Melawan
Narasi Kebencian
Munawir Aziz ; Wakil Sekretaris LTN
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama
|
KOMPAS,
19 Januari
2018
Dalam beberapa tahun ini,
narasi keindonesiaan kita berlumuran kebencian. Aroma kebencian menyengat,
baik di ruang-ruang diskusi, yang bergeser menjadi perdebatan, maupun
interaksi di media sosial.
Narasi kebencian ini
seakan menyandera optimisme generasi muda terhadap masa depan bangsanya.
Kebencian seakan jadi rangkaian tanpa ujung, lorong gelap tanpa pintu keluar.
Kebencian menemukan letupan lanjutan dengan bahan bakar kepentingan politik
ataupun persaingan ekonomi bernapaskan egoisme.
Bara kebencian seolah
disiram bahan bakar amarah, dengan rekayasa politik untuk merenggut kekuasaan
oleh segelintir elite. Sementara korban kebencian ini adalah warga negeri ini
yang jumlahnya ratusan juta orang.
Riset Wahid Foundation
bekerja sama dengan Lembaga Survei Indonesia, pada April 2016, mengungkap
betapa kebencian menjadi wajah milenial kita. Dari survei ini, ada 10
kelompok yang jadi sasaran kebencian di negeri ini. Kelompok lesbian, gay,
biseksual dan transjender (LGBT) berada di pucuk kebencian (26,1 persen),
selanjutnya komunis (16,7), Yahudi (10,7), Kristen (2,2), Syiah (1,3), Wahabi
(0,5), Buddha (0,4), China (0,4), Katolik (0,4), dan Khonghucu (0,1).
Dari survei ini, juga
tergambar betapa 59,9 persen responden memiliki kelompok yang dibenci. Dari
angka ini, 92,2 persen tidak setuju jika anggota kelompok yang dibenci jadi
pejabat pemerintah di negeri ini. Sementara 82,4 persen tidak rela anggota
kelompok yang dibenci menjadi tetangga mereka. Ini sungguh data yang menampar
kita, betapa ciri khas keramahan bergeser menjadi letupan kemarahan.
Dari data survei ini, 0,4
persen responden mengaku pernah berpartisipasi dalam kegiatan yang melibatkan
kekerasan atas nama agama. Sementara 7,7 persen menyatakan bersedia
berpartisipasi dalam gerakan radikal.
Satu hal yang menarik
adalah kebencian terhadap kelompok Yahudi di Indonesia. Padahal, warga Yahudi
seakan tidak pernah muncul di permukaan atau ruang interaksi sosial di negeri
ini. Setelah sebuah sinagog Yahudi di Surabaya rata dengan tanah seusai
ancaman bertubi-tubi pada 2009, komunitas
Yahudi cenderung tidak tampak di ruang sosial. Sebagian warga Yahudi
berinteraksi secara terbatas di sebuah sinagog di Tondano, Minahasa. Meski
sangat jarang muncul di ruang publik di negeri ini, Yahudi sering dihujat
warga Indonesia, terlebih ketika isu Israel-Palestina memanas.
Kebencian terhadap Yahudi
juga meningkat drastis, yang berdampak pada isu anti-Semit. Laporan riset
Anti-Defamation League (ADL) juga menyebutkan terjadi tren kebencian terhadap
Yahudi di negeri ini. Survei ADL dilakukan melalui 53.100 interview dengan 96
bahasa. Dari data ini, Indonesia termasuk negara yang memiliki warga
anti-Yahudi terbanyak keempat di Asia. Kita hanya kalah dari Malaysia,
Armenia, dan Korea Selatan.
Panah
kebencian
Narasi kebencian harus
dilawan dengan narasi perdamaian, rekayasa sosial dalam meneguhkan resolusi
konflik. Harus diakui, dinamika politik pada 2017 dengan panah isu etnis
menorehkan luka di sekujur tubuh keindonesiaan kita. Ceramah-ceramah
keagamaan di beberapa rumah ibadah masih beraroma kebencian, padahal
perhelatan politik Pilkada DKI Jakarta telah usai. Mengobarkan api kebencian
itu sangat cepat, sementara memadamkan amarah itu butuh waktu tidak sebentar.
Generasi milenial, barisan
generasi muda negeri ini, harus diselamatkan dari amukan api kebencian ini.
Meski mereka sangat optimistis dengan masa depan Indonesia, pandangan
terhadap orang-orang yang berbeda agama masih menunjukkan kekhawatiran,
terlebih ada kelompok-kelompok yang dibenci, hanya berbekal informasi dari
media, konten media sosial yang terkadang mengandung hoaks, dan prasangka
tanpa bukti.
Survei nasional CSIS
dilakukan periode 23-30 Agustus 2017, melibatkan 600 responden generasi
milenial dengan rentang usia 17-29 tahun dari 34 provinsi se-Indonesia. Dari
survei ini, generasi milenial kita cukup optimistis atas masa depan
Indonesia. Sebanyak 26,9% sangat optimistis dan 62,3% cukup optimistis.
Sebanyak 52% dari mereka tak setuju dan 32% kurang setuju dengan gagasan
mengganti Pancasila dengan ideologi lain.
Pada ranah interaksi
antar- agama, penerimaan terhadap warga yang berbeda agama masih sangat
rendah. Sebanyak 58,4% tidak menerima pemimpin yang berbeda agama. Sementara
39,1% menerima pemimpin yang tidak sama aliran agamanya.
Definisikan
ruang publik
Interaksi generasi
milenial negeri ini, serta lintas generasi kita, menggunakan bermacam
platform media sosial yang mudah diakses. Pengguna telepon genggam dan
pengakses aktif media sosial terus tumbuh pesat sejalan dengan perbaikan
infrastruktur digital di negeri ini.
Data dari WeAreSocial dan
Hootsuite 2017, pengguna internet di negeri ini tumbuh 51 persen (Mei 2017).
Ini adalah angka pertumbuhan signifikan, bahkan terbesar di dunia. Pengguna
internet sebesar 132 juta, 40% di antaranya penggila media sosial.
Pertumbuhan pengguna media sosial meningkat sebesar 39% dibanding tahun
sebelumnya.
Lalu, bagaimana melawan
narasi kebencian? Mutlak perlu ada agresivitas untuk melawan kebencian dengan
mengkreasi narasi perdamaian dan merawat kebinekaan kita. Jantung
keindonesiaan kita harus terus dialiri darah optimisme dan asupan oksigen
kedamaian. Inilah pentingnya
memproduksi konten kreatif, sekaligus mengabaikan hoaks beserta perangkatnya
agar tak jadi ”trending topic” atau viral yang direkayasa. Upaya Badan Siber
dan Sandi Negara (BSSN) tidak akan maksimal jika hanya menggunakan perangkat
teknologi tanpa menyentuh sumber daya generasi muda kita.
Therese Tierney, dalam
risetnya, The Public Space of Social Media (2013), berargumentasi bagaimana
mencipta interaksi di media sosial yang signifikan untuk memperbaiki komunikasi
antar-personal. Tierney mengajukan tawaran bagaimana mendesain kota, serta
ruang publik, dalam interaksi offline ataupun online. Pandangan Tierney ini
berpijak pada pola bagaimana menggunakan media sosial dan perangkat digital
secara efektif untuk mendefinisikan ruang publik dengan platform komunikasi
yang berbasis internet.
Mendefinisikan ruang
publik keindonesiaan kita menjadi penting, sebagai ruang interaksi
perdamaian, toleransi, dan keragaman, dalam spektrum komunikasi antarwarga
negara. Sebuah ruang publik yang dibangun dengan komunikasi sehat, dengan
asupan gizi intelektual dan literasi yang diupayakan sepenuh hati. Jadi,
bukan kebencian yang direproduksi sebagai lorong gelap menuju istana
kekuasaan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar