Kamis, 01 November 2012

Demografi dan Upah


Demografi dan Upah
Razali Ritonga ;  Direktur Statistik Kependudukan dan Ketenagakerjaan BPS RI
REPUBLIKA, 31 Oktober 2012



Perjuangan untuk menuntut kenaikan upah minimum tampaknya terus dilakukan buruh dalam berbagai kesempatan. Pasalnya, upah minimum yang ditetapkan, dinilai masih jauh dari layak. Hal ini, antara lain, terdeteksi dari pencermatan berbagai ukuran kesejahteraan terhadap besarnya upah. Bahkan, besarnya upah minimum di masa mendatang diperkirakan kian tak pasti (uncertain). Hal ini berkaitan dengan tingginya laju pertambahan penduduk usia produktif yang diperkirakan tak sejalan dengan peningkatan kualitasnya.
Posisi upah buruh Pada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, penetapan upah minimum, antara lain, diatur dalam Pasal 88 dan Pasal 89. Pasal 88 menjelaskan bahwa pemerintah menetapkan upah minimum berdasarkan kebutuhan hidup layak, dengan memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi. Adapun pengertian kebutuhan hidup layak (KHL) adalah standar kebutuhan yang harus dipenuhi oleh seorang buruh lajang dengan masa kerja kurang dari satu tahun, untuk dapat hidup layak, baik secara fisik, nonfisik, dan sosial, untuk kebutuhan satu bulan.
Selanjutnya, dalam pasal 89 dijelaskan bahwa upah minimum diarahkan untuk pencapaian kebutuhan hidup layak, ditetapkan oleh gubernur dengan memperhatikan rekomendasi dari dewan pengupahan provinsi dan/atau bupati/
wali kota. Namun, celakanya, meski pertumbuhan ekonomi dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan kondisi yang cukup stabil tinggi, dengan rata-rata di atas enam persen, hal itu belum memberikan dampak besar bagi upah minimum. Bahkan, penetapan upah minimum belum memenuhi ketentuan undang-undang untuk hidup layak.
Pada 2011, misalnya, besarnya upah minimum secara nasional baru mencapai 88 persen dari KHL. Meski besarnya upah minimum secara agregat berada di atas garis kemiskinan namun secara per kapita berada di bawah garis kemiskinan. Tercatat, upah minimum secara nasional pada 2011 adalah sebesar Rp 988.829 per bulan, sedangkan garis kemiskinan sebesar Rp 233.740 per bulan.
Selanjutnya, besarnya upah minimum per kapita sebesar Rp 214.019 per bulan.
Secara umum, besarnya upah minimum berada jauh di bawah pengeluaran per kapita dari seluruh masyarakat. Tercatat, pengeluaran masyarakat per kapita adalah sebesar Rp 593. 664 per bulan. Fakta ini sekaligus mengisyaratkan bah wa kesejahteraan buruh umumnya jauh lebih rendah dari kesejahteraan masyarakat.
Rendahnya kesejahteraan buruh pada gilirannya akan menyebabkan beban bagi pemerintah, terutama untuk meningkatkan derajat kesehatan buruh serta pendidikan dan kesehatan anggota keluarganya, agar terhindar dari jeratan kemiskinan.
Bonus Demografi
Bahkan, besarnya upah minimum di masa mendatang kian menunjukkan ketidakpastian. Perkiraan ini didasarkan atas kenyataan bahwa jumlah angkatan kerja akan terus meningkat sehingga kian menurunkan posisi tawar mereka dalam pasar tenaga kerja.
Turunnya angka kelahiran dari masa lalu dan meningkatnya derajat kesehatan penduduk menyebabkan menciutnya proporsi penduduk muda usia kurang dari 15 tahun dan membengkaknya pro porsi penduduk produktif usia 15-64 tahun.
Sementara, proporsi penduduk tua yang berusia 65 tahun ke atas belum begitu meningkat drastis.
Perubahan komposisi penduduk itu sebenarnya merupakan bonus karena kian banyaknya penduduk yang dapat dilibatkan dalam kegiatan ekonomi. Semakin banyak penduduk yang terlibat dalam kegiatan ekonomi, semakin besar produktivitas yang dihasilkan dan semakin berpotensi meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Cina, misalnya, menikmati tambahan kontribusi sekitar 30 persen pertumbuhan ekonomi dari bonus demografinya. Ini berarti dari rata-rata sekitar sembilan persen pertumbuhan ekonomi Cina, sekitar tiga persennya berasal dari kon tribusi bonus demografi (Zhang Monan, 2012).
Adapun salah satu aspek yang mendasari kesuksesan Cina dalam memanfaatkan bonus demografinya adalah faktor upah murah. Dengan upah murah, biaya produksi dapat ditekan sehingga dapat menghasilkan produk murah. Kondisi demikian pada gilirannya dapat meningkatkan daya saing Cina dalam perdagangan global.
Namun, meski Indonesia akan mengalami bonus demografi seperti halnya Cina, tidak mudah bagi kita untuk meniru kesuksesan negeri Tirai Bambu itu. Pasalnya, sesuai dengan peraturan perundang-undangan, Indonesia tidak mengadopsi upah murah. Celakanya, meski tidak mengadopsi upah murah, belum ada upaya serius dari pemerintah dalam mengahadapi era bonus demografi itu. Padahal, era bonus demografi di Tanah Air kini tengah bergulir dan akan berakhir pada 1950.
Adapun puncak bonus demografi di Indonesia diperkirakan terjadi pada 2025, sementara puncak bonus demografi Cina diperkirakan terjadi pada 2015.
Sebenarnya, kita boleh saja menghindari upah murah, tapi sepatutnya hal itu diiringi dengan upaya untuk meningkatkan kualitas tenaga kerja. Sebab, dengan kualitas penduduk meningkat, skala ekonomi dapat diperluas dan upah tenaga kerja dapat ditingkatkan. Hal ini sejalan dengan tuntutan era globalisasi yang mengedepankan daya saing yang bisa ditempuh melalui peningkatan kapabilitas tenaga kerja.
Disadari memang tidak mudah bagi pemerintah untuk meningkatkan kualitas tenaga kerja di Tanah Air, minimal dalam dua dekade mendatang. Hal ini didasarkan atas fakta rendahnya kualitas tenaga kerja pada saat ini. Hasil Sakernas (survei angkatan kerja nasional) Mei 2012, misalnya, menunjukkan bahwa sekitar 55,85 persen penduduk yang bekerja adalah berpendidikan sekolah dasar atau kurang. Atas dasar itu, diperlukan perjuangan keras dari kita semua untuk meningkatkan kualitas penduduk melalui pen di dikan agar posisi tawar tenaga kerja dalam penentuan upah minimum meningkat. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar