Selasa, 21 Februari 2012

Perlawanan Antikekerasan


Perlawanan Antikekerasan
Trisno Yulianto, ANALIS PEACEBUILDING DI BADAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MAGETAN
Sumber : SINAR HARAPAN, 21 Februari 2012



Penolakan berdirinya Organisasi Front Pembela Islam (FPI) oleh Dewan Adat Dayak di Palangkaraya (Kalimantan Tengah) beberapa waktu lalu menggelindingkan bola salju kesadaran antikekerasan di berbagai tempat oleh berbagai kelompok masyarakat sipil (civil society). 

Di Jakarta muncul komunitas antikekerasan berbasis lintas agama dan etnik "Indonesia Damai Tanpa FPI". Ulama Tarekat di Jawa Barat juga menolak eksistensi FPI yang diasumsikan tidak mencerminkan wajah Islam yang rahmatin nil alamin dan humanis.

Penolakan terhadap FPI sesungguhnya bukan sebagai bentuk sentimentasi subjektif terhadap organisasi yang sering menimbulkan "heboh" di tengah masyarakat karena aksi-aksi massa yang dilakukannya, namun sebagai bagian tumbuhnya kesadaran antikekerasan di tengah masyarakat.

Masyarakat yang sudah lama "terusik" kesadaran harmoninya oleh perilaku ormas yang dipimpin Habib Rizieq merasa sudah saatnya menunjukkan ekspresi penolakan terhadap FPI. Penolakan terhadap FPI bukan dilandasi sentimen agama, namun oleh perilaku kolektif anggota FPI yang sering menggunakan cara-cara kekerasan untuk menunjukkan eksistensi dan aspirasinya.

Di tengah arus deras penolakan terhadap eksistensi FPI (baca: kultur kekerasan FPI), muncul pembelaan dari internal FPI. Bagi FPI penolakan kehadiran organisasi FPI di Kalimantan Tengah diprovokatori Jaringan Mafia pertambangan yang menggusur eksistensi sebuah Komunitas Dayak yang konon akan diadvokasi oleh FPI. Penolakan FPI bagi FPI berlatar belakang kepentingan ekonomis.

Pernyataan bijak, namun bersayap disampaikan mantan Ketua Umum PB NU, Hasyim Muzadi, menanggapi aksi penolakan terhadap FPI. Menurut Hasyim Muzadi, tuntutan pembubaran terhadap FPI akan sia-sia karena diiklim demokrasi yang liberal, dengan mudahnya FPI akan mengganti nama organisasi mereka. 

Hal yang lebih penting adalah masyarakat dan pemerintah berada dalam komitmen  sama menolak segala praktik kekerasan dan semua faktor penyebab yang mendorong hadirnya kekerasan atas nama agama dan sentimen primordial. Penyebab kekerasan dan sentimen primordial di antaranya adalah kemiskinan, diabaikannya prinsip hidup berpancasila dan dominasi sistem kapitalisme.

Catatan kritis atas pernyataan Hasyim Muzadi adalah bahwa FPI dianggap sebagai bagian pendukung NKRI dan Pancasila. Sebuah pandangan yang fatal dan keliru, karena ormas semacam FPI sesungguhnya memiliki cita-cita terbentuknya negara teokratis di masa depan.

FPI tidak tinggal diam merespons derasnya penolakan dan tuntutan pembubaran FPI. Demonstrasi mendukung FPI dilakukan di berbagai tempat secara beruntun, sebagai unjuk kekuatan dalam meneguhkan eksistensi mereka.

Barisan ormas-ormas yang berhaluan seideologi dengan FPI pun menyatakan mendukung eksistensi FPI sebagai ormas yang konon diasumsikan membela kepentingan umat.

Kesadaran Konstitusional

Penolakan terhadap FPI menurut hemat penulis dilandasi oleh bangunan kesadaran antikekerasan dan kesadaran konstitusional. Argumentasinya adalah sebagai berikut:
Pertama, elemen masyarakat yang kini berani menolak praktik kekerasan yang lazim dilakukan FPI sudah berada dalam batas kesabaran kolektif. Masyarakat selama ini membiarkan praktik-praktik "anarkistis" dan kekerasan FPI dalam berbagai kasus karena tidak menginginkan terjadinya benturan atau konflik berlatar belakang sentimen SARA.
Namun, kesabaran tersebut menuju titik toleransi, ketika negara (pemerintah) seolah melakukan pembiaran.

Bahkan, menurut Budiman Sudjatmiko dalam sebuah wawancara media elektronik, beberapa waktu lalu, ormas-ormas yang kerap terjebak dalam praktik "premanisme agama" sengaja dipelihara oleh blok kepentingan kekuasaan, untuk menyuburkan potensi konflik horizontal; sehingga mengalihkan kesadaran sejati masyarakat akan kesadaran kritis-fungsional terhadap praktik ketidakadilan dan korupsi kekuasaan.

Kedua, penolakan terhadap eksistensi FPI bersifat substansial, karena masyarakat bukan menolak FPI-nya, namun menolak praktik kekerasan yang lazim dilakukan FPI dalam berbagai kasus aksi massanya. Masyarakat perlu menuntut kepada negara (pemerintah) lebih tegas terhadap praktik kekerasan dan anarkisme yang dibalut isu agama.

Masyarakat merasa ada diskriminasi perlakuan negara. Negara melalui aparatus keamanan begitu tega melakukan intimidasi dan kekerasan terhadap masyarakat, dalam kasus konflik agraria, namun tidak tegas terhadap ormas berbasis agama yang sering mengintimidasi kelompok minoritas.

Ketiga, penolakan dan tuntutan pembubaran terhadap FPI memiliki logika konstititusional, yakni meneguhkan sikap kebangsaan yang dilandasi oleh semangat kebinekaan, keberagaman, kemanusiaan dan toleransi multikultural.

Sebagian elemen masyarakat yang menolak FPI menganggap eksistensi konstitusi saat ini terancam oleh menguatnya kekuatan ideologi transnasional yang ingin membentuk negara teokratis dan mengganti dasar negara Pancasila.

Mereka menolak FPI berarti menolak sikap dan politik antikonstitusi yang sering ditunjukkan ormas berhaluan ideologi transnasional.

Ormas berideologi transnasional yang tumbuh subur ketika rezim otoritarian Orba tumbang oleh gerakan mahasiswa dan rakyat, bisa dipahami jika saat ini resistensi antikekerasan menjadi mainstream pemikiran dan kesadaran hampir semua komponen masyarakat, terutama komponen yang memiliki kesadaran konstitusional.

Di tengah penolakan masyarakat, seharusnya FPI sebagai ormas yang hadir di republik ini melakukan introspeksi dan refleksi diri. Di dalam iklim demokrasi liberal, semua warga negara berhak mendirikan organisasi dan berhak menunjukkan ekspresi politiknya. 

Namun, ekspresi politik seharusnya mematuhi koridor hukum dan konstitusi. 
Praktik kekerasan dalam kasus unjuk rasa FPI seperti perusakan tempat hiburan, penyegelan tempat ibadah agama lain, intimidasi terhadap aliran keagamaan, sampai penyerangan terhadap aksi massa kelompok lain jelas perbuatan antikonstitusi dan antihukum.

Namun, selama ini perbuatan tersebut seperti dibiarkan oleh negara. Hanya oknum-oknum pelaku yang dijerat sanksi hukum, itu pun dalam vonis ringan.
Resistensi antikekerasan terhadap perilaku ormas berbasis agama sesungguhnya tidak akan terjadi apabila negara (pemerintah) tegas dalam menegakkan prinsip konstitusi dan aturan hukum yang berlaku.

Di dalam negara hukum yang berkonstitusi Pancasila, tidak diperkenankan ada praktik penghakiman politik---apalagi dengan kekerasan-----terhadap kelompok minoritas oleh kekuatan pro violence yang mengatasnamakan legitimasi mayoritas.

Resistensi antikekerasan memiliki muara tujuan untuk menegakkan prinsip hidup bernegara yang damai, rukun dan adil dalam perbedaan. Mereka menolak FPI bukan antiagama atau ideologinya FPI, namun memiliki semangat menegakkan amanat perdamaian dan kerukunan sosial. 

Sudah saatnya negara (pemerintah) merespons dengan langkah imperatif yang tegas dan adil. Negara tidak boleh takut dan tersandera oleh kepentingan kelompok yang sesungguhnya pemikiran dan sikapnya antikonstitusi.

Jangan sampai masyarakat teradikalisasi untuk menolak kehadiran ormas yang gemar melakukan kekerasan dengan caranya sendiri. Hal itu berarti mendorong terciptanya neraka konflik sosial yang berkepanjangan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar