isu yang dihadapi bersama oleh dunia.
Sebenarnya, kerja sama dunia dalam upaya menanggulangi perubahan iklim sudah intensif dilakukan sejak lama.
Pertama kali hal ini diinisiasi
oleh PBB yang memprakarsai Konvensi Perubahan Iklim di Brasil pada 1992 silam.
Konvensi tersebut kemudian melahirkan prinsip bahwa semua negara memiliki
tanggung jawab bersama dalam mencegah perubahan iklim sesuai dengan kapasitas
masing-masing yang berdasarkan prinsip berkeadilan, atau disebut juga dengan common but differentiated responsibilities
and respected capabilities.
Kemudian pada akhir 1997, komitmen
dunia ini dilengkapi dengan perangkat dan aturan tata cara yang mengikat secara
hukum, yang disebut juga dengan Protokol Kyoto. Protokol ini dimaksudkan
untuk mengikat negara-negara industri maju (Annex 1) untuk mengurangi tingkat
emisinya sebesar 5 persen dari tingkat emisi pada 1990 yang mesti tercapai
pada periode 2008-2012.
Sayangnya, upaya ini terbilang
gagal akibat beberapa kendala. Pertama, karena negara penghasil emisi karbon
terbesar di dunia, yaitu Amerika Serikat, enggan meratifikasi perjanjian Protokol
Kyoto. Kedua, beberapa negara maju yang telah menandatangani dan meratifikasi
perjanjian Protokol Kyoto gagal mencapai target yang ditentukan sebelumnya.
Ketiga, negara-negara kaya di Eropa
dan Amerika banyak yang memindahkan lokasi sebagian pabrik dan industrinya
yang bersifat emission intensive ke
negara berkembang. Dan ke empat, peran negara berkembang yang mengalami pertumbuhan
ekonomi yang pesat seperti Cina, India, Brasil, Korea Selatan, Meksiko,
Afrika Selatan, termasuk Indonesia yang sebagian besar disebabkan oleh
penggunaan energi berbahan bakar fosil sebagai penopang proses ekonomi.
Terlepas dari kegagalan Protokol
Kyoto, upaya internasional untuk mengurangi kadar emisi karbon masih terus
ber lanjut. Sebelumnya, menyambut berakhirnya tempo pelaksanaan Protokol
Kyoto pada 2012, inisiatif untuk mengurangi emisi karbon kembali dicetuskan
beberapa negara pada Conference of
Parties (COP) ke-15 yang dilaksanakan di Denmark pada 2009. Kesepakatan
pada pertemuan tersebut--yang juga di kenal dengan sebutan Copenhagen Accord--di antaranya adalah
penetapan batas peningkatan suhu global pada 2050 hanya sebesar dua derajat
celcius dan penekanan kewajiban negara Annex 1 untuk menentukan target
penurunan emisi sebelum 2020.
Negara maju memang memiliki peran
besar dalam peningkatan emisi karbon--secara agregat--sejak era Revolusi Industri
lampau. Namun, bukan berarti negara berkembang lantas tidak memberikan
kontribusi apapun dalam komitmen mengurangi emisi karbon. Indonesia merupakan
satu-satunya negara berkembang yang berani mengambil inisiatif dan
berkomitmen untuk berkontribusi mengurangi tingkat emisi karbonnya.
Komitmen tersebut
termanifestasikan dalam pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang
mencanangkan bahwa Indonesia akan mengurangi tingkat emisi karbon pada 2020
mendatang hingga mencapai 26 persen dari estimasi emisi karbon pada skenario
tanpa adanya rencana aksi dengan usaha sendiri. Bahkan, komitmen tersebut
memiliki opsi tambahan pengurangan tingkat emisi karbon sebesar 15 persen
dengan bantuan negara lain.
Komitmen ini kemudian ditranslasikan
dalam bentuk hukum yang diterbitkan dalam Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun
2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK).
Bisa jadi, political will yang
selaras dengan pilar keempat pembangunan sosial ekonomi--yakni pro-environment--ini nantinya dapat
menjadi pemicu dan pemacu upaya pengurangan emisi karbon. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar