Mengapa
Penenggelaman Kapal
Perlu
(Tetap) Dilakukan?
Yudhistira Rizky Abdillah ; Pengawas Perikanan dan Penyidik Pegawai Negeri
Sipil Perikanan pada Kementerian Kelautan dan Perikanan; Saat ini sedang
melaksanakan studi Master of Fisheries Policy di University of Wollongong,
Australia
|
DETIKNEWS,
10 Januari
2018
Penenggelaman kapal
perikanan asing (KIA) ilegal menjadi isu yang diperdebatkan beberapa hari
terakhir. Menko Kemaritiman meminta penenggelaman kapal tidak perlu lagi
dilakukan, di sisi lain banyak pihak mendukung penenggelaman kapal untuk
memberikan efek jera bagi nelayan asing pelaku illegal fishing.
Penenggelaman KIA ilegal
sudah diatur pada Pasal 69 ayat (4) UU Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan
Atas UU 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, sehingga secara hukum tindakan
penenggelaman kapal adalah tindakan yang sah dan tidak perlu diperdebatkan.
Selain faktor legalitas, terdapat beberapa alasan baik dari segi teknis
perikanan dan teknis operasional mengapa penenggelaman kapal perlu dilakukan.
Masalah
Global
Illegal, Unreported and
Unregulated (IUU) Fishing bukan hanya masalah yang dialami oleh Indonesia,
tetapi merupakan masalah global yang dialami banyak negara. IUU Fishing
mengakibatkan penangkapan berlebih (overfishing) dan menurunnya stok ikan
global, sehingga dapat mengancam ketahanan pangan.
Riset menunjukkan bahwa
kerugian global akibat illegal fishing diperkirakan mencapai kisaran $ 10
miliar hingga $ 23 miliar dollar. Selain itu berdasarkan laporan WWF tahun
2015, 86% dari total stok perikanan tangkap dunia berisiko dari kegiatan IUU
Fishing.
KIA yang melakukan illegal
fishing di Indonesia sendiri kebanyakan menggunakan alat tangkap merusak
seperti trawl sehingga dapat merusak lingkungan sumber daya ikan. Oleh karena
itu, adalah keniscayaan bagi setiap negara termasuk Indonesia untuk
melindungi wilayah lautnya dari kegiatan IUU Fishing dengan berbagai cara.
Keterbatasan
Sumber Daya
Berkaitan dengan
perlindungan laut dari kegiatan IUU Fishing, Indonesia memiliki keterbatasan
sumber daya untuk mengawasi seluruh WPP-NRI —meliputi perairan pedalaman,
perairan kepulauan, laut teritorial hingga Exlusive Economic Zone (ZEE)— baik
jumlah kapal patroli maupun anggaran untuk pelaksanaan patroli pengawasan.
Sementara itu, setiap
harinya terdapat puluhan KIA berada di WPP-NRI, terutama di ZEE, di mana
kapal asing memiliki kebebasan navigasi. Sehingga dengan keterbatasan sumber
daya yang dimiliki, penenggelaman KIA ilegal perlu dilaksanakan dalam situasi
dan kondisi tertentu.
Teknis
Operasional Patroli
Secara teknis operasional
patroli, satu kapal patroli memiliki kemampuan meng-adhock atau mengawal 5-6
kapal tangkapan, karena perlu ditempatkan petugas pada kapal tangkapan untuk
melakukan pengawalan. Sementara itu KIA pelaku illegal fishing biasanya
bergerombol mencapai puluhan kapal, sehingga mustahil untuk hanya menangkap 5
kapal dan membiarkan puluhan kapal lainnya menguras sumber daya ikan kita.
Selain itu, jarak ZEE yang
mencapai 200 mil dari garis pangkal serta kondisi kapal tangkapan juga
menjadi faktor yang harus dipertimbangkan. Daripada kapal patroli hanya
menangkap 5-6 kapal yang mungkin kondisinya sudah tidak layak dan tidak
memungkinkan untuk dibawa ke pelabuhan dalam jarak ratusan mil, lebih baik
menenggelamkan secara seketika puluhan KIA tersebut dengan menyisakan
beberapa kapal untuk langsung memulangkan ABK-nya ke negara asal. Cara ini
lebih efisien sekaligus tidak menimbulkan protes dari negara bendera karena
para ABK yang menjadi perhatian utama mereka segera dipulangkan.
Denda
yang Tak Terbayarkan
UNCLOS secara tegas
mengatur bahwa terhadap orang asing yang melakukan tindak pidana perikanan di
ZEE tidak diperbolehkan untuk dilakukan penahanan atau hukuman badan lainnya.
Sehingga, kita hanya dapat menghukum nelayan asing pelaku illegal fishing di
ZEE dengan pidana denda.
Namun, pidana denda yang
dijatuhkan terhadap para nelayan asing tersebut sebagian besar tidak
terbayarkan karena mereka memang tidak memiliki uang untuk membayar denda
ratusan juta bahkan miliaran rupiah. Hal ini tidak akan menimbulkan efek jera
bagi para pelaku illegal fishing, sehingga penenggelaman kapal dapat menjadi
alternatif penegakan hukum yang lebih memberikan efek jera.
Amanat
Undang-undang
Ketentuan Pasal 69 ayat
(4) UU Perikanan tegas memberikan kewenangan khusus kepada penyidik dan/atau
pengawas perikanan untuk melakukan pembakaran dan/atau penenggelaman KIA
berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Oleh karena itu, tidak tepat jika
pelaksanaan kewenangan khusus tersebut dilarang, karena terdapat situasi dan
kondisi teknis tertentu yang menjadi pertimbangan penyidik dan/atau pengawas
perikanan untuk membakar atau menenggelamkan KIA pelaku illegal fishing.
Namun, terhadap KIA yang
kondisinya masih bagus atau membawa ikan tangkapan yang memiliki nilai
ekonomis tinggi sebaiknya tidak perlu ditenggelamkan karena kapal masih dapat
dimanfaatkan untuk kapal latih di akademi-akademi atau sekolah perikanan, dan
ikan sitaan dapat dilelang menjadi pemasukan untuk kas negara.
Protes
yang Tidak Tepat
Ramai diberitakan bahwa penenggelaman
kapal menimbulkan protes dari negara lain. Sebaiknya kita tidak perlu ragu
melakukan penenggelaman kapal karena kapal yang ditenggelamkan adalah sarana
yang digunakan untuk melakukan kejahatan illegal fishing, dan tindakan
tersebut merupakan salah satu usaha negara melindungi sumber daya ikannya.
Terhadap negara yang
memprotes pelaksanaan penenggelaman kapal lebih baik mengedukasi dan mencegah
nelayannya untuk tidak terus menerus melakukan illegal fishing di Indonesia,
karena sesuai dengan International Plan of Action to Prevent, Deter and
Eliminate IUU Fishing (IPOA-IUUF), setiap negara wajib memastikan armada
perikanan miliknya tidak mendukung atau terlibat dalam IUU Fishing. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar