Selasa, 21 Februari 2012

Pesona Korupsi

Pesona Korupsi
Tb Ronny Rachman Nitibaskara, KETUA PUSAT PENGKAJIAN KETAHANAN NASIONAL UNIVERSITAS INDONESIA; REKTOR UNIVERSITAS BUDI LUHUR
Sumber : KOMPAS, 21 Februari 2012



Belakangan, semakin banyak pelaku korupsi yang dibawa ke meja hijau. Meski demikian, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan, berat dan butuh waktu lama untuk memberantas korupsi ini.

Presiden juga menyatakan, selama tujuh tahun terakhir, pemberantasan korupsi berjalan agresif. Semua dapat berjalan atas kerja sama dan dukungan semua pihak, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi, segenap jajaran penegak hukum, pers, dan organisasi antikorupsi.

Masih banyak kasus korupsi yang belum terselesaikan karena menangani kasus korupsi memang tak semudah membalik telapak tangan. Pelaksanaan pemberantasan korupsi membutuhkan komitmen total semua pihak untuk menegakkan hukum secara konsekuen dan konsisten.

Paradoks Korupsi

Setiap korupsi, di birokrasi mana pun, sifatnya sama, yakni pemanfaatan jabatan oleh oknum pejabat untuk menguntungkan diri sendiri atau kelompoknya. Perbuatan tersebut jelas menyimpang dari sumpah jabatan ataupun hukum yang berlaku.

Dalam pandangan syariat, korupsi merupakan pengkhianatan berat (ghulul) terhadap amanat rakyat. Dilihat dari cara kerja dan dampaknya, korupsi dapat dikategorikan sebagai pencurian (sariqah) dan perampokan (nahb). Menurut pandangan ini, hukuman yang layak untuk koruptor adalah potong tangan sampai dengan hukuman mati.

Korupsi telah didefinisikan dalam 13 pasal UU Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah menjadi UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Berdasarkan pasal-pasal tersebut, ada 30 bentuk/jenis tindak pidana korupsi yang dapat dikelompokkan sebagai berikut: kerugian keuangan negara, suap-menyuap, penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang, benturan kepentingan dalam pengadaan, dan gratifikasi.

Dengan demikian, ada beberapa unsur penting untuk menentukan suatu perbuatan, termasuk tindak pidana korupsi. Mereka memperkaya atau menguntungkan diri sendiri, orang lain, atau kelompok dengan cara menyalahgunakan wewenang, memanfaatkan kesempatan, sarana, dan fasilitas. Ujungnya adalah kerugian keuangan negara.

Tindak pidana korupsi adalah perbuatan mencuri dengan cara yang berbeda dari kejahatan jalanan (blue collar crime) yang terang-terangan mencuri. Tindak pidana korupsi adalah kejahatan kerah putih (white collar crime) dengan motif dan modus yang lebih canggih.

Sanksi terhadap pelaku tindak pidana korupsi seperti yang diatur dalam peraturan dan undang-undang sebenarnya cukup untuk mencegah terjadinya tindak pidana korupsi. Namun, masih ada saja pihak yang melakukan sehingga menimbulkan pertanyaan, apa yang menggoda dari korupsi sehingga orang melampaui batas takutnya terhadap ancaman sanksi pidana?

Realitas Sosial

Tatkala ancaman pidana tidak lagi menakutkan, kita tidak hanya mesti meninjau ulang kebijakan peradilan pidana tentang korupsi, melainkan juga meneropong realitas sosial masyarakat Indonesia. Kejahatan tampaknya dianggap sebagai solusi untuk menghilangkan kecemasan dalam menghadapi masa depan.

Sebagian besar pelaku tindak pidana korupsi memiliki latar pendidikan tinggi. Kebetulan, dalam kekuasaan terdapat sudut yang menggoda (power seduction), yakni kekuasaan diskresi (discretionary power), suatu jenis kekuasaan untuk menggunakan kewenangan. Dalam konstelasi itulah koruptor menyelewengkan jabatan. Bersamaan dengan pelaksanaan kebijakan untuk kepentingan publik, dengan mudah diselipkan pula niatan untuk menarik keuntungan pribadi atau kelompok. Agar terhindar dari jeratan hukum, teknik pencurian dipercanggih.

Di sini juga terjadi transformasi modus operandi korupsi, termasuk menebar jaringan pertanggungjawaban (distribution of responsibility) sehingga tersusun semacam kleptokrasi, yakni birokrasi yang korup.

Dalam kekuasaan menjalankan jabatan memang terdapat paradoks. Pada satu sisi kekuasaan dibatasi oleh hukum, pada sisi lain sengaja dilepas dan diserahkan pada otoritas individu pejabat. Apabila kekuasaan diskresi dipersempit atau diperketat, pejabat sulit mengambil keputusan karena sempitnya pilihan bertindak, menghadapi keadaan yang senantiasa mengalami perubahan. Sebaliknya, apabila diskresi longgar, ada potensi terjadi tindakan yang melampaui batas wewenang (excess du pouvoir) yang berujung korupsi.

Batasan diskresi dan diskriminasi tipis. Jika pejabat amanah, ia tak akan tergoda oleh kekuasaan diskresi sebesar apa pun, bahkan juga oleh ketidakpastian kondisi ekonomi ke depan.

Jabatan juga meningkatkan kebutuhan yang semula tak ada, termasuk untuk menopang atribut kekuasaan dan biaya pengganti dukungan untuk mempertahankan kekuasaan. Seperti dikatakan Durkheim (1965), seiring dengan meningkatnya kesejahteraan, meningkat pula keinginan. Semakin banyak yang terpenuhi, semakin terasa kurang dan kian takut kehilangan. Dengan kata lain, nafsu (serakah) juga menjadi pendorong ketakutan pada ancaman ekonomi.

Tindak pidana korupsi tidak dapat dipandang sebelah mata. Kecemasan akan hilangnya kenikmatan lebih menjadi momok daripada sanksi pidana. Karena masalah bersumber pada materi, pendekatan materialis pragmatis menjadi pilihan utama.

Pertimbangan rasional tersebut menjadi indikator bahwa pelaku korupsi sama persepsinya dengan pelaku kejahatan properti dari golongan tak mampu, yakni menjadikan kejahatan yang dilakukan bersifat fungsional: sebagai solusi persoalan.

Dengan demikian, karena ditempatkan sebagai jalan keluar, korupsi senantiasa diusahakan, dicari, dan dibudidayakan dalam sistem yang memungkinkan kejahatan dilaksanakan.

Dalam situasi kompetisi dan akselerasi seperti sekarang, tak sedikit pikiran orang yang menyerupai teori Charles Darwin, yaitu menganggap bahwa yang kuat akan bertahan. Sayangnya, lagi-lagi kuat itu diidentikkan dengan kaya karena kekayaan merupakan wujud paling nyata untuk memberikan rasa aman pada masa depan.

Dengan demikian, dalam kaitan menjadikan korupsi sebagai solusi, inkonsistensi penyelenggaraan fungsi lembaga negara beserta aparat di dalamnya dapat membahayakan seluruh elemen dan sendi-sendi kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Maka, pemberantasan korupsi harus dilakukan secara tegas dan menyeluruh. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar