Urbanisasi,
Dana Desa, dan Pertumbuhan Ekonomi
Candra Fajri Ananda ; Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis,
Universitas Brawijaya
|
KORAN
SINDO, 26 Desember 2017
PEMERINTAH perlu jujur
bahwa target pertumbuhan ekonomi kita terlalu berat dicapai untuk saat ini.
Padahal selama era pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi), target yang
dicanangkan tidak lagi setinggi era pemerintahan sebelumnya.
Sepertinya sudah menjadi
sebuah tradisi bahwa target pertumbuhan ekonomi hanyalah hitung-hitungan di
atas kertas. Karena entah bagaimana ceritanya hampir di setiap periode, kita
terus mengalami kesulitan mengejar target yang kita canangkan.
Apakah memang sudah
menjadi sebuah strategi yang disengaja agar stakeholder pemburu pertumbuhan
bisa memompa sumber dayanya secara optimal meskipun nantinya hasilnya akan di
bawah target? Ataukah memang target pertumbuhan ekonomi adalah bidikan yang
pergerakannya selalu liar?
Sepekan yang lalu Menteri
Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani mengatakan bahwa pertumbuhan ekonomi yang
realistis untuk menutup tahun 2017 hanyalah sekitar 5,05%. Angka tersebut
berada di bawah proyeksi World Bank yang memperkirakan pertumbuhan kita akan
mencapai 5,1%.
Menjelang berakhirnya
periode anggaran 2017, gambaran mengenai realisasi indikator pembangunan
perlahan-lahan mulai terpampang secara utuh. Pesimisme Menkeu dapat
disimpulkan sebagai pertanda bahwa realisasi pembangunan ekonomi kita tahun
ini lagi-lagi akan meleset dari target.
Selain berkenaan dengan
target pertumbuhan ekonomi, bidikan lainnya yang sering lepas di bawah
kendali adalah realisasi penerimaan pajak. Pajak menjadi satu aspek yang amat
penting karena memengaruhi sirkulasi sebagian besar belanja negara kita.
Dalam lima tahun terakhir,
penerimaan pajak menopang rata-rata di atas 75% dari keseluruhan penerimaan
negara. Nah tahun ini Menkeu lagi-lagi memperkirakan akan terjadi shortfall
(kurang) sekitar Rp110 triliun–130 triliun.
Jika dirasiokan dengan
total target perpajakan, level realisasi kita tahun ini hanya akan mencapai
sekitar 89,87% hingga 91,4% dari target outlook 2017 sebesar Rp1.283,6
triliun. Efek dari adanya tradisi shortfall ini akan sedikit mengganggu
neraca APBN kita di masa mendatang. Penyebabnya karena kita secara rutin
terpaksa harus berutang untuk menutupi shortfall tersebut.
Nah, bahayanya di masa
mendatang, lagi-lagi kas negara kita akan terpotong sekian persen untuk
membayar jatuh tempo utang beserta bunga-bunganya. Oleh karena itu sangat
wajar jika kita menganggap dari sisi fiskal Indonesia akan mengalami tekanan
fiskal yang lumayan berat (walaupun masih bisa ditoleransi).
Akan tetapi pemerintah
tidak perlu gegabah hingga membabi buta untuk meningkatkan kinerja penerimaan
pajak. Tax ratio kita saat ini memang tertahan di kisaran 10%. Namun pada
saat ini opsi untuk meningkatkan beban (persentase) pajak masih sangatlah
tabu karena perekonomian kita bisa dibilang masih dalam tahap recovery.
Potensi untuk tumbuh dari sisi fiskal masih cukup besar, khususnya untuk
memperluas basis pajak.
Kemenkeu (2017)
menjelaskan bahwa hingga saat ini dari total penduduk Indonesia yang bekerja
yang mencapai 121,02 juta jiwa menurut BPS (2017), baru 36 juta di antaranya
yang memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP). Dari jumlah tersebut baru 16
juta di antara pemilik NPWP yang diwajibkan secara rutin melaporkan surat
pemberitahuan (SPT) pajak. Namun hanya 11,6 juta yang tertib melaporkan
SPT-nya.
Oleh karena itu pemerintah
belum waktunya panik dengan kondisi ini. Lebih baik pemerintah tetap fokus
melakukan perbaikan administrasi serta SDM perpajakan. Termasuk dukungan
regulasi yang lain seperti PMK Nomor 73 Tahun 2017 tentang Akses Informasi
Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan.
Memperluas
Kantong Pendapatan
Karena pilihan untuk
mengeksploitasi wajib pajak yang sudah eksis bukanlah opsi yang bijak,
pemerintah harus menghidupkan alternatif lain yang dapat membantu meringankan
beban fiskal negara. Opsi alternatif yang terdekat ialah memanfaatkan
investasi yang tengah ditanam pemerintah melalui dana desa.
Tujuan utama dari dana desa tampak sangat
mulia, yang di antaranya adalah ditujukan untuk meningkatkan pelayanan publik
di desa, mengentaskan masyarakat dari kemiskinan, memajukan perekonomian
desa, mengatasi kesenjangan pembangunan antardesa, serta memperkuat
masyarakat desa sebagai subjek pembangunan.
Output dari dana desa
secara normatif akan membangun kutub-kutub ekonomi baru dan menambah jumlah
orang kaya, khususnya di kawasan perdesaan. Kenaikan jumlah orang-orang kaya
secara teoretis nantinya akan berefek pada penguatan konsumsi, perluasan
investasi, peningkatan produksi, dan bermuara pada pertumbuhan ekonomi.
Dalam perjalanannya, dana
desa yang telah ditransfer untuk dikelola pemerintah desa ternyata masih
membutuhkan waktu untuk bisa diterapkan dengan ideal. Tapi setidaknya ada
niat baik dari pemerintah pusat agar pemerintah dan masyarakat desa mampu
menentukan dan mengelola kebijakan-kebijakan pembangunan secara mandiri.
Problem yang masih
menggelayuti untuk sementara ini berpusat pada kesiapan pemerintah desa. Dan
lebih dalamnya lagi juga berkutat pada kelemahan SDM, infrastruktur desa,
serta hubungan kelembagaan dengan pemerintah kabupaten/kota terkait dengan
administrasi dan pengelolaan dana lainnya yang juga diperuntukkan bagi
pemerintah desa (dana bagi hasil/DBH, alokasi dana desa/ADD, dan sebagainya).
Dalam lingkup pembangunan
makroekonomi daerah, keberhasilan dana desa dan sumber pendanaan bagi desa
lainnya diharapkan akan berpengaruh pada kinerja urbanisasi yang lebih baik.
Sebagai fenomena sosial dan ekonomi, urbanisasi memang sulit dihindarkan
karena daya tawar kehidupan di kota cenderung lebih menggiurkan ketimbang
bertahan hidup di desa.
Permasalahan sosial
tersebut pada umumnya bermula pada sudah jenuhnya kemiskinan, pengangguran,
dan tingkat kehidupan yang lebih layak di desa. Akan tetapi celakanya tidak
semua kaum yang bermigran ke kota dibekali dengan skill yang mumpuni sehingga
urbanisasi seharusnya juga dikelola dengan lebih baik.
Yang penulis harapkan,
jangan sampai urbanisasi hanya menjadi media mutasi masalah sosial perdesaan
menuju wilayah perkotaan. Oleh karena itu dana desa dan kebijakan pendukung
lainnya harus betul-betul dioptimalkan. Minimal dengan melalui pemerataan
pendidikan dan aspek pembangunan SDM lainnya, urbanisasi akan berjalan lebih
berkualitas.
Maksud dari urbanisasi
yang berkualitas ialah para pelaku sudah membawa keahlian dan jaringan yang
lebih baik untuk bisa memberikan nilai tambah pada sektor industri maupun
sektor jasa yang biasanya mendominasi perkotaan. Sebagai bahan komparasi,
pengaruh urbanisasi terhadap pertumbuhan ekonomi di setiap negara ternyata
cukup bervariasi.
Menurut World Bank (2016),
pertumbuhan urbanisasi Indonesia selama enam dasawarsa terakhir menjadi yang
tercepat di Asia dengan rata-rata mencapai 4,4% per tahun. Namun sayangnya
dampak terhadap pertumbuhan ekonominya tidak lebih menjanjikan jika
dibandingkan dengan negara Asia lainnya. Misalnya kita bandingkan antara
Indonesia dan India, Tiongkok serta Thailand.
Di India dengan adanya
pertumbuhan urbanisasi sebesar 1%, mereka dapat menghasilkan peningkatan PDB
per kapita hingga sebesar 13%. Kemudian di Tiongkok ada eskalasi sebesar 10%
dan Thailand meningkat 7%.
Adapun di Indonesia efek
adanya urbanisasi hanya meraup pertumbuhan PDB tidak lebih 4%. Hal ini
semakin memperkuat indikasi bahwa ada sesuatu yang salah dengan pola
urbanisasi kita.
Hal lain yang harus
dikelola adalah upah minimal provinsi atau kabupaten. Jika perbedaan upah
antarwilayah cukup besar, hal itu akan mendorong (push factor) urbanisasi
yang lebih masif. Selain itu kesempatan kerja di desa juga perlu dikelola
dengan lebih baik.
Di sini peran dana desa
untuk membuka peluang kesempatan kerja baru, khususnya pada periode off
season (tidak ada produksi pertanian). Beberapa pemerintahan desa telah
membuktikan mampu menampilkan lapangan kerja baru seperti jasa pariwisata,
ojek untuk angkutan pertanian (karena jalan desa semakin baik).
Strategi Presiden Jokowi
untuk memperkuat manfaat dana desa melalui program padat karya cash for work
juga perlu kita sambut dengan baik. Program ini bisa menghidupkan kekuatan
konsumsi masyarakat desa melalui perbaikan lapangan kerja dan tingkat
pendapatannya.
Dengan pembelajaran yang
terjadi pada tahun 2017, penulis yakin pertumbuhan ekonomi Indonesia akan
lebih baik, termasuk dari sisi pemerataan yang selama ini banyak dilupakan.
Selama ini kita tidak cukup sadar bahwa era reformasi politik yang kemudian
menjurus pada pola desentralisasi berjenjang ternyata memberikan mimpi buruk
berupa kenaikan ketimpangan.
Dana desa dapat menjadi
motor yang membawa desa agar pembangunannya tidak semakin tertinggal dari
kota sehingga output dari dana desa ini sangat diharapkan mampu meningkatkan
kelas ekonomi masyarakat desa, minimal agar derajat pendapatan mereka segera
diangkat ke level pendapatan kelas menengah.
World Bank (2017)
mengatakan bahwa para penduduk kelas menengah nantinya akan menjadi penyelamat
perekonomian bagi Indonesia dengan perannya sebagai kantong baru penyuplai
penerimaan pajak. Ketika dana desa sudah mampu meningkatkan derajat ekonomi
masyarakat desa, berikutnya kita tinggal mengarahkan kebijakan lepas landas
menuju Indonesia sebagai negara berpendapatan menengah ke atas.
Kita juga berharap pada
2018 situasi politik di tengah gegap gempita pilkada dan menjelang pilpres
juga tetap kondusif untuk masyarakat dan pelaku ekonomi lainnya. Demikian
halnya juga kondisi perekonomian dapat membaik di persimpangan politik global
yang terus menghangat berkat atraksi politik dari Korea Utara, Israel, dan
Palestina serta kecenderungan strategi inward looking perekonomian yang
dilakukan beberapa negara maju.
Walaupun begitu emerging
market ternyata masih menunjukkan perkembangan positif dan sebagian besar
mereka adalah partner Indonesia di dalam perekonomian. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar