Selasa, 21 Februari 2012

Sekali Lagi, Perempuan dan Korupsi


Sekali Lagi, Perempuan dan Korupsi
Triyono Lukmantoro, DOSEN SOSIOLOGI KOMUNIKASI FISIP UNDIP SEMARANG
Sumber : SINAR HARAPAN, 21 Februari 2012


Sejumlah perempuan terlibat dalam beberapa kasus korupsi. Media massa pun memberitakan berbagai kejadian itu secara besar-besaran. Sebuah nama yang sempat menghiasi pemberitaan media adalah Artalyta Suryani, yang terlibat dalam kasus suap terhadap Jaksa Urip Tri Gunawan.

Artalyta juga semakin populer ketika sel penjara yang dihuninya dikabarkan disulap bagaikan kamar hotel berbintang lima. Karena Artalyta, yang berstatus sebagai pengusaha, dikenal amat dekat dengan aparat hukum dan birokrat negara, maka label negatif semacam “Tante Lobi” dan “Tante Suap” pun ditorehkan media kepadanya.

Nama-nama perempuan lain yang sekarang menghiasi ruang dan waktu media karena tersangkut aneka skandal korupsi adalah Wa Ode Nurhayati, Nunun Nurbaeti, Miranda Swaray Goeltom, Mindo Rosalina Manulang, dan figur yang paling menjadi pusat perhatian adalah Angelina Sondakh. 

Sosok terakhir ini makin populer karena telah ditetapkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai tersangka dalam kasus korupsi Wisma Atlet SEA Games.
Tidak hanya itu, Angie—sapaan Angelina—juga dianggap memberi keterangan palsu ketika bersaksi untuk terdakwa Muhammad Nazaruddin. Media pun menyajikan pemberitaan evaluatif dengan mendeskripsikan Angie berhidung panjang layaknya tokoh Pinokio yang senang berbohong. 

Tudingan negatif secara berhamburan pun kemudian diarahkan kepada kaum perempuan. Ungkapan seperti “feminisasi korupsi” atau “fenomena bad women” sulit dielakkan bergulir. Perempuan ternyata mampu juga berbuat korup. Perempuan bisa saja menjadi sosok penjahat yang tidak kalah bejatnya dengan kaum pria dalam aksi-aksi menggangsir uang negara.

Perempuan yang selama ini diidentikkan dengan figur yang penuh kelembutan dan pasti tidak senang bertindak korup pada kenyataannya doyan juga mengambil harta yang bukan menjadi haknya.

Gaya hidup beberapa nama perempuan yang terlibat dalam sejumlah tindakan korupsi pun diekspos secara kolosal. Mereka digambarkan suka mengoleksi tas berharga miliaran rupiah, berdandan menor dan glamor, menyimpan benda-benda bercita rasa artistik, dan seterusnya.

Pada intinya adalah media terperangkap dalam histeria penilaian bahwa kaum perempuan sungguh-sungguh berbahaya ketika mendapatkan kekuasaan. Pada situasi ini Megawati Soekarnoputri, seorang politikus perempuan yang menjabat Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), berupaya menampik sudut pandang yang memojokkan perempuan itu.

Mega menegaskan bahwa perilaku korup lebih cenderung dijalankan pria daripada perempuan. Dengan nada bercanda, Mega menyatakan supaya kader-kader PDIP yang berjenis kelamin lelaki ingat anak-istri. Secara naluriah, ujar Mega, kaum lelaki mencari nafkah, sedangkan kaum perempuan yang menyimpannya (Tempo.co edisi Jumat, 10 Februari 2012, 12.33 WIB). 

Pemikiran Esensialistik

Aneka pemberitaan yang ditampilkan media, berbagai ulasan yang dihadirkan dalam ruang publik, dan pandangan Megawati tentang relasi perempuan dan korupsi sangat menunjukkan pemikiran esensialistik. Artinya adalah perempuan dianggap sebagai sosok yang serbamonolitik dan tidak pernah berubah.

Stereotip yang mapan dalam wilayah pemikiran ini adalah perempuan diidentikkan dengan kasih sayang, kelembutan, penuh perhatian, tidak mungkin terlibat dalam kejahatan, sangat mustahil tega mencuri uang rakyat, dan pastilah berbuat antikorupsi.

Terdapat sisi positif pada pemikiran esensialistik ini, yakni hal yang penuh kebaikan pasti melekat pada kaum perempuan. Namun, sisi negatifnya tetap saja muncul, yakni ketika esensialisme itu telanjur menancap dalam kesadaran sosial, maka kekecewaan terhadap perempuan pun berubah menjadi sejenis kepanikan moral yang berkepanjangan.

Sisi ketidaklaziman bahwa perempuan ternyata begitu tega bertindak koruptif diungkapkan secara luar biasa. “Wilayah gelap” perempuan yang suka beraksi curang disajikan secara berlebihan. Tapi, esensialisme perempuan yang serbaberbaik hati dan menghindarkan diri dari bertingkah bejat ternyata telah berakhir.

Sebenarnya, pemikiran esensialistik yang menganggap sikap dan perilaku perempuan memang begitu peduli pada pihak lain dan tidak sudi berkompromi dengan korupsi semacam itu bahkan bisa ditelusuri dari pemikiran kaum feminis sendiri. Para pemikir feminis gender memiliki pandangan bahwa lelaki dan perempuan berbicara dalam bahasa moral yang berlainan.

Mereka juga meyakini bahwa perempuan lebih memegang prinsip etika kepedulian daripada etika keadilan. Kejahatan hanya dapat dikurangi jika kita menerima dan melawan kecintaan kita sendiri terhadap kejahatan (Rosemarie Putnam Tong, Feminist Thought: A Comprehensive Introduction, 1989).

Pandangan esensialistik itu seakan-akan tidak terbantahkan. Hanya saja ada ketersesatan yang harus mendapatkan pembongkaran. Perempuan bukanlah figur yang bersifat tunggal. Ada berbagai macam perempuan yang memiliki latar belakang ras, agama, etnisitas, kelas sosial, dan kekuasaan yang berbeda-beda.

Perempuan yang berada dalam domain mayoritas, seperti etnisitas, agama, kelas sosial, dan kekuasaan yang menentukan tentu saja berlainan dalam berpikir, bersikap, dan bertindak apabila dibandingkan dengan perempuan yang berada dalam kedudukan minoritas. Struktur sosial yang melingkupi pasti memberi peluang yang berlainan bagi setiap perempuan. 

Persoalan Kekuasaan

Fenomena sejumlah perempuan yang terlibat dalam berbagai skandal korupsi tidak tepat lagi jika dibahas dengan menggunakan sudut pandang relasi gender. Lebih mengena jika persoalan ini diuraikan dengan mengerahkan perspektif sosiologis yang membahas tentang kekuasaan dan perilaku menyimpang. 

Korupsi, sebagai perilaku menyimpang, jelas sekali bertautan dengan persoalan kekuasaan. Perempuan yang menduduki kekuasaan, baik secara politis maupun bisnis, memiliki kesempatan yang lebih banyak berbuat korup dibandingkan lelaki atau perempuan yang tidak berposisi sebagai penentu dalam wilayah otoritas politik dan finansial yang dimilikinya.

Penjelasan yang sangat baik tentang hubungan perilaku menyimpang dengan kekuasaan dikemukakan Alex Thio (Sociology: A Brief Introduction, 2005). Tindakan menyimpang, misalnya tipe kejahatan tertentu (korupsi), sangat ditentukan kekuasaan.

Bahkan, kekuasaan menjadi sebab penting bagi tindakan menyimpang. Terdapat tiga alasan yang mampu menjelaskannya. Pertama, pihak yang lebih berkuasa mempunyai motivasi untuk bertindak menyimpang lebih kuat.

Kedua, pihak yang lebih berkuasa bisa menikmati peluang-peluang yang lebih besar untuk menjalankan penyimpangan. Ketiga, pihak yang lebih berkuasa ditundukkan oleh kontrol sosial yang lebih rendah.

Korupsi sangat jelas lebih berkaitan dengan persoalan kekuasaan daripada soal esensialistik keperempuanan. Siapa pun yang lebih berkuasa pasti terdorong untuk melakukan aksi-aksi korupsi.

Ini karena dalam kekuasaan tersebut terbuka kesempatan atau peluang untuk melancarkan keinginan biadab. Terlebih lagi ketika kontrol sosial terhadap pemangku kekuasaan itu demikian rendah maka aksi-aksi merampok uang rakyat itu gampang direalisasikan.

Dapat disimpulkan bahwa pertautan korupsi dan kekuasaan muncul dari motivasi tinggi dan peluang besar yang dimiliki si pelaku dan rendahnya kontrol sosial. Ketika kaum perempuan terbenam dalam situasi ini niscaya mereka akan mempraktikkan korupsi, demikian pula halnya dengan kaum lelaki. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar