Bagaimana Pengasuh
Pesantren Gontor Menutupi Kematian Santri Riky Ferdianto : Jurnalis Majalah Tempo |
MAJALAH TEMPO, 18
September 2022
TANGIS Siti Soimah pecah
saat menyambut kedatangan ambulans yang membawa jasad anak sulungnya, Albar
Mahdi, 17 tahun, pada Selasa, 23 Agustus lalu. Warga Kelurahan Sei Selayur,
Kecamatan Kalidoni, Palembang, Sumatera Selatan, itu meminta petugas membuka
peti. Ia ingin memeriksa jasad Albar yang telah menempuh perjalanan darat
dari Pesantren Gontor Kampus Pusat, Ponorogo, Jawa Timur. Kegundahan Soimah, 45
tahun, dan suaminya, Rusdi, 48 tahun, makin berkecamuk ketika melihat
sejumlah kejanggalan pada jasad santri Gontor itu. Di bagian dada dan kedua
kaki Albar terlihat luka lebam. Ada luka lecet dan darah yang mengalir dari
mulut. Soimah sempat menanyakan
penyebab kematian anaknya kepada Agus Mulyana, wakil Pesantren Gontor yang
diutus mengantarkan jasad Albar. “Awalnya disebut meninggal karena terjatuh
di dapur,” ujar Soimah. Soimah mengaku ragu atas
penjelasan Agus. Penjelasan Agus makin terasa ganjil setelah keluarga
menerima surat keterangan kematian yang diterbitkan dokter Rumah Sakit
Yasyfin Darussalam—rumah sakit milik Gontor—yang pertama kali memvisum jasad
Albar. Surat bernomor
007/RSYD-SKM/VIII/2022 itu menerangkan kematian Albar disebabkan nyeri di
bagian dada karena riwayat penyakit asma. “Anak saya tidak pernah memiliki
riwayat penyakit itu,” katanya. Albar tercatat sebagai
santri kelas V Pesantren Gontor atau setara kelas XI sekolah menengah atas.
Kabar kematiannya diperoleh keluarga sehari sebelum kedatangan jenazah tanpa
penjelasan yang memadai. Pihak pesantren semula menawarkan agar Albar
dimakamkan tak jauh dari pesantren. Keluarga menolak tawaran
pesantren. Mereka ingin memakamkan Albar di tanah kelahirannya. Belakangan
diketahui Albar meninggal karena dianiaya dua kakak kelasnya. Dugaan penganiayaan mulai
terungkap setelah Soimah berhasil mendesak Agus menyampaikan peristiwa yang
sebenarnya. Dari keterangan itu, Soimah langsung melayangkan surat terbuka ke
Gontor. Ia meminta pengasuh pondok pesantren memproses hukum pihak-pihak yang
terlibat. Mereka juga berharap
pengasuh pondok menjembatani islah dengan keluarga pelaku. Surat tersebut
diteken orang tua Albar, Agus, ketua rukun tetangga di lingkungan rumah
Soimah, dan empat saksi, yaitu alumnus Gontor yang turut mengantar jenazah.
“Yang membuat kami marah, pihak Gontor mempersulit keinginan bertemu
pimpinan,” tutur Soimah. Juru bicara Pondok Modern
Darussalam Gontor, Noor Syahid, membenarkan adanya penganiayaan yang
menyebabkan kematian Albar. Pesantren menyerahkan penyidikan kasus Albar
kepada kepolisian. Mereka sudah mengeluarkan dua santri senior yang diduga
menganiaya Albar, yakni MFA, 18 tahun, dan IH, 17 tahun, pada akhir Agustus
lalu. “Kami berharap kasus ini dapat diselesaikan secara transparan sesuai
dengan aturan yang berlaku,” ucapnya. ••• REKONSTRUKSI penganiayaan
Albar Mahdi berlangsung tertutup di Pesantren Modern Darussalam Gontor Kampus
Pusat, Desa Gontor, Kecamatan Mlarak, pada Rabu, 14 September lalu. Puluhan
wartawan yang hendak meliput tak bisa memasuki area pesantren. Keterangan hanya diperoleh
dari Kepala Kepolisian Resor Ponorogo Ajun Komisaris Besar Catur Cahyono
Wibowo. “Hasilnya tak jauh berbeda dengan prarekonstruksi pekan lalu,”
ujarnya selepas menghadiri rekonstruksi. Albar mengembuskan napas
terakhir pada Senin sekitar pukul 06.45, 22 Agustus lalu. Kakak kelas Albar,
MFA dan IH, menganiaya Albar dan dua temannya, RM dan NS. Berbeda dengan
Albar, kedua temannya hanya mengalami luka di kaki. Polres Ponorogo sudah
menetapkan MFA dan IH sebagai tersangka penganiayaan Albar Mahdi dua hari
sebelum rekonstruksi digelar. Dalam rekonstruksi, kedua
senior Albar itu diminta memperagakan 50 adegan penganiayaan yang dialami
Albar, RM, dan NS. Penganiayaan terjadi di dalam ruang andalan koordinator
urusan perlengkapan yang terletak di lantai 3 Gedung 17 Agustus. “Hanya ada
lima orang di ruangan itu,” kata Catur. Albar dan dua rekannya
mendatangi ruangan tersebut untuk memenuhi surat panggilan MFA dan IH sekitar
pukul 06.00 WIB. Albar diminta mempertanggungjawabkan delapan pasak tenda
yang hilang selepas acara Perkemahan Kamis-Jumat di Desa Wilangan, Kecamatan
Sambit, Ponorogo, dua hari sebelumnya. Diduga karena kesal
kehilangan pasak, MFA dan IH menganiaya ketiga junior mereka. Awalnya, MFA
dan IH memukul kaki ketiga korban menggunakan patahan tongkat. Mereka tak
melawan. Luka yang dialami Albar lebih telak. Keduanya diduga memukul dan
menendang dada Albar. Albar roboh. Kedua pelaku
bersama RM dan NS membawa Albar ke Rumah Sakit Yasyfin Darussalam Gontor
menggunakan becak inventaris pesantren. Letak rumah sakit yang dikelola
Gontor itu hanya berjarak sekitar satu kilometer dari lokasi penganiayaan.
“Saat diperiksa di ruang instalasi gawat darurat, korban sudah meninggal,”
ujar Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Ponorogo Ajun Komisaris Nikolas
Bagas Yudhi. Kejanggalan kematian Albar
berlanjut di rumah sakit. Mukhlas Hamidi, dokter RS Yasyfin, mengeluarkan
surat keterangan yang menyebutkan Albar meninggal karena penyakit tak
menular. Surat keterangan ini belakangan dipersoalkan Soimah, ibu Albar. Keluarga menduga rekayasa
hasil visum sengaja dibuat untuk menutupi jejak kematian Albar. Kecurigaan
Soimah didukung perbedaan hasil autopsi yang dikeluarkan RS Bhayangkara
Palembang setelah membongkar makam lalu mengautopsi jasad Albar pada Kamis, 8
September lalu. Hasil autopsi Albar
menyebutkan ada luka memar di bagian dada akibat benturan benda tumpul. Tim
dokter juga mendeteksi adanya luka dalam, terutama di rongga gerak dalam
tubuh Albar. Ketika dimintai konfirmasi
ihwal hasil autopsi ini, Ajun Komisaris Nikolas mengatakan kasus itu belum
naik ke tahap penyidikan. Ihwal perbedaan hasil keterangan dokter di Gontor
dan autopsi, ia menyerahkan mekanisme pembuktian saksi ahli di persidangan.
“Kami masih berfokus pada penanganan pokok perkaranya,” katanya. Pengacara keluarga Albar,
Titis Rachmawati, menyesalkan tindakan pihak Gontor yang lambat merespons
kasus ini. “Jika ditangani sedari awal, tidak perlu ada pembongkaran makam
dan autopsi,” ucapnya. Saat jenazah tiba di Palembang, keluarga tak sempat
melakukan autopsi karena ingin jasad Albar segera dikubur. Polisi tengah menyelidiki
surat visum awal dari RS Yasyfin yang menyebut Albar meninggal karena sakit.
Sejauh ini, penyidik sudah memeriksa 20 saksi yang terdiri atas 4 ustad
Gontor, 4 santri, 3 dokter, 4 perawat dan bidan, 2 petugas pemulasaran
jenazah, 2 anggota keluarga korban, serta 1 ahli forensik. Hingga pertengahan
September lalu, RS Yasyfin masih belum memberikan keterangan resmi. “Pihak
manajemen berpesan semua akan disampaikan kepada polisi,” ujar salah seorang
petugas keamanan rumah sakit ketika ditemui pada Rabu, 14 September lalu. Tempo berupaya menghubungi
nomor telepon Mukhlas Hamidi, dokter yang menangani Albar, tapi tak
direspons. Ia menjabat Kepala Unit Pelaksana Teknis Pusat Kesehatan
Masyarakat Kecamatan Mlarak. Salah seorang tokoh masyarakat
Desa Gontor menyebutkan rumah dan tempat praktik pribadi Mukhlas di Desa
Gandu, Kecamatan Mlarak, tutup sejak kasus kematian Albar mencuat. Papan
praktiknya juga tak terlihat lagi di rumah. ••• KEMATIAN Albar menambah
panjang daftar kekerasan di lingkungan pesantren. Sejak awal 2022, terungkap
lima santri tewas akibat penganiayaan, termasuk Albar. Sebagian di antaranya
dipicu oleh pemberian hukuman oleh santri senior. Pesantren Gontor kerap
melibatkan senior dalam pola asuh di kegiatan Organisasi Pelajar Pondok
Modern (OPPM), Koordinator Gugus Depan Pramuka, hingga pengurus rayon. Mereka
bertugas mengawasi kegiatan santri di luar jam sekolah. OPPM ibarat dewan
eksekutif santri di Gontor. Sebagian di antara pengurus organisasi ini
diangkat sejak mereka duduk di kelas V akhir. Kepengurusan OPPM terdiri atas
berbagai divisi yang mengawasi kegiatan santri, seperti disiplin bahasa,
olahraga, dan keamanan. “Jika ada pelanggaran, mereka yang menjatuhkan
sanksi,” tutur Umar Idris, alumnus Gontor angkatan 1996. Umar tak menampik kabar
bahwa ada kekerasan di Gontor. Ia bahkan beberapa kali pernah mengalami
kekerasan saat masih menjadi santri. “Dulu kalau terlambat ke masjid, kami
diminta berbaris lalu dipukul rotan,” katanya. Sanksi yang diberikan
tergantung tingkat kesalahan. Yang paling parah adalah hukuman bagi pencurian
atau keluar dari pondok tanpa izin. Hukuman yang dijatuhkan berupa sabetan
rotan dan penggundulan kepala. Upaya melibatkan kakak
kelas kerap memicu polemik. Umar berharap pola asuh tak semata diserahkan
kepada para santri senior. Sebab, kondisi psikologis mereka belum sepenuhnya
stabil. “Perlu ada pendampingan dari ustad,” ucapnya. Meski kerap menuai kritik,
Pondok Pesantren Gontor merupakan sekolah asrama yang sudah lama termasyhur.
Berdiri pada abad ke-18, Gontor menjadi pesantren terbesar yang sudah
melahirkan banyak tokoh nasional. Jumlah santri pada tahun ajaran 2019-2020
tercatat sebanyak 5.488 orang. Ada 20 cabang Pesantren Gontor di seluruh
Tanah Air. Ahmad Saifulloh, salah
seorang guru Pesantren Gontor, mengaku telah membentuk tim khusus untuk
mengevaluasi sistem pendidikan di pondok, khususnya sistem pola asuh yang
melibatkan senior. “Dari kasus ini, kami belajar banyak untuk membenahi
sistem pengawasan, kontrol, dan bimbingan konseling bagi santri,” katanya. Menurut Ahmad, pembenahan
sistem tidak akan mengubah prinsip dan nilai yang selama ini diterapkan di
Gontor. Nilai-nilai itu tertuang dalam “Panca Jiwa” santri yang meliputi
sikap ikhlas, sederhana, berdikari, ukhuwah Islamiyah, dan kebebasan. Saat
disinggung ihwal penanganan kasus penganiayaan Albar, ia mempercayakan proses
hukum kepada kepolisian. ”Secara prinsip kami mendukung langkah penegak
hukum.” Kementerian Agama ikut
bergerak. Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas menerjunkan tim investigasi
kematian Albar di pesantren Gontor. Tim ini juga mencari akar masalah yang
menyebabkan praktik kekerasan terus bertahan di berbagai lingkungan
pesantren. “Jika terbukti pesantren secara sistematis melakukan kekerasan,
kami cabut izin operasionalnya,” ujarnya. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar