Alasan Warga Pulau
Sangihe Menolak Tambang Emas Dini Pramita : Jurnalis Majalah Tempo |
MAJALAH TEMPO, 18
September 2022
DUA prahoto yang
mengangkut mata bor dan alat berat berjalan beriringan dari Pelabuhan
Pananaru, Kecamatan Tamako, Kabupaten Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara, pada
hari perayaan kemerdekaan Indonesia, Rabu, 17 Agustus lalu. Laju
iring-iringan truk tronton yang menuju lokasi eksplorasi tambang emas PT
Tambang Mas Sangihe di Desa Bowone, Kecamatan Tabukan Selatan Tengah, itu
tersendat di Desa Kaluwatu, Kecamatan Manganitu Selatan, lantaran menabrak
gapura yang sudah dibangun oleh warga kampung untuk memeriahkan Hari
Proklamasi Kemerdekaan. Bendera Merah Putih yang
dipasang pada gapura itu tercebur di got. Alih-alih berhenti untuk
membersihkan dan memasang kembali Sang Merah Putih, rombongan terus berlalu
melanjutkan perjalanan. Tak hanya merusak gapura, kabel listrik putus akibat
diterjang truk tronton. “Kami sangat menyesali mobilisasi alat berat ini.
Apalagi sampai membuat kesiapan desa menghadapi 17 Agustus berantakan,” kata
Polohindang, warga Kaluwatu, Kamis, 15 September lalu. Upaya mobilisasi alat
perlengkapan tambang ke lokasi penambangan kerap batal. Beberapa kali warga
Desa Bowone menolak kedatangan alat berat yang diperlukan untuk kegiatan
penambangan emas. Masyarakat menganggap aktivitas tambang emas PT Tambang Mas
Sangihe (PT TMS) dapat mengancam kehidupan masyarakat di Pulau Sangihe. Mendengar kabar konvoi dua
tronton menuju kampungnya, warga Bowone lantas berkumpul untuk menghadang
bersama sejumlah pegiat Save Sangihe Island. Pada malam itu, penghadangan
berhasil. Sopir truk kabur meninggalkan truk, muatan, dan kondektur.
Kesepakatan pun terjadi. “Mereka meminta waktu sampai pukul 2 siang untuk
menarik kembali tronton ke Pelabuhan Pananaru,” ucap Jull Takaliuang,
Koordinator Save Sangihe Island (SSI). Masyarakat Bowone
membubarkan diri setelah terjadi kesepakatan. Tersiar kabar adanya perusakan
terhadap salah satu truk tronton. Walhasil, sebanyak 14 warga Bowone mendapat
surat panggilan dari Kepolisian Resor Kepulauan Sangihe pada 29 Agustus lalu.
Mereka dituduh oleh PT TMS melakukan kekerasan terhadap barang perusahaan
secara bersama-sama. Menurut Alfred Pontolondo,
aktivis SSI, tak ada satu pun warga Bowone terlibat dalam perusakan truk
tronton yang terjadi pada 18 Agustus pagi hari itu. “Sebelumnya sempat ada
berita hoaks yang disebarkan oleh media lokal yang menyebut ada 30 warga
Bowone merusak truk tronton,” katanya. Menurut Alfred, aksi
penolakan tambang emas ini berakar dari pelanggaran perusahaan atas putusan
hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Manado. Pada Kamis, 2 Juni lalu, 56
perempuan Bowone memenangi gugatan terhadap izin lingkungan yang dikeluarkan
Dinas Lingkungan Hidup dan Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu
Satu Pintu Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara. Izin lingkungan itu menegaskan
kegiatan penambangan yang dibolehkan dalam jangka pendek hanya 65,48 hektare. Memang, setelah itu PT TMS
mengajukan permohonan memori banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara
Makassar yang memenangkan PT TMS. Namun, menurut Jull, ada proses yang kurang
tepat dalam upaya banding itu. “Pemerintah Provinsi sebagai tergugat pertama
menyatakan tak akan melakukan banding, tapi PT TMS sebagai tergugat
intervensi justru yang banding,” tuturnya. Selain itu, kontramemori banding
yang disampaikan penggugat secara langsung kepada ketua panitera Pengadilan
Tinggi Tata Usaha Negara Makassar tidak dijadikan pertimbangan putusan. Di lapangan, pada Senin,
13 Juni lalu, beberapa pekan setelah putusan Pengadilan Tata Usaha Negara
Manado keluar, PT TMS nekat membawa dua truk tronton yang memuat perlengkapan
pengeboran. Konvoi itu dihadang ratusan warga Bowone dan berhasil membuat
rencana mobilisasi alat berat batal dilakukan. Buntut penghadangan ini,
seorang warga Bowone bernama Robinson Saul, 48 tahun, dijadikan tersangka.
“Sampai saat ini dia masih ditahan,” kata Muhammad Jamil, anggota tim hukum
Save Sangihe Islands dari Jaringan Advokasi Tambang. Selain aksi penghadangan
truk, kata Jull, warga Sangihe kerap berdemonstrasi menolak tambang. Ia
mengingat aksi-aksi penolakan makin rutin digelar masyarakat sejak 10
Desember 2021. Saat itu ratusan warga dari berbagai desa melakukan unjuk rasa
di depan kantor Gubernur Sulawesi Utara menuntut pencabutan izin lingkungan
PT TMS. Jalur hukum pun ditempuh dengan mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata
Usaha Negara Manado. Warga Sangihe juga
mengajukan gugatan terhadap Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM)
yang memberi persetujuan peningkatan operasi kontrak karya kepada PT TMS.
Setelah menjalani 20 kali persidangan dan menggelar sidang lapangan pada
Senin, 7 Maret lalu, gugatan tersebut dimentalkan oleh hakim Pengadilan Tata
Usaha Negara Jakarta. Saat itu, hakim menyatakan kasus ini adalah persoalan
keperdataan. Tidak puas atas pernyataan
hakim itu, warga Sangihe lantas mengajukan permohonan banding ke Pengadilan
Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta. Dalam putusan pada Rabu, 31 Agustus lalu,
itu, majelis hakim yang terdiri atas hakim ketua Eddy Nurjono serta dua hakim
anggota, Budhi Hasrul dan Husein Rozarius, memutuskan menerima seluruhnya
tuntutan warga dan memerintahkan Kementerian ESDM mencabut izin operasi tersebut. Meski pada 31 Agustus
sudah ada putusan yang meminta Kementerian ESDM mencabut izin operasi, Polres
Sangihe tetap memproses laporan terhadap 14 warga Bonowe pada Jumat, 2
September lalu. “Hingga saat ini proses masih berjalan dan belum ada yang
ditetapkan sebagai tersangka karena memang warga Bowone sama sekali tidak
tahu mengenai perusakan alat berat PT TMS tersebut,” ujar Alfred. Selain melaporkan 14
warga, Jull dilaporkan oleh PT TMS dengan tuduhan merusak dan menyandera
kunci truk beserta kondektur. Padahal, menurut Jull, dua hari setelah
kejadian, ia mendatangi Polres Kepulauan Sangihe dan duduk bersama camat,
wakil Kepala Kepolisian Resor, dan beberapa pejabat terkait. “Wakapolres
mempersilakan SSI membawa kembali tronton ke Pananaru. Tapi, untuk
menghindari tuduhan, kami mencari kondektur,” katanya. Sementara itu, PT TMS
melakukan manuver lain dengan menggugat sejumlah pejabat negara, dari
Presiden Joko Widodo, Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut
Binsar Pandjaitan, Menteri Investasi Bahlil Lahadalia dan Ombudsman Republik
Indonesia, Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Menteri Hukum dan Hak Asasi
Manusia, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, hingga Bupati Kepulauan Sangihe.
Gugatan itu dilayangkan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Senin, 23
Agustus lalu. PT TMS menuntut ganti rugi sebesar US$ 37 juta dan Rp 31,9
miliar karena para tergugat menyebabkan PT TMS mengalami kerugian materiil. Kini dua tuntutan warga
Sangihe menolak tambang emas bermuara di Mahkamah Agung. “Kami akan berjuang
di arena kasasi,” ujar Jull. Selain itu, mereka disibukkan pula dengan
pemanggilan 14 warga Bowone, termasuk pelaporan terhadap Jull Takaliuang.
“Kami akan melaporkan balik PT TMS karena telah membuat laporan palsu,”
katanya. Menurut Legal Senior PT
TMS Rico Pandeirot, upaya banding yang dilakukan perusahaan merupakan hak
para pihak yang terlibat. "Buktinya terbit putusan yang membatalkan
putusan PTUN Manado," tuturnya. Ia menolak perusahaannya
disebut melanggar Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014. Dalam kutipan pasal 35
undang-undang itu, menurut dia, terdapat beberapa hal yang harus dicatat.
"Pertama kita perlu memahami bahwa kegiatan pertambangan tidak dilarang,
namun yang dilarang adalah kegiatan pertambangan yang tidak bertanggung jawab,"
ucapnya. Ia menunjuk pertambangan tanpa izin yang telah dilakukan di Sangihe
sebagai contoh. Adapun kutipan dari pasal
35 yang dimaksud adalah: "Setiap orang secara langsung atau tidak
langsung dilarang: (k) melakukan penambangan mineral pada wilayah yang
apabila secara teknis dan/atau ekologis dan/atau sosial dan/atau budaya
menimbulkan kerusakan lingkungan dan/atau pencemaran lingkungan dan/atau
merugikan masyarakat sekitarnya." ● Sumber : https://majalah.tempo.co/read/lingkungan/166940/alasan-warga-pulau-sangihe-menolak-tambang-emas |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar