Selasa, 21 Februari 2012

Rasionalitas Korupsi


Rasionalitas Korupsi
Arif Susanto, DOSEN FISIPOL UNIVERSITAS GADJAH MADA;
DIREKTUR EKSEKUTIF LEMBAGA SURVEI INDONESIA
Sumber : KOMPAS, 21 Februari 2012


Di tengah maraknya korupsi, kita kembali diingatkan kalimat ”Kekuasaan cenderung disalahgunakan”. Pernyataan anggota Parlemen Inggris, Lord Acton (1834-1902), itu memang berlaku abadi. Tindakan korupsi hanya mungkin dilakukan mereka yang punya kekuasaan.

Namun, kita masih perlu penjelasan tentang motif dasar yang menggerakkan orang untuk korupsi. Jika problem di atas diajukan kepada Thomas Hobbes (1588-1679), jawabannya: karena manusia cenderung pada pemenuhan hasrat secara berkelanjutan. Apa jadinya jika kekuasaan negara dikelola dengan hasrat yang potensial merusak?

Hasrat Manusia

Hobbes adalah pelopor pemikiran modern tentang kepentingan diri. Ia tak memandang negatif rasa cinta diri manusia, tetapi justru memanfaatkannya untuk mewujudkan suatu tertib sosial.

Hobbes percaya manusia memberikan prioritas pada upaya perlindungan diri. Demi menghasilkan suatu tatanan politik, ia menganjurkan pertukaran kepatuhan pada kekuasaan negara dengan rasa aman.

Menurut Hobbes, manusia punya kebebasan bertindak dan emosi adalah yang menggerakkan tindakan. Dalam tindakan dan emosi terdapat rasa cinta dan benci. ”Sesuatu yang dikehendaki orang adalah apa yang mereka cintai dan sesuatu yang dibenci adalah apa yang tidak mereka sukai” (Leviathan, Bab VI, halaman 32).

Atas dasar itulah orang kemudian membuat penilaian: segala yang memenuhi hasrat kesenangan dipandang baik dan segala yang tidak dikehendaki dianggap buruk. Kita dapat mengambil contoh: terpandang itu baik, terhina itu buruk; kenikmatan itu baik, penderitaan itu buruk.

Dengan segala hasrat untuk memenuhi kepentingan dirinya, manusia sulit untuk tenang dalam kepuasan. Obyek hasrat seseorang bukanlah semata untuk menikmati sesuatu sekali dan sekejap, melainkan untuk keberlanjutan pemenuhan hasrat. ”Kecenderungan umum manusia adalah hasrat abadi dari penguasaan yang satu menuju penguasaan yang lain. Hanya berhenti saat dia meninggal” (Leviathan, Bab IX, halaman 61).

Menimbang bahwa perhatian pada kesejahteraan berkelanjutan merupakan kepentingan sekaligus landasan bagi tindakan manusia, David Gauthier (1969:7) berkesimpulan, ”Manusia itu mementingkan diri sendiri”.

Jika demikian, apa konsekuensinya? Karena kepentingan diri terbentuk melalui hasrat emosional—yang adalah penggerak tindakan—rasionalitas itu terikat pada kepentingan diri. Artinya, kepentingan diri jadi pertimbangan pokok perspektif personal seseorang.

Jika cara bernalar semacam itu kita bawa ke ruang kekuasaan, koruptor akan berpikir demikian: ”jika korupsi itu menguntungkan, bukankah itu suatu tindakan yang rasional?”
Kalau rasional dipahami sebagai segala yang memberikan kenikmatan bagi seseorang, dalam perspektif yang sempit niscaya simpulan tersebut diterima oleh manusia-manusia Hobbesian.

Apakah artinya Hobbes memberikan justifikasi terhadap korupsi? Jelas tidak. Ia sekadar menggambarkan, tindakan manusia sesungguhnya dilandasi kepentingan dirinya. Maksimisasi hasrat malah melahirkan perselisihan.

Ia mengidentifikasi tiga prinsip yang menyebabkan perselisihan: persaingan demi mendapatkan keuntungan, ketidakpercayaan yang memunculkan kebutuhan rasa aman, dan kejayaan yang diperjuangkan demi nama besar. Persoalannya, perselisihan tersebut dapat menghasilkan kehancuran—perang setiap orang melawan setiap orang—manakala negara tidak hadir dengan segenap kedaulatannya.

Negara Ahistoris

Kita telah paham manusia Hobbesian adalah manusia yang mengedepankan pemenuhan hasrat secara berkelanjutan. Dalam kasus korupsi, tindakan memperkaya diri atau orang lain melalui penyalahgunaan kekuasaan merupakan bagian dari pemenuhan hasrat, dan itu rasional.

Namun, kita mesti cermat membedakan antara rasional dan beralasan (reasonable) untuk paham bahwa korupsi itu meski rasional tetap tidak dibenarkan.

John Rawls (2008:54) menjelaskan rasional biasa dipahami sebagai logis atau bertindak demi kebaikan atau kepentingan seseorang, sementara reasonable lebih dimengerti sebagai berpikiran terbuka, bijak, dan mampu mempertimbangkan pandangan yang berlainan.

Dalam perkara ini, rasional menyangkut pemajuan kebaikan atau kemanfaatan bagi seseorang atau tiap-tiap orang yang bekerja sama, sementara reasonable lebih berkenaan dengan tindakan bersama.

Dengan sudut pandang tersebut, sebagai tindakan memperkaya diri, korupsi itu masuk akal; sebagai tindakan penyalahgunaan kekuasaan, korupsi itu tidak ada pembenarannya.

Meski jelas tidak dapat dibenarkan, korupsi merupakan salah satu persoalan besar yang tidak mampu dituntaskan seluruh rezim pasca-Soeharto.

Ketika sebagian pihak membanggakan stabilitas demokrasi Indonesia kontemporer, ironis bahwa stabilitas terbangun terutama oleh pertukaran kepentingan (yang antara lain membiakkan korupsi) di kalangan elite. Pada beberapa masa terakhir, korupsi semakin dalam memasuki ruang kekuasaan dan menggerogoti integritasnya.

Secara formal, negara tetap ada dan beroperasi. Namun, kekuasaan negara tak banyak memproduksi kebijakan dan keputusan yang bersumber dari—sekaligus diorientasikan pada—kepentingan bersama rakyat.

Tindakan negara lebih kerap menunjukkan perilaku strategis yang dijalankan menggunakan rasionalitas kekuasaan; sesuatu dipandang baik sejauh memberikan kontribusi bagi penguatan kekuasaan. Negara menjadi ahistoris karena pengelolaan kekuasaan cenderung menjauh dari pertimbangan yang reasonable.

Mentalitas manusia Hobbesian—yang mengedepankan kepentingan diri—dikembangkan dalam menjalankan negara sehingga negara semakin terasing dari masalah publik.
Kalau gejala ini terus menguat, negara tak akan mampu menegaskan otoritasnya untuk memperoleh kepatuhan warga. Ini merupakan suatu pintu masuk bagi negara gagal; suatu kebangkrutan bagi penyelenggaraan kekuasaan.

Demi menghindari itu terjadi, elite sepatutnya memulihkan akuntabilitas dan integritas sebagai bagian lekat dari kekuasaan.

Akuntabilitas dan integritas tidak ditentukan oleh besarnya dukungan dalam pemilu atau dalam survei opini. Keduanya lebih ditentukan tingkat pertanggungjawaban kekuasaan terhadap publik dan terpenuhinya standar moralitas.

Kalau Presiden mengeluhkan tidak berjalannya sejumlah instruksi, patut dipahami bahwa tentang kekuasaan, tak ada yang lebih efektif dibandingkan penyelenggaraan negara secara akuntabel dan berintegritas.

Jadi, untuk menyelesaikan perkara ini, yang pertama kali perlu diperiksa adalah akuntabilitas dan integritas kekuasaan itu sendiri. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar