Senin, 08 Januari 2018

Penegakan Hukum Penuh Aib dan Drama

Penegakan Hukum Penuh Aib dan Drama
Suparman Marzuki ;  Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia
                                                      KOMPAS, 03 Januari 2018



                                                           
Sepanjang tahun 2017, Indonesia riuh rendah dengan aib dan drama penegakan hukum yang dipentaskan oleh aparat penegak hukum dan pelaku korupsi. Tak heran jika kasus-kasus hukum yang terjadi selama tahun lalu ada yang dijadikan candaan (dalam bentuk meme satir) di media sosial oleh masyarakat, tidak terkecuali oleh anak-anak muda harapan masa depan bagi bangsa ini.

Penegakan hukum yang seharusnya dijalankan dengan tenang di atas prinsip-prinsip obyektif, transparan, dan akuntabel—sebagaimana diatur dalam hukum acara dan kode etik profesi setiap penegak hukum—malah gaduh dan bising yang dilakukan dengan motif dan cara-cara yang tidak sejalan dengan hukum itu sendiri.

Penetapan sejumlah orang sebagai tersangka pelaku tindak pidana makar, pencemaran nama baik, perbuatan porno, persekusi, dan lain-lain lalu berhenti sampai di situ (penetapan sebagai tersangka), tak pelak mengundang spekulasi bahwa langkah penegakan hukum yang demikian itu motifnya untuk balas dendam, menyandera, atau ”menenangkan” (membungkam) suara-suara kritis. Jadi, jangan salahkan mereka yang berpendapat bahwa langkah tersebut sama sekali bukan untuk merealisasikan tujuan hukum, yaitu kepastian, kemanfaatan, dan keadilan.

Kalau itu benar, berarti bedanya dengan Orde Baru hanya sedikit pada cara. Orde Baru membungkam suara kritis dengan senjata dan undang-undang subversif, maka sekarang ”ditenangkan” dengan undang-undang. Kalau itu benar (sekali lagi), berarti negara (sadar atau tidak) sedang mendorong dirinya perlahan-lahan ke jalur berbahaya: kembali ke otoritarian. Kalau toh tidak sejauh itu, tetap saja tidak bisa dibenarkan menegakkan hukum di luar kepentingan keadilan, kepastian, dan kemanfaatan demi kemanusiaan yang adil dan beradab.

Perlawanan kepada KPK

Selama tahun 2017 wewenang dan tugas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam memberantas tindak pidana korupsi masih terus dihadang oleh perlawanan keras dari pihak-pihak yang terancam tergulung oleh KPK.

Gerakan perlawanan di tahun 2017 bahkan lebih besar, konkret, dan bergelombang dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Hal itu baik yang dilakukan oleh orang per orang selaku tersangka, terdakwa, narapidana, institusi luar, maupun pihak-pihak lain dengan agenda tertentu, dilakukan serempak dalam waktu hampir bersamaan yang membuat KPK limbung dan nyaris lumpuh.

Penganiayaan berat terhadap penyidik senior KPK, Novel Baswedan, adalah usaha paling nyata pelumpuhan KPK. Sayang sekali hingga memasuki delapan bulan sejak peristiwa penyiraman air keras itu terjadi (11 April 2017), penegakan hukum oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) dalam mengusut, mengungkap, dan menangkap pelaku belum menunjukkan indikasi berhasil. Sangat kontras dengan keandalan Polri menegakkan hukum mengungkap pelaku dan jaringan teroris serta pelaku dan jaringan narkoba yang secara teoretis merupakan kejahatan terorganisasi yang tak mudah diungkap.

Keinginan, desakan, dan permohonan sejumlah kalangan agar Presiden membentuk Tim Independen Pencari Fakta tampaknya tidak akan terwujud karena Presiden masih percaya kepada Polri. Kita tentu berharap Polri merespons kepercayaan Presiden itu dengan segera menangkap pelaku dan tidak lagi mengeluarkan sketsa wajah untuk ketiga kalinya.

Drama

Penetapan Setya Novanto (SN) sebagai tersangka tindak pidana korupsi KTP elektronik (KTP-el) telah memunculkan catatan tersendiri dalam penegakan hukum di tahun 2017. Betapa tidak! Yang bersangkutan adalah politisi senior, Ketua DPR, sekaligus ketua umum dari salah satu partai besar dan berpengaruh di Indonesia: Partai Golkar!

Pada bagian lain, penetapan SN sebagai tersangka membuktikan KPK masih bisa menjalankan wewenang dan tugasnya sekalipun digempur habis-habisan dalam menangani perkara ini. Akan tetapi, di sisi lain, tindakan SN yang beberapa kali mangkir dari pemeriksaan KPK selaku saksi dan tersangka kontras dengan posisinya sebagai pejabat negara dan pemimpin partai besar yang seharusnya menunjukkan ketaatan terhadap proses hukum, sebagaimana ia sering katakan dalam pelbagai kesempatan.

Peristiwa sakit dan dirawatnya SN di sebuah rumah sakit setelah ditetapkan sebagai tersangka yang pertama, lalu terjadi kecelakaan (menabrak tiang listrik) setelah menjadi tersangka untuk kedua kalinya, tak pelak mengundang antipati masyarakat. Tentu ini sangat merugikan SN sendiri karena semua itu dinilai publik sebagai drama untuk menghindari penegakan hukum.

Lebih-lebih pernyataan penasihat hukumnya yang begitu dramatis tentang akibat dari kecelakaan itu, yang berbeda dengan kenyataan, meski mungkin saja SN benar-benar sakit dan sungguh-sungguh kecelakaan, tetapi malang tak dapat ditolak untung tak dapat diraih, publik sudah telanjur tak percaya.

SN yang relatif saya kenal akan legawa, sabar, dan besar jiwa menghadapi kasus itu dengan kesatria menghadapi persidangan. Namun, sangat disayangkan peristiwa berulang sehingga persidangan tidak berjalan lancar, dan kembali merugikan SN. Lebih disayangkan lagi kalau penasihat hukum SN tidak menasihati kliennya untuk menjalani persidangan dengan baik dan mengingatkan konsekuensi-konsekuensi hukum dari tindakan tidak kooperatif atau menyulitkan proses persidangan.

Kehadiran penasihat hukum merupakan hak terdakwa untuk memastikan proses peradilan berjalan adil dan hak-hak hukum terdakwa dipenuhi, dilindungi, dan dijalankan sesuai hukum acara pidana. Posisi penasihat hukum adalah kemudi atas kliennya dalam perkara itu karena penasihat hukumlah yang ahli dan mengerti hukum meskipun semua langkah hukum penasihat hukum atas sepengetahuan dan sepersetujuan klien.

Kita berharap penegakan hukum di masa mendatang tak lagi penuh aib dan drama. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar