Adat Bersendi
Syarak, Nikah Bersendi Cinta
Asvi Warman Adam ; Sejarawan
Minang
|
KORAN
TEMPO, 16 Januari 2013
Saya mengenal baik tiga
figur yang menikah beda agama. Pertama, senior saya, pengamat masalah
internasional, C.P.F. Luhulima, Ambon Kristen yang mengawini rekannya sesama
pegawai/peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Achie, perempuan Jawa
beragama Islam. Mereka sama-sama mempertahankan agama masing-masing. Ibu
Achie adalah seorang penganut agama yang taat. Beliau juga menunaikan rukun
Islam yang kelima ke tanah suci. Tentu Ibu Achie-lah yang naik haji, bukan
Pak Luhulima. Ketika istrinya terserang kanker payudara, dan syukur bisa
disembuhkan, terlihat betapa sayangnya Pak Luhulima terhadap Ibu Achie.
Mereka berdua sudah berusia lebih dari 80 tahun dan hidup rukun.
Kasus kedua terjadi pada rekan saya, Zatni Arbi, Minang
dan Islam, peneliti LIPI yang juga dikenal sebagai penulis masalah IT pada
harian The Jakarta Post. Ia menikah dengan gadis Tionghoa-Solo yang beragama
Katolik, Hanny. Cinta mereka bersemi di ruang kelas karena, setamat kuliah
dari Fakultas Sastra Universitas Indonesia, Zatni mengajar dalam kursus
bahasa Inggris, dan ternyata ada seorang siswi yang menarik perhatiannya.
Hubungan mereka sempat ditentang orang tua masing-masing. Ibu Zatni ingin
putra bungsunya menikah dengan gadis yang seagama. Cinta mengalahkan
segalanya, mereka dinikahkan penghulu secara Islam dan selanjutnya pasangan
ini melanjutkan studi ke Hawaii, Amerika Serikat. Mereka dikaruniai seorang putri
yang mengikuti agama ibunya, yakni Katolik. Apa yang sudah dipersatukan Tuhan
tidak bisa dipisahkan oleh manusia. Kecuali kalau Tuhan yang berkehendak
lain: Zatni meninggal beberapa bulan lalu karena kanker hati. Pada sebuah
majalah alumni sekolah, Hanny menceritakan kisah asmara mereka. Ternyata
mereka menikah tiga kali dengan pasangan yang sama. Pertama, di depan
penghulu secara Islam. Kedua, secara negara di kantor catatan sipil.
Terakhir, sepulang dari Hawaii, secara Katolik, mereka memperoleh Surat Nikah
Gerejani.
Contoh ketiga saya saksikan sendiri ketika tinggal di
asrama UI Daksinapati, Rawamangun, Jakarta, pada 1980. Di depan kamar saya
terdapat kamar Yusril Ihza Mahendra dan adiknya, Yusron Ihza. Yusron sering
bertanya kepada saya ihwal berbagai istilah Minang, karena pacarnya adalah
seorang Tionghoa asal Padang yang beragama Katolik. Perkawinan berbeda agama
ini tentu mendapat rintangan dari kedua keluarga. Yang jelas, mereka tetap
menikah dan selanjutnya belajar di Jepang sampai Yusron memperoleh gelar
doktor. Mereka memiliki dua anak dan kembali ke Indonesia. Yusron Ihza pernah
menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari Partai Bulan Bintang dan
belakangan menjadi calon Gubernur Bangka-Belitung. Saya tidak mengetahui lagi
perkembangan bahtera rumah tangga mereka karena sudah lama sekali tidak
bertemu.
Dari ketiga kasus tersebut, saya menyimpulkan bahwa
pernikahan berbeda agama itu betul-betul terjadi di sekitar kita. Ada yang
prosesnya relatif mudah, tapi lebih banyak lagi yang mendapat penentangan
dari pihak keluarga. Tapi yang jelas, mereka menikah berdasarkan cinta.
Cinta tapi Beda
Film Cinta tapi Beda, yang disutradarai Hanung
Bramantyo, berkisah tentang seorang gadis penari asal Padang beragama Katolik
jatuh cinta kepada seorang chef restoran asal Yogyakarta dan berasal dari
lingkungan keluarga Islam saleh. Hubungan asmara mereka ditentang oleh
keluarga masing-masing, yang sudah siap menjodohkan dengan pilihan orang tua.
Apakah film ini menghina adat dan agama Islam? Beberapa
organisasi kemasyarakatan Minang memprotes film ini, yang dianggap
bertentangan terhadap prinsip "Adat
Bersendi Syarak, Syarak Bersendi Kitabullah". Namun duduk
persoalannya adalah Diana, tokoh utama dalam film ini yang bukan gadis
Minang, walau berasal dari Padang. Mungkin saja dia berasal dari keluarga
(campuran) Tionghoa, etnis minoritas yang bermukim di Sumatera Barat. Logat
ibunya dan gambaran lingkungannya cocok dengan itu. Bahwa si gadis suka
memakai kalung salib dan memesan babi rica-rica di restoran, tidak ada yang
salah dengan hal itu, karena ia tidak beragama Islam. Bahwasanya hal tersebut
didramatisasi agar terjadi ketegangan cerita, tentu merupakan cara sutradara
membuat alur film ini tidak datar saja.
Sang sutradara menegaskan pula bahwa filmnya berkisah
tentang "cinta beda agama", bukan "nikah beda agama",
karena ending-nya memang tidak memperlihatkan mereka melangsungkan
perkawinan. Bahkan, pada adegan terakhir, diperlihatkan bahwa KUA menolak
menikahkan pasangan yang berbeda agama. Ucapan Gus Dur tentang perbedaan
agama menutup film ini. Walaupun kemudian, setelah film tersebut beredar
beberapa lama, atas usul Front Pembela Islam, ditambahkan pula kalimat yang
menyatakan, menurut syariah, boleh saja seorang pria muslim menikahi
perempuan beragama lain tapi tidak berlaku sebaliknya.
Film ini, menurut hemat
saya, berhasil menyampaikan pesan bahwa cinta bisa mengatasi perbedaan agama.
Namun pernikahan antar-penganut agama yang berbeda masih/akan mendapat rintangan
dari keluarga dan negara. ●
|
bismillahirrohmanirohiim,
BalasHapusSaya ingin berkomentar di sini karena ada cermin dihadapan sy ketika Pernikahan Beda Agama dilaksanakn juga, maka masalahnya bukan pada langgeng arau tidaknya pasangan itu berkeluarga tetapi :
1. Ajaran Islam jelas-jelas melarang nikah dg non muslim, baik itu perempuan atau laki-laki kecuali mereka masuk Islam dan pernikahan dalam Islam kemudian menjalankan Islam.
2. Pendapat tentang laki-laki Islam boleh menikahi non muslim , itu ada CATATAN : AHLI KITAB. Pertanyaanya apakah jaman sekarang masih ada AHLI KITB??? (jawabnya sudah tidak ada, yg ada sekarang Kristiani, yang ajarannya pun bukan ajaran ahli kitab, tetapi orang-orang yang menyembah trinitas, men Tuhankan Yesus! dan ajaran yang sudah menyimpang dari ajaran ahli kitab,
3. Kalau seorang Muslim mau taat dan beriman, tentunya "CINTA" nya hanya karena untuk Allah dan taat patuh pada aturan Allah, YANG MAHA MEMILIKI CINTA.
4. Cermin di hadapan saya, yang bermasalah kelak adalah anak-anaknya jadi tak punya figur yang totallitas dalam Islam, sedangkan pernikahan beda agama dalam Islam HUKUMNY HARAM!!!!, DIANGGAP BERJINAH!!, mengerikan kalau sampai kehilangan cinta Allah, dan kebanyakan pernikahan beda agama, Allahmemberinya HARTA YANG BANYAK , renungkanlah!!
yang diprotes bukan cinta beda agama pakk.. ba'a kok kasinan kamari lari masalah nyo.
BalasHapusYang dibahas itu, kenapa settingnya harus dipadang...
mungkin apak bisa baco iko;
http://www.lenteratimur.com/ketika-minangkabau-merasa-terhina/