Apakah
Israel Negara Demokratis?
Ikhwanul Kiram Mashuri ; Penulis Kolom RESONANSI Republika
|
REPUBLIKA,
08 Januari
2018
Pertanyaan di atas menjadi
penting karena beberapa alasan. Salah satunya, dukungan negara-negara Barat,
terutama Amerika Serikat, kepada Israel selama ini lantaran negara Zionis itu
dilabeli paling demokratis di kawasan Timur Tengah. Khususnya di lingkungan
negara-negara Arab. Hal inilah yang juga dikatakan Presiden AS Donald Trump
ketika mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel. "(Israel) salah satu
negara demokrasi yang paling sukses di dunia," ujar Trump.
Klaim Trump tentu sebuah
kebohongan besar seperti beberapa hal yang sering ia katakan selama ini. Pun
kebohongan itu sengaja diulang-ulang oleh para pemimpin Israel agar menjadi
‘kebenaran’. Sayangnya ‘kebenaran yang bohong’ itu sudah memengaruhi para
politisi Barat, termasuk sebagian dari kita.
"Juga telah
memengaruhi beberapa orang Arab," tulis Abdul Fatah Madhi, akademisi,
peneliti, dan penulis Arab di sebuah kolomnya di media Aljazeera.net.
Baca Juga: Trump
Mempersatukan Dunia untuk Melawannya
Sekarang mari kita
sepakati apa yang dimaksud dengan demokrasi. Dalam demokrasi modern, rakyat
merupakan sumber kekuasaan. Mereka yang memilih, mengawasi, dan menghukum
para penguasa. Hak politik dijamin. Kebebasan untuk semua tanpa perkecualian.
Di Israel, hanya
orang-orang Yahudi yang menjadi sumber kekuasaan. Mereka membedakan warga
atas dasar agama. Warga selain (beragama) Yahudi adalah warga kelas dua atau
bahkan tiga. Termasuk ketika mereka mendirikan negara Israel.
Bahkan pembentukan negara
mereka di tanah Palestina tidak mungkin terjadi tanpa membawa-bawa nama
agama. Atas nama agama, mereka menarik orang-orang Yahudi dari seluruh dunia
untuk berhijrah ke Palestina. Dengan memanfaatkan simbol-simbol, nilai, dan
ajaran agama, mereka lalu menciptakan bangsa Yahudi di negara Israel.
Diskriminasi atas nama
agama (Yahudi) ini dituangkan dalam undang-undang atau konstitusi negara. Ada
dua undang-undang yang sangat rasis yang mungkin tak tertandingi di dunia.
Yaitu Undang-Undang Tahun 1950 tentang Kembali dan Undang-Undang Tahun 1951
tentang Kewarganegaraan.
Kedua undang-undang itu
memperbolehkan kepada setiap orang Yahudi di seluruh dunia untuk pergi dan
menetap di Israel kapan saja dan bisa langsung mendapatkan kewarganegaraan
Israel.
Sementara itu, orang-orang
Palestina sang empunya tanah air dilarang untuk kembali, apalagi mendapatkan
kewarganegaraan. Mereka yang menetap sejak lama bahkan diusir dan diteror.
Selain kedua undang-undang tadi, masih ada berbagai undang-undang lain yang
sangat rasis berdasarkan agama terhadap orang-orang Palestina.
Dalam sebuah negara
demokrasi, hukum adalah panglima. Semua orang atau warga sama di depan hukum
tanpa membedakan etnis, golongan, dan agama. Namun, hal ini tidak berlaku
bagi orang Yahudi. Israel lebih mengedepankan rasisme eksklusif Yahudi. Hal
ini tentu bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi. Setiap warga harus hidup
bersama dan berdampingan dengan orang lain yang didasarkan pada persamaan di
depan hukum.
Negara Israel juga tidak
memiliki batas geografis yang jelas untuk menjalankan kekuasaan. Ini tentu
berlawanan dengan apa yang para ahli hukum dan politik sepakati bahwa
kedaulatan negara terkait dengan wilayah tertentu.
Demokrasi membutuhkan
partisipasi politik semua warga tanpa diskriminasi atau pengecualian. Namun,
di Israel semua itu tidak berlaku. Banyak pembatasan yang ditetapkan oleh
hukum maupun dalam praktik sehari-hari.
Sebagai contoh, banyak
orang Arab yang sejak 1948 telah menjadi warga negara Israel, tapi hanya
memiliki sedikit hak. Mereka tetap saja merupakan warga kelas dua. Mereka
menghadapi berbagai penderitaan akibat diskriminasi. Ada pembatasan kebebasan
berekspresi, berorganisasi, pembatasan hak-hak politik dalam pemilu, dan juga
pembentukan partai dan asosiasi.
Ada undang-undang yang
mengaitkan pengakuan yahudisasi negara dengan pencalonan dalam pemilu,
dukungan dana pemerintah, dan mendapatkan hak-hak warga negara. Mahkamah
Agung Israel bahkan telah menetapkan keabsahan Yahudisasi negara sebagai
konstitusi utama yang tidak boleh dilanggar oleh undang-undang lain atau
undang-undang di bawahnya.
Kontradiksi lain terjadi
di Knesset. Di Lembaga parlemen Israel ini terdapat beberapa hal yang
melanggar asas demokrasi. Salah satunya undang-undang yang secara efektif
mencegah perwakilan dari partai Arab untuk dapat terlibat dalam komite-komite
penting, seperti komite keuangan, luar negeri, dan keamanan.
Partai-patai utama Israel
sekarang ini sudah terbentuk sebelum berdirinya Israel. Mereka telah sepakat
dengan apa yang disebut sebagai ‘Konsensus Zionis’. Intinya, keamanan dan
kesejahteraan negara harus didasarkan pada Zionisme. Ciri-ciri partai ini
kepemimpinan harus dikuasai oleh kelompok Yahudi yang berasal dari
negara-negara Barat. Mereka mendapatkan dukungan finansial yang tak terbatas
dari gerakan Zionisme internasional.
Di kelompok Yahudi pun
masih ada penggolongan. Mereka yang berasal dari Eropa, disebut Yahudi
Ashkenazi, merupakan kelompok elite di Israel. Sedangkan mereka yang berasal
dari Amerika Latin, Afrika, dan wilayah lain disebut Yahudi Falasha. Yang
terakhir ini dianggap sebagai Yahudi rendahan.
Dari awal berdiri, Israel
memang digagas sebagai negara Yahudi. Ini berarti penghapusan terhadap
hak-hak orang Palestina dan Arab sejak 1948. Mereka semua, baik Arab Muslim
maupun Kristen, secara perlahan dilucuti dari semua identitasnya, termasuk
penggunaan bahasa Arab dan lainnya.
Yang lebih menderita lagi
adalah orang-orang Arab yang tinggal di wilayah yang diduduki Israel sejak
1967. Mereka setiap hari menghadapi penindasan kekuasaan militer dan
mengalami keterbasan akses ekonomi, terutama pekerjaan. Para penguasa Israel
bahkan tidak memedulikan lagi Konvensi Jenewa dan puluhan resolusi PBB serta
organisasi internasional lainnya.
Lalu, bagaimana sebuah
negara bisa dikatakan demokratis dengan semua kontradiksi ini? Bagaimana
Israel--satu-satunya negara di dunia yang masih menjajah negara lain--bisa
disebut demokratis? Demokrasi untuk dirinya (orang-orang Yahudi) dan tidak
untuk orang lain (Arab/Palestina)?
Di sinilah, terkait dengan
Israel, kita tidak mungkin menyebut apakah sebuah negara demokratis dan
melupakan bagaimana ia terbentuk. Gerakan Zionisme--yang mendirikan
Israel--adalah sebuah proyek kolonial yang dibentuk dan dibiayai oleh
penjajah Eropa dan didukung Barat.
Karena itu, menjadi wajar
bila wilayah geografis negara bentukan gerakan Zionis merupakah hasil dari
mengambil paksa dari penduduk asli dengan cara teror dan pembunuhan. Pun,
dengan warganya yang merupakan para imigran Yahudi dari Eropa dan belahan
dunia lainnya dengan sejarah dan bahasa yang berbeda-beda. Kesamaannya hanya
satu; mereka adalah orang Yahudi.
Dengan pembentukan negara
seperti ini, menjadi tidak aneh bila ideologi Isreal adalah Zionisme. Sebuah
ideologi rasis bin ekspansionis bin apartheid yang didasarkan pada
pengingkaran terhadap hak warga lain (bangsa Palestina), dengan cara apa pun.
Termasuk pembantaian, penghancuran, perang, teror, hasutan, dan kampanye
kebohongan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar