Anak
Tiri Bernama Inovasi
Miftah Sabri ; CEO Selasar Indonesia
|
KOMPAS,
02 Januari
2018
Beberapa bulan lalu,
Institut Européen d’Administration des Affaires (Insead), World Intellectual
Property Organization (WIPO), dan Cornell SC Johnson College of Business
meluncurkan Indeks Inovasi Global (The Global Innovation Index) 2017 edisi
ke-10.
Laporan dari proyek
bersama itu menghasilkan pemeringkatan kinerja inovasi dari 127 negara yang
meliputi 97 persen dari produk domestik bruto (PDB) dunia. Tak terlalu jauh
dibandingkan dengan laporan tahun lalu, Swiss berada di posisi puncak. Di
urutan lima besar selanjutnya adalah Swedia, Belanda, Amerika Serikat, dan
Inggris. Satu-satunya negara Asia yang menduduki posisi sepuluh besar adalah
Singapura.
China tampaknya semakin
membuktikan diri sebagai negara pro-inovasi, yakni dengan menyabet posisi
ke-22. Menariknya, ada pula dua negara ASEAN lain yang masuk ke dalam 50
besar, yaitu Malaysia di peringkat ke-37 dan Vietnam di posisi ke-47.
Thailand berada di urutan ke-51 dan Filipina ke-73. Indonesia hanya mampu
mengekor di belakang dengan berada di urutan ke-87 dan mengantongi skor 30,1
alias tidak sampai separuh dari skor tertinggi yang disandang Swiss sebesar
67,7. Di bawah Indonesia ada Kamboja di peringkat ke-101.
Indonesia
vs Vietnam
Jika kita coba bandingkan
perkembangan Indeks Inovasi Global (GII) Indonesia dan Vietnam, hasilnya
tampak agak kurang menggembirakan karena Indonesia ternyata pernah lebih baik
daripada Vietnam. Namun, tahun-tahun ke belakang Indonesia malah disalip.
Posisi Indonesia pada 2007
berada di urutan ke-49 dengan skor 2,71, sedangkan Vietnam di urutan ke-65
dengan skor 2,38 (pada versi awal rentang skor 0-10, kemudian berganti
menjadi 0-100). Lalu, pada 2009-2010, skor Indonesia persis sama dengan
Vietnam, yaitu 2,95, tetapi Vietnam satu peringkat lebih tinggi.
Sejak itu Vietnam melesat
kian meninggalkan Indonesia. Pada edisi terakhir, Vietnam justru telah masuk
50 besar, sementara Indonesia di posisi ke-87. Skor Indonesia 30,10,
sedangkan Vietnam 38,34.
Peringkat dan skor indeks
inovasi dirinci per pilar, di antaranya terkait dengan institusi/kelembagaan,
sumber daya manusia dan penelitian, infrastruktur, tingkat pemutakhiran pasar
dan bisnis, hasil pengetahuan dan teknologi, serta inovasi. Dari semua pilar
tersebut, Indonesia memang tak mampu berbicara banyak di level dunia dan
Asia. Semua pilar rerata ada di posisi 50 ke atas.
Salah satu keunggulan Indonesia
ada di pilar market sophistication menempati posisi ranking ke-62 tahun 2016.
Market sophistication merupakan pilar yang terkait dengan kondisi pasar dan
jumlah transaksi.
Pilar ini terdiri dari
beberapa sub pilar, antara lain credit (kredit); investment (investasi);
serta trade (perdagangan), competition (persaingan) dan market scale (skala
pasar).
Berdasarkan analisis
sederhana diperoleh hasil bahwa letak kekuatan Indonesia ialah pada trade,
competition dan market scale dengan domestic market scale (skala pasar
domestik)-nya sebagai kekuatan utama.
Oleh karena itu, Indonesia
memang perlu memberikan perhatian lebih terhadap bidang perdagangan,
persaingan, dan skala pasar, khususnya skala pasar domestik, jika ingin
meningkatkan pengalaman pasar Tanah Air di kancah global. Semisal dengan
terus mendorong dan memberi kemudahan berinovasi bagi usaha mikro, kecil, dan
menengah (UMKM) yang kreatif dan berkelanjutan yang notabene memang telah
terbukti mampu menopang perekonomian.
Faktor pasar sebenarnya
adalah faktor yang sudah bisa ditebak. Pilar unggulan inovasi Indonesia yang
satu ini berbeda dengan bidang ekonomi. Toh, ekonomi nasional Indonesia
sangat terbantu oleh pasar yang tercatat terbesar kelima di dunia dan oleh
karena itu pula mengapa pertumbuhan ekonomi sangat bergantung pada naik
turunnya tingkat konsumsi rumah tangga, yang kontribusinya berkisar 55
persen.
Dengan kata lain,
keunggulan pasar yang didapat Indonesia bukan semata karena usaha aktif dari
pemerintah atau semua institusi yang terkait dengan kemajuan inovasi
nasional, tetapi memang sudah semestinya secara alamiah demikian.
Lemahnya
kelembagaan
Berlawan dengan itu, pilar
institutions adalah pilar yang selalu terbelakang dari waktu ke waktu. Pada
2016, pilar ini menempati peringkat ke-122 dengan skor 41,6. Tak pelak,
institusi untuk bertumbuh kembangnya inovasi menjadi titik kelemahan
Indonesia secara keseluruhan. Hal itu terlihat jelas dari subpilar lingkungan
politik, peraturan ataupun kebijakan-kebijakan soal bisnis. Hampir tidak ada
daya tarik dan kekuatan dari pilar institusi kelembagaan yang akan mendorong
maju pesatnya inovasi di Tanah Air.
Beberapa hasil analisis
membuktikan bahwa Indonesia masih lemah soal pembebasan kelebihan biaya yang
terkait dengan lingkungan peraturan/regulasi serta lemah pada kenyamanan
dalam memulai bisnis yang terkait dengan subpolar lingkungan bisnis.
Pekerjaan rumah pemerintah mau tak mau adalah segera melakukan pembenahan
kelembagaan ke arah yang lebih kondusif bagi inovasi. Karena, jika dibiarkan
berlarut-larut, tidak tertutup kemungkinan Indonesia akan menjadi negara yang
benar-benar tidak ramah terhadap inovasi dan perubahan di mata dunia dan
masyarakatnya sendiri.
Selain pilar
infrastruktur, Indonesia juga terbilang sangat lemah di pilar business
sophistication yang menempati posisi ke-106 pada tahun lalu. Pilar ini
terkait dengan persoalan sejauh mana kondusifnya suatu perusahaan dalam
melakukan aktivitas berinovasi di sebuah negara. Subpilar yang membentuknya
terdiri dari knowledge workers; innovation kinkages; dan knowledge
absorption.
Kendati peringkat secara
keseluruhan kurang menggembirakan, terkait dengan jaringan inovasi, khususnya
kolaborasi penelitian antaruniversitas dan/atau industri serta dasar dari
pembangunan kluster inovasi, Indonesia terbilang cukup baik. Hal ini menjadi
salah satu pertanda kolaborasi antarlintas bidang ataupun kluster secara
spasial kewilayahan dapat menunjang terciptanya hubungan jaringan inovasi
bisnis.
Kembali ke masalah awal
bahwa Indonesia harus dengan segala upaya mendorong lahirnya inovasi di
berbagai bidang. Inovasi adalah napas perubahan ke arah yang lebih baik.
Tanpa inovasi, perubahan terkadang tak terukur, dan bahkan terbuka peluang
untuk terus mundur.
Mengapa bisa? Karena
faktor institusi. Jaminan politik dan keberpihakan sistem hukum kepada
pelaku-pelaku ekonomi bisnis dan sosial inovatif menjadi kuncinya. Jika
keberpihakan justru minim, bahkan boleh jadi tak ada sama sekali, maka setiap
inovasi muncul, lalu berbenturan dengan tatanan lama, inovasi dipastikan
kalah karena tidak memiliki jaminan hukum dan politik yang jelas.
Risikonya, pemerintah,
sebagaimana yang kerap kita saksikan, kelabakan menengarai relasi konfliktual
antara pelaku-pelaku usaha inovatif dan pemain- pemain lama yang cenderung
sangat gigantis. Walhasil, para pemangku kepentingan (stakeholder), terutama
masyarakat, ikut terjebak di dalamnya, sebagai salah satu pemangku
kepentingan, baik sebagai konsumen maupun pelaku lapangan.
Oleh karena itu, sudah
waktunya politisi-politisi, pemerintah, dan institusi penegak hukum duduk
bersama, berbicara tentang masa depan Indonesia dari perspektif inovasi
nasional. Tujuannya adalah agar segera lahir institusi-institusi yang
benar-benar menyamankan bagi aneka rupa inovasi yang sudah ada dan yang
sedang berproses untuk hadir (terutama regulasi-regulasi,
kebijakan-kebijakan, keberpihakan fiskal, sikap-sikap politik, dan
lain-lain). Semoga. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar