Tafsir
Agama yang Otoriter Vs Tafsir
yang
Pro Hak Asasi
Denny JA ; Pendiri Lingkaran Survei Indonesia
|
REPUBLIKA,
09 Januari
2018
Di era Google dan Hak
Asasi Manusia (HAM), untuk hidup yang harmoni serta mendalam, pertanyaannya
bukan lagi apa agamamu? Juga bukan lagi apakah kau tidak beragama? Tapi
bagaimana kamu menafsirkan agama atau paham (ideologi) yang kamu yakini?
Ini era di semua agama tersedia spektrum. Ada
tafsir yang pro hak asasi yang membangun peradaban. Dan ada tafsir yang
otoritarian, yang membajak agama itu menuju kekerasan. Itulah sebabnya di
semua penganut agama tercatat konflik berdarah, perang bahkan terorisme.
Itu respons cepat saya
melihat riset mengenai agama di zaman now. Kini terdaftar lebih dari 4.200
agama. Satu agama bahkan terpecah pula kepada banyak aliran (Schism).
Namun siapapun tak bisa
menolak fenomena yang dahsyat dari agama besar. Agama seperti Kristen, Islam,
Buddha, Hindu sudah hadir lebih dari 1.500 tahun. Agama itu juga diyakini
ratusan juta manusia hingga di atas satu miliar populasi.
Bahkan ideologi modern
seperti Komunisme, Fasisme, dan lain lain, hanya bertahan kurang dari seratus
tahun saja. Setelah itu ideologi itu layu.
Hanya dengan melihat
fenomena itu, bahkan bagi mereka yang semata mata ingin memahami agama secara
ilmiah, dan membuang sisi wahyu ilahiah, tetap terpesona. Ada sesuatu dalam
agama besar itu yang membuatnya bertahan ribuan tahun. Ada yang sentral dalam
agama besar itu yang menyentuh kedalaman manusia, yang membuatnya selalu
disegarkan kembali.
Riset yang dibuat lembaga
terkemuka berpusat di Amerika Serikat, Pew Research Center (PRC), 2015,
bahkan menyebutkan angka. Di masa depan agama ini tidak menghilang, namun
justru bertambah.
Bahkan penganut paham yang
atheis, agnostik dan non-religius akan berkurang. Pendukung paham non-agama
ini, akan menurun dari 16,4 persen di 2010 menjadi hanya 13,2 persen saja di
tahun 2050.
Ini yang juga penting! Di
tahun 2070, menurut PRC, Islam akan menjadi agama yang penganutnya terbesar
di dunia. Jumlah penganut Islam akan melampaui jumlah penganut agama Kristen
dan juga pendukung paham yang atheis, agnostik dan non-religius.
Di usia 55 tahun, prinsip
hidup dan zikir /La Ilaha Illallah/ begitu menggetarkan saya. Mendalam saya
merenung. Apa arti dan signifikansi /La Ilaha Illallah/ di ruang publik,
dalam era Google dan Hak Asasi Manusia?
Pertama kali yang saya
ingat adalah Eric Fromm. Ia seorang ahli psikologi dalam tradisi psikoanalisis.
Pandangannya banyak dipengaruhi oleh Sigmun Freud. Namun Fromm tumbuh berbeda
karena ia juga menjadi filsuf dan sosiolog. Fromm hidup di tahun 1900-1980.
Ujar Fromm, psikologi
manusia tak bisa menghindari dari Tuhan dan agama. Apapun manusia akan meyakini
Tuhan dan memeluk agama. Manusia bisa saja menolak konsep Tuhan dan agama
versi lama. Tapi kebutuhan psikologinya membuat manusia menciptakan konsep
Tuhan dan konsep agama baru.
Fromm mengartikan Tuhan
sebagai pusat orientasi hidup. Secara psikologis, manusia memerlukan pusat
orientasi. Ia jadikan pusat orientasi itu hal utama.
Agama besar mengajarkan
pusat orientasi itu adalah Yahwe, atau Allah, atau Tuhan, atau Budha, atau
dewa. Ideologi modern mungkin saja meruntuhkan pusat orientasi itu. Namun pasti
akan ada pusat orientasi baru entah itu negara, kapital, partai, atau tokoh.
Itulah aneka “Tuhan” yang baru.
Hal yang sama dengan
agama. Fromm mengartikan agama sebagi sistem nilai yang memberikan panduan
pada manusia menuju pusat orientasi itu. Lahirkah sistem nilai Hindu, Buddha,
Judaisme, Kristen, Islam dan sebagainya.
Sekali lagi, pemikir
modern bisa saja meruntuhkan sistem nilai bahkan agama. Namun pasti,
psikologi manusia membutuhkan sistem nilai pengganti. Itulah “agama” baru
baik bernama ideologi, paham ataupun filsafat hidup.
Pentingnya La Ilaha
Illallah, prinsip tauhid dalam Islam, justru terasa dalam kerangka Eric
Fromm. Prinsip tauhid: tiada tuhan selain Allah, justru menegasi tuhan-tuhan
kecil atau palsu.
La ilaha Illallah menjadi
konsep pembebasan jiwa manusia yang sangat mendasar. Konsep itu menolak
menjadikan manusia berorientasi pada tuhan kecil (harta, negara, partai,
tokoh, guru suci, dan sebagainya). Kodrat manusia lebih tinggi untuk sekedar
menjadi budak dan penghamba tuhan kecil itu.
Dengan La Ilaha Illallah,
prinsip ini menjadikan Allah semata sebagai pusat orientasi. Tapi apakah
Allah itu? Itu adalah kesempurnaan paling jauh yang bisa diimajinasikan
manusia. Yang terbatas (manusia) mustahil bisa memahami seluruhnya yang tak terbatas
(Allah). Tapi untuk kepentingan praktis, Allah dapat didekati dengan proksi
atau permisalan saja.
Dengan menjadikan Allah
semata sebagai pusat orientasi, maka manusia diletakkan dalam makom paling
tinggi, dibebaskan dari orientasi hidup yang mendangkalkan. Apalagi Allah itu
dipahami secara proksi sebagi segala yang maha baik (maha mampu, maha adil,
maha kasih, maha tahu, dll)
Dengan berorientasi pada
Allah (yang maha adil, maha tahu, maha kasih, maha suci, dll), manusia pun
memulai perjalanan hidup menuju pencapaian itu hingga ajal menjemput. Manusia terus dibuat mencari, belajar dan
melatih diri untuk tahu (karena Allah maha tahu), untuk adil (karena Allah
maha adil), untuk mampu (karena Allah maha mampu), untuk kasih dan penuh
cinta (karena Allah maha kasih). Dan sebagainya.
Inilah implikasi
psikologis dari La Ilaha Illallah. Sebuah implikasi sikap hidup yang sangat
mendasar, penting dan mendalam.
Namun apa arti La Ilaha
Illallah itu di era Hak Asasi Manusia dan Google? Dalam sejarah konsep itu
bisa ditafsir secara otoriter yang justru membawa pada kekerasan. Namun bisa
juga ia ditafsir secara berbeda yang membawa pada kedamaian, harmoni, dan
hidup positif.
Untuk itu, penting
membedakan tafsir agama yang otoriter dan tafsir agama yang pro Hak Asasi.
Saya membedakan lima prinsip dasar yang membedakan tafsir itu.
PERTAMA: Kepatuhan versus
Diskusi dan Pencarian.
Tafsir otoriter
mementingkan kepatuhan. Dosa terbesar ada pada ketidakpatuhan. Bahkan
kepatuhan ini pun dilegitimasi, dipaksa dan dikawal oleh kekuasaan. Mereka
yang tak patuh bukan saja dianggap layak terkena dosa di akhirat, tapi
dikenakan hukum duniawi oleh sang pemegang kekuasaan.
Tafsir pro Hak Asasi punya
prinsip sebaliknya: diskusi dan pencarian. Tafsir ini menyadari bahwa manusia
tak bisa dipaksa meyakini apa yang belum masuk akal dan menyentuh hati.
Tafsir ini juga menyadari bahwa kesadaran individu terus berkembang sejalan
dengan pengalaman dan pengetahuannya.
Yang dipentingkan oleh
tafsir pro hak asasi adalah diskusi dan pencarian. Setiap individu dibiarkan terus mencari dan
berdiskusi mengenai apa yang ingin diyakininya. Pihak lain boleh memberikan
input atau dakwah. Namun setiap individu dibiarkan memilih sendiri apa yang
ia yakini sesuai dengan tahapan kesadaran.
KEDUA: Keseragaman versus
Keberagaman.
Tafsir otoriter memaksakan
keseragaman pemahaman dan pengertian. Mereka meyakini arti konsep besar dari
agama selalu tunggal, di mana pun, kapan pun, untuk siapa pun.
Lebih jauh tafsir otoriter
ini merasa berhak menggunakan kekuasaan untuk mengawal keseragaman itu.
Mereka yang berbeda dianggap tak hanya dosa. Bahkan mereka layak mendapatkan
hukuman dari pemegang kekuasaan.
Sebaliknya tafsir hak
asasi memahami dunia dan peradaban terus berubah. Bahkan satu individu di
masa ia kanak-kanak, remaja, muda, tua juga berevolusi kesadarannya.
Keberagaman tak
terhindari. Listrik yang sama berguna bagi penduduk di tempat panas, musim
summer, jika menjelma mesin pendingin (AC). Tapi bagi penduduk di tempat
sangat dingin, musim winter bersalju, walau sama listriknya tapi justru
berguna jika menjelma mesin penghangat (heater).
Memaksakan mesin pendingin
atau mesin penghangat untuk semua populasi dan musim adalah kekerasan.
Keberagaman penafasiran
dianggap realitas tak terhindari karena berubahnya zaman, dan berkembangnya
kesadaran individu.
KETIGA, pemaksaan verus
kesukarelaan.
Bagi tafsir otoriter,
tafsir agama adalah sesuatu yang harus dipaksakan. Lebih mengerikan lagi
pemaksaan itu bahkan dinilai untuk menyelamatkan jiwa mereka yang dipaksa.
Tak jarang kekerasan, konflik dan perang dikobarkan sebagai instrumen
pemaksaan dengan dalih penyelamatan jiwa dan kebaikan.
Bagi tafsir pro Hak Asasi,
kesadaran dan pandangan hidup yang sangat sentral itu hanya mungkin tumbuh
dalam kesuka relaan. Sebuah keyakinan dipeluk bukan karena ia dipaksakan dari
luar, tapi buah dari perenungan mendalam dan suka rela.
Pemerintah dan negara
hanya boleh memaksakan hukum kriminal saja seperti pembunuhan, pencurian,
penipuan. Tapi filsafat hidup, seni, gaya dan orientasi hidup ia tumbuh
secara individual dan suka rela. Bahkan satu individu dapat dengan bebas
mengubah apa yang ia yakini karena bertambahnya pengalaman dan berubahnya
pengetahuan.
KEEMPAT: kelompok versus
universal
Tafsir otoriter
mengutamakan kepentingan kelompok. Dunia dibagi menjadi kita versus mereka.
Memang mereka bisa menjadi bagian dari kita jika menyeragamkan diri dengan
tafsir yang kita yakini.
Di luar kelompok kita
adalah inferior. Lebih mengerikan lagi jika tafsirnya: di luar kelompok kita
boleh dimunaskan dengan kekerasan.
Tafsir Pro Hak Asasi
justru mementingkan keseluruhan. Setiap prinsip dicari cara untuk
diuniversalkan agar juga bisa dinikmati oleh mereka di luar kelompok.
Disadari kita dan mereka
tak perlu dan tak bisa diseragamkan. Yang dipentingkan kemudian mencari
common ground agar sesama warga bisa hidup bersama. Seseorang tak boleh
disingkirkan atau didiskriminasi hanya karena kesadaran yang dipilihnya
secara sukarela.
KELIMA: Pemurnian versus
Kebajikan dan Compassion
Tafsir otoriter
mengutamakan pemurnian sebuah ajaran atau tafsir. Selalu diupayakan aneka
pemahaman harus sesuai dengan teks. Lebih celaka lagi jika pemurnian ini
dikawal dengan kekuasaan dan kekerasan.
Ini berangkat dari
pemahaman apa itu yang abadi dalam ajaran agama. Yang abadi itu yang tertulis
dalam teks.
Tafsir pro Hak Asasi
mengutamakan kebajikan dan compassion. Yang abadi dalam agama bagi tafsir ini
sesuatu yang lebih jauh di luar teks. Itu adalah prinsip kebajikan dan
compassion.
Bagaimana operasionalisasi
dari kebajikan dan compassion itu, biarlah dirumuskan dari waktu ke waktu.
Yang penting adalah prinsip dasar seperti La Ilaha Illallah: jangan
mendangkalkan hidup mensubordinasi manusia kepada tuhan kecil (harta, kuasa,
partai, negara, pemimpin, guru suci).
Di luar itu, bisa
disesuaikan dengan perkebangan peradaban dan ilmu pengetahuan.
Sintesa kultural peradaban
barat dan agama berharga diupayakan. Agama tak kunjung mati, bahkan terus
berpengaruh.
Dari peradaban, yang
paling berharga untuk ruang publik adalah menerapkan puncak pencapain
kolektif yang sudah dirumuskan dalam Deklarasi Hak Asasi Manusia PBB.
Namun prinsip hak asasi
manusia itu terus tumbuh. Fakta sejarah menunjukkan daftar apa yang disebut
Hak Asasi Manusia juga terus berubah dan bertambah.
Dari kaca mata La Ilaha
Illallah, prinsip hak asasi manusia hanya syarat minimal saja bagi sikap
hidup tauhid. Prinsip hidup La Ilaha Illallah tetap mengutamakan tauhid.
Prinsip hak asasi hanya menjamin keberagaman. Tapi pemuliaan manusia
diberikan oleh filafat hidup yang jauh lebih mendasar.
Namun sekali lagi dan
sekali lagi, prinsip tauhid itu di era google dan hak asasi manusia, perlu
dioperasikan tidak dengan paradigma tafsir otoriter. Prinsip Tauhid itu
dijalankan dengan lima prinsip paradigma tafsir Pro Hak Asasi.
Dengan tafsir otoritarian,
prinsip La Ilaha Illallah akan berujung pada kekerasan. Sedangkan dengan
tafsir pro hak asasi, prinsip La Ilaha Illallah tumbuh secara sukarela,
natural, seperti tumbuhnya mawar di taman bunga.
Ketika peradaban barat
kini superior, ketika penganut Muslim akan menjadi populasi terbesar dunia,
sintesa kultural prinsip hak asasi manusia dan sikap hidup La Ilaha Illallah
menjadi penting. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar