"Share
Location" dan
Lenyapnya
Satu Sendi Sosial Kita
Iqbal Aji Daryono ; Esais, tinggal di Bantul, Yogyakarta
|
DETIKNEWS,
09 Januari
2018
Salah satu agenda utama
saya setelah meninggalkan Perth dan pulang ke Bantul adalah sowan kepada
anak-anak muda yang tajam dan penuh semangat, Agus Mulyadi dan Prima
Sulistya.
Maka malam itu saya minta
mereka memberi ancar-ancar di mana kami bisa berjumpa. Ekspektasi saya dengan
pertanyaan itu sederhana saja. Yakni, Prima akan mengetik via Whatsapp,
"Jalan Kaliurang sebelum UII ada lampu merah, belok kanan, sekitar dua
kilo sehabis jembatan ada jalan kecil sebelah kios bensin, belok kiri
teruuuus. Nanti ketemu satu-satunya pertigaan di sebelah kanan, masuk, trus
ada banyak motor parkir di sebelah kanan jalan. Itu tempatnya, Mas."
Tapi ternyata bukan itu
yang saya dapatkan. Prima cuma memencet share location, dan selesai perkara.
Jadi saya pun berangkat menyetir kendaraan sambil tengak-tengok HP, melihat
ke tanda panah biru di Google Maps yang mengantarkan saya hingga ke rumah di
lereng Merapi itu.
Ini sedikit mengejutkan
buat saya. Ada semacam gegar dan gagap budaya, segagap saya mendengar kata
Go-Jek, Go-Car, Grab, Go-Food, Go-Massage, dan go-go lainnya yang bermunculan
dalam obrolan sehari-hari bahkan hingga di sudut-sudut kampung.
Di Perth, pemakaian aneka
aplikasi semacam itu kalah masif ketimbang di Jogja. Taksi Uber memang
merajalela, dan mulai mencekik taksi konvensional. Tapi taksi motor tidak
ada. Orang juga tetap lebih banyak masak di rumah atau nongkrong di kafe
ketimbang pesan makan malam lewat aplikasi. Barangkali karena Perth tidak
semacet Jogja, sehingga jalan sendiri masih tetap mudah.
Untuk mendatangi suatu
alamat, orang Perth memakai GPS. Saya sendiri memakai Google Maps dalam
menjalankan pekerjaan saya di jasa pengiriman, tanpa pernah memencet tombol
direction. Itu karena buat saya lebih asyik membaca Google Maps sebagai peta,
bukan sebagai suara aba-aba.
Namun seumur-umur di Perth
sebagai kurir, belum pernah satu kali pun ada orang mengirim share location
ke saya.
Bisa jadi ada dua
sebabnya. Pertama, karena orang Perth sangat sedikit yang memakai Whatsapp
(mayoritas mereka masih pakai SMS!). Kedua, karena alamat-alamat sudah
tertata rapi dan jelas, lengkap dengan nomor rumah masing-masing. Dengan
begitu, penggunaan GPS masih tetap jadi pilihan paling gampang.
Saya tidak hendak
membicarakan pemakaian terobosan IT dan alat-alatnya yang terasa lebih marak
di Jogja ketimbang di Perth. Yang lebih membuat saya galau adalah sejenis
rasa rindu.
***
Selama di Perth dan
menghamba kepada GPS serta Google Maps, saya sangat ingin kembali ke Bantul
dan menjalani pengalaman-pengalaman sosial sederhana seperti berhenti di
warung lantas bertanya, "Bu, ndherek tanglet, numpang tanya, kampung
Karangpule arah mana ya, Bu? Oh, sini sudah Karangpule? Rumahnya Mas Kelik
sebelah mana nggih?"
Dengan mekanisme pencarian
alamat model tradisional begitu, keterampilan berbahasa lokal tetap hidup.
Saya ingat, dulu kalau pergi berdua dengan kawan saya Nana Juansa yang orang
Sunda dan cuma bisa berbahasa Jawa ngoko alias Jawa kasar itu, tiap kali
bertanya alamat selalu sayalah yang dia suruh-suruh.
Selain peluang konservasi
bahasa lokal, salah satu ceruk untuk menerapkan unggah-ungguh alias tata
krama juga tetap eksis. Orang numpang tanya ke orang lain yang tidak dikenal
tentu tak bisa sembarangan, bukan? Apalagi kalau harus bertanya kepada PKS, alias
pemuda kampung setempat. Standar-standar etiket pun mesti dijalankan dengan
lebih berhati-hati.
Dengan ceruk kesempatan
penerapan model-model tata krama tersebut, berlaku juga social punishment
sebagai alat kontrol.
Bertahun silam, seorang
lelaki bermotor berhenti di dekat rumah saya untuk numpang tanya arah tempat.
Malang, yang dia tanyai pemuda dusun sebelah, Bambang namanya. Dengan penuh
semangat Bambang menunjukkan arah yang jelas. "Ini teruuuus saja ke
Timur, sampai lampu merah, belok kanan, teruuuuus saja sampai ketemu gapura
gede. Nanti tanya lagi di situ, Mas."
Gapura yang disebut
Bambang itu jauhnya sekitar tiga kilo di arah yang berlawanan dengan lokasi
yang mau dituju si mas-mas bermotor.
Kurang ajar sekali si
Bambang itu, bukan? Tapi Bambang memang sengaja mblasukke, kalau istilah
Jawanya. Menyesatkan, meski tidak harus dikaitkan dengan kata 'menyesatkan'
di masa ini yang agak dekat dengan 'penistaan'.
Bambang sengaja mblasukke
karena si lelaki bermotor berhenti tanpa turun dari kendaraan, tanpa
mematikan mesin, dan tanpa membuka helm. Itu sikap yang secara nilai-nilai
lokal dianggap tidak pantas dan keluar dari standar sopan santun. Maka
hukuman sosial pun dijalankan.
***
Sekarang, ternyata share
location menghilangkan semua romantika itu. Penduduk suatu kota, baik asli
maupun pendatang, tidak merasa perlu sekadar belajar bahasa setempat untuk
keperluan bertanya alamat. Keterpaksaan sosial untuk sedikit belajar tata
krama ketika berjumpa dengan orang asing juga berkurang. Konsep-konsep
kearifan (atau kenakalan?) lokal seperti mblasukke tak lama lagi juga akan
lenyap.
Beginilah teknologi datang
kepada kita. Ia menawarkan efektivitas dan efisiensi, namun melenyapkan
hal-hal lama yang kadang membuat kita menikmati takdir sebagai manusia. Lalu
dengan keterikatan dan ketergantungan kepada teknologi, masihkah kita utuh
dalam kemanusiaan kita?
Pertanyaan yang lebih
mendasar lagi bisa saja diajukan: Apakah itu manusia? Benarkah komputer lebih
rendah derajatnya daripada manusia, sehingga kita mesti resah dengan
perubahan nilai dan segenap gejalanya? Atau, jangan-jangan kita ini juga cuma
robot, yang bisa menciptakan robot-robot lain yang bakalan mengganggu
eksistensi para robot lama?
Mari renungkan
dalam-dalam. Namun kali ini tak bisa kita sekadar mengandalkan Google. Kita
harus berbincang berpanjang-panjang, tertawa bersama, berdebat dengan
gembira, berjumpa satu sama lain sebagai sesama manusia.
Baik, untuk keperluan ini,
saya akan berangkat menjumpai Anda semua. Jangan lupa share location, ya! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar