Tahun,
Tahan, dan Hantu
Lasarus Jehamat ; Dosen Sosiologi FISIP Undana Kupang
|
MEDIA
INDONESIA, 27 Desember 2017
SAAT akhir tahun telah
tiba. Hiruk-pikuk manusia, baik sebagai makhluk individu maupun sebagai
entitas sosial, perlahan-lahan menuju akhir. Sebuah akhir yang temporer dan
bukan purna. Disebut temporer karena akhir tahun hanyalah sebuah masa di saat
kita mempersiapkan segala sesuatu untuk sesuatu yang baru pula.
Karena sifatnya yang
demikian, permenungan di ruang asketik laik dilakukan dan wajib. Renung
berarti memeriksa semua hal terkait dengan kehidupan diri dan sosial kita.
Entitas Indonesia harus bisa memeriksa semua hal terkait dengan kehidupan
berbangsa dan bernegara. Permenungan harus dilakukan agar di tahun yang baru
nanti, sebagai bangsa, kita tidak seperti keledai dungu yang jatuh di lubang
yang sama. Dalam kerangka itu kita wajib menyebut tahan dan harus menyertakan
hantu. Sebabnya sangat sederhana. Sebagai sebuah bangsa, beragam soal dan
masalah kerap menyertai perjalanan bangsa ini selama tahun berjalan. Daya
tahan kita sebagai sebuah bangsa memang tengah diuji oleh ulah kita sendiri
dalam berbagai aspek.
Dua
realitas
Dalam Menulis Politik, RI
sebagai Utopia, Kleden (2001) pernah menyitir bahwa dunia ini memiliki dua
realitas, realitas simbolis dan sosial. Aturan dan hukum wujud dari dunia
simbolis itu, sedangkan praktik aturan dan hukum bagian dari realitas sosial.
Das sollen das sein dalam bahasa filsafat. Dua dunia ini memiliki
rasionalitas dan argumentasi masing-masing. Semuanya mengarah ke satu tujuan.
Kemaslahatan umat manusia. Kebahagiaan dan kesejahteraan masyarakat.
Yang ingin disampaikan
Kleden sebetulnya soal tumpukan aturan di ruang-ruang dan gedung bertingkat,
tetapi aturan itu ternyata tidak berjalan di ruang sosial. Keinginan di dunia
ideal tidak berjalan liner dengan yang dipraktikkan di dunia sosial. Menurut
Kleden, hal itu disebabkan kita terlampau sibuk mengutak-atik aturan di dunia
ideal tetapi tidak mempraktikkan aturan itu di dunia sosial.
Akibatnya, RI menjadi
negara utopia. Negara angan-angan. Utopia adalah hantu itu sendiri. Kleden
mewanti para pengambil kebijakan di republik ini untuk tidak hanya terjebak
dalam menghasilkan banyak aturan. Setumpuk aturan yang dibuat menjadi sia-sia
jika aturan itu tidak dipraktikkan di level sosial.
Dalam banyak kasus,
perubahan itu sendiri bisa saja disebut hantu. Orang menyebutnya hantu
perubahan. Disebutkan demikian karena setiap perubahan selalu memunculkan
akibat lanjutan, entah positif dan bisa juga negatif. Semua yang memiliki
iman pasti mengatakan bahwa Roh Absolut yang disebut Tuhan itu menginginkan
manusia yang diciptakan-Nya bisa berubah ke arah yang lebih baik dengan cara
yang sangat manusiawi. Pernyataan ini bermakna bahwa siapa pun harus berjalan
dalam koridor yang telah dibuat dan disepakati bersama agar perubahan itu
mendatangkan kebahagiaan dan bukan mengarah ke hal-hal negatif. Di sini titik
lemah kita sebagai manusia individu dan elemen sosial kita. Kita gemar
menyebut perubahan, tetapi tetap pula memegang teguh status quo.
Hantu
sosial politik
Kita hidup di dunia
sosial. Dunia sosial kita nyaris dipenuhi hantu. Ini yang harus diakui.
Membaca pemberitaan media dan melihat langsung realitas sosial, sulit untuk
tidak mengatakan bahwa hantu bergentayangan di mana-mana dan di hampir setiap
aspek, agama, politik, keluarga, negara, pendidikan, dan beberapa lembaga
lain. Di ruang agama, hantu tidak hanya muncul dalam narasi besar keselamatan
jiwa yang sering disampaikan elite agama. Ketika agama dan elite agama
menutup mata dan menyumbat telinga dengan realitas kemiskinan umat, hantu
agama muncul di situ. Hantu agama bisa hilang jika uang yang masuk ke kas
gereja, misalnya, dipakai untuk kesejahteraan umat beragama.
Ketika politik diisi
dengan beragam janji, hantu politik mulai muncul. Elite politik yang ingin
mendapatkan kekuasaan jelas menjanjikan sesuatu yang baik kepada rakyatnya.
Fakta menunjukkan sampai hari ini, kita semua terjebak dalam kemiskinan.
Di ruang politik lokal,
pilkada memang bukanlah hantu saat ini. Sebab, pilkada memang sungguh-sungguh
dilakukan. Akan tetapi, tahukah kita bahwa pilkada sebenarnya menyimpan hantu
sekaligus? Pilkada menjadi hantu manakala diisi dengan beragam janji politik
tanpa bukti.
Masyarakat akhirnya lelap
tertidur karena janji itu. Hantu di titik ini bisa menyebabkan kita semua
tidak sadar diri. Toh buah akhir pilkada hanya menguntungkan satu dua elite
kekuasaan. Banyak orang gigit jari atas pilkada itu.
Indonesia akan memasuki
tahun politik. Aroma persaingan dalam arena politik terus menghiasi wajah
sosial Indonesia. Semua pihak wajib waspada. Waspada mungkin bukan karena
ketidaktenangan republik. Waspada karena, bukan tidak mungkin, hantu yang
disebutkan di atas, di berbagai level kehidupan, segera berubah menjadi
kenyataan.
Berkaitan dengan tahun
politik, hantu utama bangsa kita adalah keterpecahan sosial. Sebagai entitas
politik, hantu dasarnya adalah beragam janji kampanye dari mereka yang akan
berkontestasi. Mempraktikkan aturan dan membumikan beragam nilai menjadi
sebuah keniscayaan. Negara tidak cukup melahirkan banyak aturan. Kita menjadi
bangsa yang bisa bertahan hidup jika negara dalam diri elite negara dan
kekuasaan mempraktikkan aturan itu di masyarakat. Tanpa itu, Indonesia tetap
menjadi utopia, hantu sosial, politik, agama, dan negara terus membayangi
kita. Itulah makna tahun, tahan, dan hantu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar