Jokowi
di Bawah Naungan Beringin
Syamsuddin Haris ; Profesor Riset LIPI
|
KOMPAS,
19 Januari
2018
Di luar perkiraan banyak
pihak, Presiden Joko Widodo ternyata mempertahankan Menteri Perindustrian
Airlangga Hartarto dalam Kabinet Kerja. Jokowi bahkan melantik Idrus Marham
sebagai Menteri Sosial menggantikan Khofifah Indar Parawansa yang maju dalam
pemilihan gubernur Jawa Timur. Bulan madu Golkar-Jokowi?
Undang-Undang Kementerian
Negara tidak melarang seorang menteri merangkap menjadi ketua umum atau
petinggi partai politik. Namun, sebelum terpilih sebagai presiden, Joko
Widodo pernah mengemukakan keinginannya agar para menteri yang membantunya di
kabinet tidak merangkap jabatan struktural di partai politik.
Komitmen Presiden Jokowi
itu ditegaskan kembali pada masa awal pemerintahan. Jokowi menilai bahwa
rangkap jabatan akan membuat kerja menteri tidak fokus. ”Satu jabatan saja
belum tentu berhasil, apalagi dua,” ujar Jokowi saat ditanya awak media
terkait alasannya menolak rangkap jabatan.
Komitmen Jokowi diapresiasi publik karena
rangkap jabatan selalu berpotensi memunculkan konflik kepentingan. Selain
itu, perhatian yang terbelah antara posisi sebagai pembantu presiden dan pimpinan
partai politik hampir pasti akan mengganggu atau membuat program-program
pemerintah yang menjadi tanggung jawab kementerian tidak bisa maksimal.
Partai politik juga turut mengapresiasi komitmen Presiden sehingga mereka
mematuhinya.
Ketua Umum Partai
Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar, yang konon pernah ditawari
jabatan menteri kabinet, akhirnya menolak karena lebih memilih posisi sebagai
orang nomor satu di partai kaum nahdliyin tersebut. Menteri Koordinator
Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto harus melepas jabatannya sebagai Ketua
Umum Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) sebagai risiko menerima tawaran
Presiden Jokowi masuk ke dalam Kabinet Kerja.
Pertanyaannya, mengapa Presiden Joko Widodo
membiarkan Airlangga Hartarto yang terpilih sebagai Ketua Umum Partai Golkar
untuk menggantikan Setya Novanto tetap menjabat sebagai Menteri
Perindustrian?
Perkokoh
kaki politik
Sulit dimungkiri,
perombakan kabinet yang dilakukan Presiden di tahun politik tidak hanya
diperlukan untuk mengisi kekosongan jabatan menteri sosial yang ditinggalkan
Khofifah Indar Prawansa, tetapi juga dalam rangka memperkokoh kaki politik
Jokowi menjelang Pemilu 2019. Persoalannya, keputusan Mahkamah Konstitusi
yang menolak uji materi syarat ambang batas pencalonan presiden sebesar 20
persen kursi atau 25 persen suara DPR semakin mengerucutkan pasangan calon
presiden 2019 menjadi dua sosok, yakni Jokowi sebagai petahana dan Prabowo
Subianto sebagai penantang. Peta pasangan calon di pilpres yang semakin jelas
itu meniscayakan Jokowi memperkokoh kaki politik koalisi pendukungnya.
Bagi Jokowi, komitmen dukungan PDI
Perjuangan hanya soal waktu. Seperti yang sering dilakukan sebelumnya, saat
mengumumkan pasangan calon, baik untuk pilpres maupun pilkada, Ketua Umum PDI
Perjuangan Megawati Soekarnoputri hampir selalu memilih waktu di akhir.
Risikonya, para pasangan calon yang diusung partai banteng hampir selalu
dihinggapi stres politik yang tinggi menanti kepastian keputusan politik yang
menjadi hak prerogatif ketua umum. Apalagi, seperti sering diulang oleh Ketua
Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri, para kader—termasuk Jokowi—adalah
”petugas partai” yang harus siap menerima perintah partai kapan dan di mana
pun.
Saya berpendapat, Presiden Jokowi secara
diam-diam mengantisipasi kemungkinan seperti itu dengan cara memberi apresiasi
kepada setiap partai politik yang secara prematur memberi dukungan politik bagi pencalonannya
kembali pada Pilpres 2019. Insentif itulah yang dinikmati Partai Golkar
dewasa ini sehingga Jokowi harus mengorbankan janji politiknya agar para
pembantunya tidak rangkap jabatan sebagai pimpinan partai politik.
Bulan
madu Jokowi-Golkar
Seperti diketahui, Partai Golkar sebenarnya
bukanlah parpol pengusung Jokowi, seperti PDI Perjuangan, Partai Nasional
Demokrat (Nasdem), PKB, Partai Hanura, serta Partai Keadilan dan Persatuan
Indonesia (PKPI). Dengan kata lain, Golkar tidak turut ”berkeringat” seperti
lima partai yang kemudian tergabung dalam Koalisi Indonesia Hebat (KIH). Saat
kompetisi Pilpres 2014, Golkar menjadi bagian dari Koalisi Merah Putih (KMP),
bersama-sama dengan Partai Gerindra, PAN, PPP, PKS, dan PBB dalam rangka
mengusung capres Prabowo Subianto.
Oleh karena itu, penambahan jatah Menteri
Sosial Idrus Marham dari Golkar di satu pihak dan dipertahankannya posisi
Ketua Umum Golkar Airlangga Hartarto sebagai Menteri Perindustrian bukan
sekadar momen kedekatan Jokowi-Golkar. Lebih dari itu, realitas politik
tersebut merupakan momen bulan madu politik antara Jokowi dan Partai Golkar.
Persoalannya, Jokowi belum memperoleh kepastian dukungan politik itu dari
basis politiknya sendiri, PDI Perjuangan.
Di tengah upaya dan kerja kerasnya membangun
negeri, antara lain melalui percepatan pembangunan infrastruktur, Jokowi
memerlukan kepastian politik, apakah bisa memperpanjang pemerintahannya
melalui Pilpres 2019 atau tidak. Kepastian itulah yang diperoleh Jokowi
melalui dukungan politik Golkar (91 kursi DPR), Nasdem (35), Hanura (16), PKB
(47), dan PPP (39). Tanpa PDI Perjuangan, Jokowi bisa diusung lima parpol
tersebut dengan jumlah kursi total 228 kursi (40,7 persen), jauh di atas
syarat ambang batas pencalonan presiden, yakni minimum 20 persen kursi DPR.
Kemunculan Jenderal TNI (Purn) Moeldoko—anggota Dewan Pembina dan salah
seorang Wakil Ketua Umum Partai Hanura—sebagai Kepala Staf Kantor Presiden menggantikan
Teten Masduki bisa dijelaskan dari sudut pandang ini, yakni kebutuhan Jokowi
untuk konsolidasi dukungan menjelang 2019.
Hal ini menimbulkan spekulasi, jangan-jangan
Presiden Jokowi secara politik merasa lebih ”nyaman” di bawah naungan pohon
beringin ketimbang berada di kandang banteng. Apakah benar demikian? Tentu
hanya mantan wali kota Solo (2005-2012) dan gubernur Jakarta (2012- 2014) itu
sendiri yang bisa mengonfirmasi dan menjawabnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar