Minggu, 14 Januari 2018

Masihkah Anda Mengidolakan Ahok?

Masihkah Anda Mengidolakan Ahok?
Xavier Quentin Pranata ;  Dosen dan Pembicara Publik
                                                   DETIKNEWS, 11 Januari 2018



                                                           
Di tengah panasnya api pemberitaan negatif tentang Ahok, saya menemukan sejuknya oase karya Yanu Arifin di detikSport berjudul Maukah Kamu Berganti Klub Idola Jika Ditawari Mobil dan Uang Rp 3,2 M? Intinya begini. Artikel itu membahas video Bundesliga yang mengunggah video teaser yang ditujukan bagi para fans yang sedang menganggur karena jeda musim dingin.

Dua orang 'agen' diminta untuk merayu para maniak bola untuk memindahkan loyalitas mereka ke klub bola lain. Oliver Roemer loyalis Borussia Dortmund, Michael Zeman pendukung Bayern Munich, dan Martin Siermann 'bonek' Borussia Moenchengladbach diiming-imingi uang, mobil, dan popularitas agar memindahkan dukungan ke klub lawan.

Roemer diminta untuk jadi fans Schalke 04 —rival Dortmud dalam derby Ruhr— Sierman digoda untuk mendukung FC Koln —rival Gladbach dalam derby Rhine— dan Zeman dirayu untuk mendukung Dortmund, rival Bayern.

Bagaimana hasilnya? Sungguh mengagumkan dan membuat saya terharu.

"Tindakan ini seperti menjual identitas saya. Saya tidak bisa melakukannya," tampik Roemer.

"Tidak, uang tak jadi soal. Ini urusan hati. Saya terlahir sebagai fans Gladbach dan akan tetap seperti itu," tegas Siermann.

"Saya fans Bayern. Sekali Bayern, tetap Bayern," tepis Zeman.

Video Bundesliga itu diakhiri dengan kalimat yang menyentakkan kesadaran kita semua, "Fans sejati tidak bisa dibeli!"

Alangkah bedanya apa yang terjadi di lapangan bola dengan dunia politik. "Tidak ada kawan sejati di politik, yang ada hanya kepentingan pribadi," begitu ucapan yang sering saya dengar. Belantara berita tentang Ahok pun membuat orang yang tidak punya peta pikiran yang jernih bisa ikut tersesat.

"Ah, berita hoaks kok disebarin," begitu komentar sinis seorang ibu di acara arisan.

"Paling-paling untuk mengalihkan isu kerja pejabat yang nggak bener," ujar seorang sopir taksi online.

"Saya kok nggak percaya orang sekaliber Ahok bisa menceraikan istrinya," ujar seorang dokter.

"Mengapa tidak? Tidak ada orang yang steril terhadap kesalahan," ujar seorang notaris.

"Jika pernikahan Ahok dan Veronika Tan bubar, masalah buat lo?" begitu tulis sahabat saya.

Pemberitaan masalah keluarga Ahok ini bahkan lebih gaduh daripada kasus perceraian musisi kenamaan dengan penyanyi papan atas tanah air, lebih riuh ketimbang bintang film kenamaan yang terjerat narkoba, bahkan lebih gemuruh ketimbang perseteruan antara motivator kondang dengan anaknya.

"Kok begitu saja diributin?" ceplos seorang anak SD.

Saya senang dengan komentar polos kids zaman now ini. Mengapa? Banyak stigma negatif yang dicapkan di dahi mereka oleh adults zaman old kepada mereka. Ternyata mereka justru punya pikiran yang lebih jernih dan belum terpolarisasi antara lovers dan haters, terpolusi dengan berbagai kepentingan dan terdekadensi dengan keuntungan sesaat.

"It is easier to build strong children than to repair broken adults," ujar F. Douglass yang saya amini dengan cepat dan kencang.

Jika di dunia politik kawan bisa menjadi lawan, akankah lovers Ahok bisa menjadi hater-nya di kemudian hari karena terlalu kecewa dengan 'kejatuhan' idola mereka? Apakah haters Ahok bersorak sorai karena tokoh yang dibencinya hancur?

Jawabannya kembali kepada pertanyaan yang sangat mendasar: "Mengapa mereka menjadi lovers? Mengapa mereka menjadi haters?" Jika jawaban mereka mengambang, bahkan mengikut arus seperti, "Karena banyak orang yang mengidolakan, saya jadi ikut," atau, "Karena teman-teman saya membencinya, saya juga," maka orang-orang seperti inilah yang akan dibuat bingung, bahkan kehilangan arah, saat idola atau musuh mereka mengalami perubahan sikap.

Mereka kehilangan arah dan sikap hidup karena mengikuti arus bernama floating mass. Hanya ikan mati yang terseret arus.

Ketimbang jadi ikan asin, apalagi ikan mati membusuk, lebih baik kita menjadi manusia salmon, bukan manusia setengah salmon.

Saat berada di Salmon Run di Kanada bersama keluarga, saya bisa melihat dari jarak amat dekat para salmon yang dengan penuh perjuangan meloncati setiap rintangan untuk kembali ke tempat mereka berasal. Di sana mereka akan kawin, bertelur, dan mati.

Meski jalurnya itu-itu saja, tetapi salmon punya tujuan yang jelas: hidupnya bermanfaat. Bukan hanya bagi keluarganya, tetapi juga komunitasnya dan terlebih bagi penggemar sashimi seperti saya dan putra bungsu saya.

Kembali ke pertanyaan inti: bagi para die hard Ahoker, "Masihkah Anda mengidolakan Ahok?" Sekali lagi, jawaban Anda menentukan kualitas nilai dasar yang Anda pegang selama ini. Apakah Anda mengidolakan Ahok karena prestasi, prestise, atau pribadi? Jika semua unsur yang Anda idolakan itu runtuh, apakah kecintaan Anda terhadapnya ikut luruh? Ketika idola Anda rubuh, apakah Anda ikut jatuh bersamanya?

Tiba-tiba saja saya teringat dengan lagu diva pop idola orang sedunia, Michael Jackson. Perhatikan lirik lagu Man In The Mirror berikut:

I'm starting with the man in the mirror
I'm asking him to change his ways
And no message could have been any clearer
If you wanna make the world a better place
Take a look at yourself and then make a change

Saat idola kita mengambil langkah yang berbeda dengan kita, kita ingin —bahkan paksa— dia untuk berubah. Kita merasa langkah kita jauh lebih baik daripada dia. Seperti lagu di atas, ketimbang kita berusaha keras untuk mengubah dia menjadi seperti yang kita harapkan, dan kecewa berat saat itu tidak terjadi, mengapa kita tidak mengubah diri kita sendiri agar dunia menjadi tempat yang lebih indah untuk dihuni dan dinikmati?

Ketimbang mengidolakan figur publik, mengapa tidak berusaha sungguh-sungguh untuk meninggikan Sang Khalik agar kita bisa menjadi yang terbaik?

Saat bingung menjawab pertanyaan ini, marilah kita melihat ke cermin dan berkata, "Fans sejati tidak bisa dibeli." ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar