Penegakan
Hukum Penuh Aib dan Drama
Suparman Marzuki ; Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam
Indonesia
|
KOMPAS,
03 Januari
2018
Sepanjang tahun 2017,
Indonesia riuh rendah dengan aib dan drama penegakan hukum yang dipentaskan
oleh aparat penegak hukum dan pelaku korupsi. Tak heran jika kasus-kasus
hukum yang terjadi selama tahun lalu ada yang dijadikan candaan (dalam bentuk
meme satir) di media sosial oleh masyarakat, tidak terkecuali oleh anak-anak
muda harapan masa depan bagi bangsa ini.
Penegakan hukum yang
seharusnya dijalankan dengan tenang di atas prinsip-prinsip obyektif,
transparan, dan akuntabel—sebagaimana diatur dalam hukum acara dan kode etik
profesi setiap penegak hukum—malah gaduh dan bising yang dilakukan dengan
motif dan cara-cara yang tidak sejalan dengan hukum itu sendiri.
Penetapan sejumlah orang
sebagai tersangka pelaku tindak pidana makar, pencemaran nama baik, perbuatan
porno, persekusi, dan lain-lain lalu berhenti sampai di situ (penetapan
sebagai tersangka), tak pelak mengundang spekulasi bahwa langkah penegakan
hukum yang demikian itu motifnya untuk balas dendam, menyandera, atau
”menenangkan” (membungkam) suara-suara kritis. Jadi, jangan salahkan mereka yang
berpendapat bahwa langkah tersebut sama sekali bukan untuk merealisasikan
tujuan hukum, yaitu kepastian, kemanfaatan, dan keadilan.
Kalau itu benar, berarti
bedanya dengan Orde Baru hanya sedikit pada cara. Orde Baru membungkam suara
kritis dengan senjata dan undang-undang subversif, maka sekarang
”ditenangkan” dengan undang-undang. Kalau itu benar (sekali lagi), berarti
negara (sadar atau tidak) sedang mendorong dirinya perlahan-lahan ke jalur
berbahaya: kembali ke otoritarian. Kalau toh tidak sejauh itu, tetap saja
tidak bisa dibenarkan menegakkan hukum di luar kepentingan keadilan,
kepastian, dan kemanfaatan demi kemanusiaan yang adil dan beradab.
Perlawanan
kepada KPK
Selama tahun 2017 wewenang
dan tugas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam memberantas tindak pidana
korupsi masih terus dihadang oleh perlawanan keras dari pihak-pihak yang
terancam tergulung oleh KPK.
Gerakan perlawanan di
tahun 2017 bahkan lebih besar, konkret, dan bergelombang dibandingkan dengan
tahun-tahun sebelumnya. Hal itu baik yang dilakukan oleh orang per orang
selaku tersangka, terdakwa, narapidana, institusi luar, maupun pihak-pihak
lain dengan agenda tertentu, dilakukan serempak dalam waktu hampir bersamaan
yang membuat KPK limbung dan nyaris lumpuh.
Penganiayaan berat
terhadap penyidik senior KPK, Novel Baswedan, adalah usaha paling nyata
pelumpuhan KPK. Sayang sekali hingga memasuki delapan bulan sejak peristiwa
penyiraman air keras itu terjadi (11 April 2017), penegakan hukum oleh
Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) dalam mengusut, mengungkap, dan
menangkap pelaku belum menunjukkan indikasi berhasil. Sangat kontras dengan
keandalan Polri menegakkan hukum mengungkap pelaku dan jaringan teroris serta
pelaku dan jaringan narkoba yang secara teoretis merupakan kejahatan
terorganisasi yang tak mudah diungkap.
Keinginan, desakan, dan
permohonan sejumlah kalangan agar Presiden membentuk Tim Independen Pencari
Fakta tampaknya tidak akan terwujud karena Presiden masih percaya kepada
Polri. Kita tentu berharap Polri merespons kepercayaan Presiden itu dengan
segera menangkap pelaku dan tidak lagi mengeluarkan sketsa wajah untuk ketiga
kalinya.
Drama
Penetapan Setya Novanto
(SN) sebagai tersangka tindak pidana korupsi KTP elektronik (KTP-el) telah
memunculkan catatan tersendiri dalam penegakan hukum di tahun 2017. Betapa
tidak! Yang bersangkutan adalah politisi senior, Ketua DPR, sekaligus ketua
umum dari salah satu partai besar dan berpengaruh di Indonesia: Partai
Golkar!
Pada bagian lain,
penetapan SN sebagai tersangka membuktikan KPK masih bisa menjalankan
wewenang dan tugasnya sekalipun digempur habis-habisan dalam menangani
perkara ini. Akan tetapi, di sisi lain, tindakan SN yang beberapa kali
mangkir dari pemeriksaan KPK selaku saksi dan tersangka kontras dengan
posisinya sebagai pejabat negara dan pemimpin partai besar yang seharusnya
menunjukkan ketaatan terhadap proses hukum, sebagaimana ia sering katakan
dalam pelbagai kesempatan.
Peristiwa sakit dan
dirawatnya SN di sebuah rumah sakit setelah ditetapkan sebagai tersangka yang
pertama, lalu terjadi kecelakaan (menabrak tiang listrik) setelah menjadi
tersangka untuk kedua kalinya, tak pelak mengundang antipati masyarakat.
Tentu ini sangat merugikan SN sendiri karena semua itu dinilai publik sebagai
drama untuk menghindari penegakan hukum.
Lebih-lebih pernyataan
penasihat hukumnya yang begitu dramatis tentang akibat dari kecelakaan itu,
yang berbeda dengan kenyataan, meski mungkin saja SN benar-benar sakit dan
sungguh-sungguh kecelakaan, tetapi malang tak dapat ditolak untung tak dapat
diraih, publik sudah telanjur tak percaya.
SN yang relatif saya kenal
akan legawa, sabar, dan besar jiwa menghadapi kasus itu dengan kesatria
menghadapi persidangan. Namun, sangat disayangkan peristiwa berulang sehingga
persidangan tidak berjalan lancar, dan kembali merugikan SN. Lebih
disayangkan lagi kalau penasihat hukum SN tidak menasihati kliennya untuk
menjalani persidangan dengan baik dan mengingatkan konsekuensi-konsekuensi
hukum dari tindakan tidak kooperatif atau menyulitkan proses persidangan.
Kehadiran penasihat hukum
merupakan hak terdakwa untuk memastikan proses peradilan berjalan adil dan
hak-hak hukum terdakwa dipenuhi, dilindungi, dan dijalankan sesuai hukum
acara pidana. Posisi penasihat hukum adalah kemudi atas kliennya dalam
perkara itu karena penasihat hukumlah yang ahli dan mengerti hukum meskipun
semua langkah hukum penasihat hukum atas sepengetahuan dan sepersetujuan
klien.
Kita berharap penegakan
hukum di masa mendatang tak lagi penuh aib dan drama. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar