Sumber
Energi
Peredaran
Gelap Narkotika di Indonesia
Anang Iskandar ; Dosen Universitas Trisakti;
Ka BNN 2012-2015;
Kabareskrim 2015-2016
|
MEDIA
INDONESIA, 28 Desember 2017
DIAM-DIAM sebenarnya,
setiap proses penegakan hukum dengan melakukan penahanan terhadap penyalah
guna narkotika lalu berujung pada vonis penjeblosan dalam penjara justru
menjadi sorotan masyarakat. Bukan itu saja, bahkan menjadi pertanyaan di akar
rumput.Sebabnya ialah itu semua bertentangan dengan tujuan dari lahirnya
Undang-Undang Narkotika. Bahkan ditengarai, itu justru bisa menjadi sumber
energi dalam berkembangnya peredaran gelap narkotika di Indonesia. Lontaran
pertanyaan dan pernyataan itu muncul karena adanya tarik-menarik antara upaya
hukum dan upaya kesehatan, khususnya dalam penanganan penyalahguna narkotika.
Terlebih lagi selalu saja berujung pada menangnya penegakan hukum dengan
criminal justice system-nya sehingga bermuara dengan dijebloskannya penyalah
guna ke penjara.
Fakta itu semua tentunya
mengabaikan prinsip khusus penegakan hukum yang terintegrasi dengan upaya
pemulihan kesehatan. Ini yang justru menjadi rohnya dari UU Narkotika kita,
bahkan yang menjadi cita-cita bangsa Indonesia serta bangsa-bangsa di dunia.
Secara yuridis, sebenarnya
Indonesia telah menganut sistem pemidanaan rehabilitasi terhadap penyalah
guna. Yaitu sejak pemerintah menyetujui Konvensi Tunggal Narkotika 1961
beserta protokol yang mengubahnya menjadi UU No 8/1976 tentang Pengesahan
Konvensi Tunggal tentang Narkotika 1961 beserta protokol yang mengubahnya.
UU No 8/1976 itu
mengintegrasikan pendekatan penegakan hukum dan upaya kesehatan. Bentuknya
dengan sistem pemidanaan rehabilitasi dalam menangani penyalah guna narkotika.
Selanjutnya Undang-Undang No 8/1976 ini menjadi sejenis ‘UUD’ kita dalam
penanganan masalah narkotika di Indonesia di kemudian harinya. Berdasarkan UU
tersebut juga, akhirnya dibuatlah UU Narkotika Indonesia. Mulai UU Narkotika
Tahun 1976, kemudian diubah dengan UU Narkotika Tahun 1997, dan terakhir
menjadi UU No 35/2009 tentang Narkotika.
Perspektif dari ketiga UU
narkotika tersebut sebenarnya sama persis dengan induknya, khususnya dalam
menangani penyalah guna narkotika, yaitu mengintegrasikan pendekatan
penegakan hukum dan upaya kesehatan. Perspektif UU No 35/2009 tentang
Narkotika yang berlaku sekarang ini juga mengintegrasikan pendekatan
penegakan hukum dengan upaya pemulihan. Atau dengan kata lain, menggunakan
double track system pemidanaan, yaitu khusus terhadap pengedar dan
kelompoknya, menggunakan criminal justice system (CJS) dan bermuara pada
pidana penjara. Terhadap penyalah guna dan kelompoknya, menggunakan
rehabilitation justice system (RJS), yaitu proses pertanggungjawaban secara
kriminal, penghukumannya keluar dari penghukuman kriminal menjadi penghukuman
nonkriminal.
Politik
hukum penanganan
Secara khusus, politik
hukum dalam menangani penyalah guna narkotika ialah, pertama, melindungi dan
menyelamatkan bangsa Indonesia dari penyalahgunaan narkotika. Kedua, menjamin
pengaturan upaya rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial bagi penyalah
guna dan pecandu. Itu semua tertuang dalam pasal tujuan dibentuknya UU
narkotika. Oleh karena itu, penyalah guna narkotika, bila bermasalah dengan
hukum, ditangkap dan diproses secara kriminal. Namun, upaya paksa yang
dilakukan penegak hukum tidak boleh ‘menahan’ maupun ‘memvonis penjara’,
tetapi diberi alternatif upaya paksa berupa penempatan di lembaga
rehabilitasi. Demikian juga penjatuhan hukumannya, keluar dari penghukuman
pidana, menjadi nonpidana yaitu berupa hukuman rehabilitasi.
Selaras dengan politik
hukum dalam menangani penyalah guna narkotika itu, UU No 35/2009 menyatakan
bahwa ‘narkotika itu obat tapi dapat menimbulkan penyakit ketergantungan jika
dikonsumsi tanpa resep dokter’. Di titik itu, orang yang sakit ketergantungan
karena menyalahgunakan, mengonsumsi narkotika ini, diancam dengan pidana
penjara maksimal 4 tahun. Sementara itu, berdasarkan hukum acara pidana
(Pasal 21 KUHAP), tersangka yang diancam dengan hukuman di bawah 5 tahun,
sepanjang proses pertanggungjawaban pidananya sampai di pengadilan, tidak
memenuhi syarat untuk dilakukan upaya paksa berupa penahanan.
Lalu berdasarkan PP No
25/2011 sebagai turunan UU Narkotika Indonesia, yang bertujuan menjamin
pengaturan upaya rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial bagi penyalah
guna dan pecandu, untuk mewujudkan tujuan UU tersebut, penyidik, penuntut
umum, dan hakim diberi kewenangan menempatkan penyalah guna ke lembaga rehabilitasi
pada semua tingkat pemeriksaan baik di tingkat penyidikan, penuntutan, maupun
pemeriksaan pengadilan. Kewenangan ini merupakan konstruksi dari UU narkotika
dengan RJS-nya. Tujuannya tentu saja berguna untuk menghindarkan tersangka
penyalah guna ditahan maupun tidak ditahan, tapi direhabilitasi. Itu
sekaligus sebagai bentuk jaminan dari UU bahwa penegak hukum hanya boleh
menggunakan upaya paksa berupa rehabilitasi. Atau dengan kata lainnya,
penegak hukum hanya boleh melakukan tindakan dan penghukuman berupa
rehabilitasi.
Konstruksi RJS dalam UU
narkotika Indonesia lainnya ialah kepada para hakim di pengadilan. Para hakim
itu khusus diberi kewenangan yang sifatnya wajib terhadap perkara-perkara
penyalah guna dan dalam keadaan ketergantungan. Atau yang disebut juga
sebagai perkara pecandu, untuk menghukum rehabilitasi baik terbukti bersalah
maupun tidak terbukti bersalah dalam sidang pengadilan. Bobot hukuman
rehabilitasi itu sendiri sebenarnya sama dengan hukuman penjara. Ini adalah
proses RJS. Di titik ini, kerap kali terlihat dan ada kesan bahwa penegak
hukum merasa UU-nya ambigu sehingga mereka kurang sreg. Praktiknya? Apa lagi.
Tambah jauh panggang dari api. Penyalah guna yang ditangkap penegak hukum
‘ditahan’ pada seluruh tingkat pemeriksaan.
Untuk dapat ditahan
di-‘juncto’-kan dengan pasal pengedar. Padahal, tujuan UU ialah untuk
melindungi, menyelamatkan, serta menjamin rehabilitasi medis dan rehabilitasi
sosial. Pada poin ini perlu dicermati agar penegakan hukum justru seharusnya
berada di jalur yang sesuai dengan undang-undang yang sudah berlaku. Bukan
itu saja, ketika sampai meja hijau, hakim juga menambahkan bebannya dengan
cara memberikan vonis hukuman penjara. Ini berlanjut terus hingga masa kini.
Meski tidak dimungkiri juga, ada beberapa nama beken yang sudah mendapatkan
hukuman rehabilitasi. Sebut saja Ridho Rhoma, Ello, dan Restu Sinaga oleh
beberapa pengadilan negeri di Jakarta. Akan tetapi, bagaimana dengan nama
yang tidak beken alias masyarakat umum, yang terjerat sebagai penyalah guna
narkotika? Lalu mereka hingga saat ini justru masih dijebloskan dalam
penjara?
Indikator
penyalah guna
Padahal, indikator
penyalah guna itu kasatmata. Sederhana saja, yaitu mereka yang kedapatan
memiliki narkotika dalam jumlah tertentu (jumlahnya sedikit) untuk keperluan
sehari-hari dan mereka membelinya untuk dikonsumsi. Jadi bukan untuk dijual.
Tujuan mereka tidak mencari keuntungan.
Maka dalam kacamata
victimologi, mereka sebenarnya merupakan korban dari kejahatan narkotika.
Pemahaman ini yang seharusnya terus terlontar dan dikampanyekan sehingga awam
mudah membedakan, mana pengedar dan mana penyalah guna. Hingga menjadi jelas
dan tegas, mana yang harus dihukum berat dan mana yang dihukum rehabilitasi.
Lagi pula, itu semua sudah
terpaparkan dengan jelas dan tegas, pasal demi pasal dari UU narkotika yang
sudah berlaku. Menjadi pertanyaan jika kemudian paparan itu sulit terpahami.
Pemicu
Permasalahan lain yang
timbul akibat penahanan karena mendapat vonis pemenjaraan terhadap penyalah
guna ialah menjadi pemicu ‘kriwikan dadi grojokan’ atau hal kecil yang bisa
jadi masalah besar. Konkretnya hal itu justru dapat menjadi energi yang tak
kunjung padam bagi suburnya peredaran gelap narkotika di Indonesia. Sebab,
pertama, penyalah guna tidak sembuh. Mereka bakal tetap menjadi demand
peredaran gelap narkotika. Apalagi demand-nya justru berkumpul di LP sehingga
LP menjadi sasaran bagi lokasi bisnis narkotika yang menggiurkan. Pada
kondisi inilah, LP justru menjadi tak berdaya menghadapi para penyuplai kebutuhan
penyalah guna yang dipenjara itu.
Kedua, jumlah penyalah
guna meningkat dari waktu ke waktu. Semua karena penyalah guna lama justru
tidak direhabilitasi. Dengan itu malah menimbulkan penyalah guna baru
sehingga kebutuhan akan narkotika semakin besar. Di titik ini, pemain
narkotika semakin banyak untuk kemudian menjadi penyuplainya. Titik ini juga
mengakibatkan bisnis narkotika justru bertambah besar. Ketiga, mematikan
upaya penyembuhan atau rehabilitasi secara mandiri yang menjadi tanggung
jawab dari keluarga, serta program wajib lapor ke institusi penerima wajib
lapor (IPWL) yang dilakukan Kemenkes, Kemensos, dan BNN untuk mendapatkan
kesembuhan.
Pada poin ini, meskipun
diiming-imingi bahwa telah dibiayai pemerintah dan diberi bonus tidak
dituntut pidana oleh UU, masyarakat justru tetap takut. Sebabnya ialah
pengalaman komunal dari masyarakat selama ini, yaitu ‘jika berhubungan dengan
hukum, yaitu mengikuti jalur criminal justice system, malahan diperlakukan
seperti kriminal’. Keempat, instansi pemerintah yang menyelenggarakan fungsi
rehabilitasi menjadi terkendala karena tidak adanya input baik input dari
sumber rehabilitasi yang bersifat mandiri, wajib lapor, maupun dari keputusan
hakim meskipun secara kuantitas dari tahun ke tahun bertambah banyak jumlahnya.
Penegakan
hukum vs upaya kesehatan
Tarik-menarik praktik
penegakan hukum yang bermuara ke penjara, dengan penegakan hukum bermuara di
tempat rehabilitasi dalam penanganan narkotika, mulai terasa lebih keras awal
abad ini. Praktik tarik-menarik penanganan penyalah guna yang mestinya
bermuara di tempat rehabilitasi ternyata lebih kuat tarikannya dengan
muaranya ke penjara. Hal ini sebenarnya justru berdampak signifikan pada
upaya pemulihan kesehatan penyalah guna sehingga menjadi terkendala, baik secara
mandiri maupun upaya pemulihan kesehatan melalui wajib lapor. Karena itu,
upaya pemulihannya bagai ‘hidup segan mati tak mau’. Di sisi inilah,
Indonesia justru malah menghasilkan generasi sakit tanpa penyembuhan.
Dampak lain ialah
terjadinya berbagai masalah. Baik dalam pembangunan infrastruktur
rehabilitasi maupun pengelolaan infrastruktur LP. Pembangunan infrastruktur
LP seperti deret hitung, sedangkan pertambahan jumlah penyalah guna yang
menghuni LP seperti deret ukur. Hasilnya justru menjadikan LP overload.
Penghuninya sebagian besar orang sakit adiksi dengan gangguan kejiwaan
bersifat stimulan, halusinogen, maupun depresan. Kondisi ini tentu saja
membahayakan LP itu sendiri dan memperparah kondisi penghuninya, khususnya
penyalah guna yang dijebloskan ke penjara.
Dampak lain ialah pudarnya
‘semangat’ dari aparat pengemban fungsi rehabilitasi, yaitu Kemenkes,
Kemensos, dan BNN dalam menangani rehabilitasi. Sebabnya ialah penyalah guna
mandiri menjadi takut tertangkap penegak hukum ketika berobat sehingga
rehabilitasi mandiri tidak laku. Demikian juga rehabilitasi dari sumber wajib
lapor untuk sembuh juga dihantui rasa takut tertangkap penegak hukum.
Sebabnya juga secara empiris, diproses secara kriminal murni dan vonisnya
dipenjara sehingga fungsi rehabilitasi menjadi tidak berkembang. Dampak
akhirnya tentu saja sudah bisa terbayangkan sekarang ini. Konkretnya,
Indonesia berpenduduk besar dengan jumlah penyalah guna sekitar 5,8 juta,
tapi hanya memiliki satu rumah sakit yang benar-benar mengurusi ketergantungan
obat (RS KO) di bawah Kemenkes serta hanya memiliki tujuh lokasi rehabilitasi
narkotika di bawah BNN, yang daya tampungnya sendiri kini sudah tidak
memadai. Terlebih lagi jika dibandingkan dengan jumlah prevalensi penyalah
guna.
Untung
rugi
Pada akhirnya, dengan data
dan fakta di atas, Indonesia sendiri yang merugi. Khususnya jika praktik
penegakan hukum atas penyalah guna dengan menggunakan CJS serta diganjar
hukuman penjara. Bahkan, meskipun penyalah guna telah menjalani hukuman
dijebloskan dalam penjara itu, mereka justru tidak sembuh dari penyakit
adiksi atau ketergantungan obat. Mengingat di penjara itu justru mereka tidak
direhabilitasi bahkan malah disatukan dengan tahanan serupa atau berbeda
lainnya sehingga selama dan setelah dipenjara, mereka masih berstatus pecandu
atau penyalah guna dalam keadaan ketergantungan serta berakibat masih menjadi
demand-nya peredaran gelap narkotika.
Di lain pihak, negara
justru telah mengeluarkan biaya yang sangat besar, mulai prosesi penegakan
hukum pada setiap tingkat pemeriksaan, baik dalam proses penyidikan,
penuntutan, maupun proses peradilan, hingga biaya menghukum penjara sesuai
dengan lamanya putusan hakim. Lalu sebenarnya apa manfaat dari menghukum
penjara penyalah guna yang notabene pecandu? Alih-alih memberantas narkotika,
dengan menghukum penjara justru malah menambah energi untuk berkembangnya
bisnis narkotika di Indonesia. Maka pertanyaannya, kenapa kita harus menguras
tenaga dan membuang biaya besar jika hanya malah menghasilkan generasi tidak
sehat selama dan setelah keluar dari penjara? Bukankah itu namanya keliru? Itu nama ‘keliru’. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar