Potret
Buruk Pelayanan Publik
Laode Ida ; Wakil Ketua DPD RI
2004-2014; Komisioner Ombudsman
|
KOMPAS,
17 Januari
2018
Di tengah hiruk pikuk
perebutan kekuasaan di Tanah Air, terbetik berita memprihatinkan dari tanah
Papua. Akibat gizi buruk dan campak, sedikitnya 63 anak usia di bawah lima
tahun (balita) di Kabupaten Asmat meninggal akibat terserang campak dan gizi
buruk. Puluhan anak lainnya dikabarkan belum juga memperoleh penanganan medis
(Kompas, 14/1/2018).
Kenyataan itu tidak bisa
dimungkiri adalah bukti konkret buruknya pelayanan publik untuk pemenuhan hak
dan kebutuhan dasar warga di daerah terpencil seperti Papua. Suatu masalah
klasik yang dihadapi warga bangsa di timur Indonesia itu.
Kita masih ingat tragedi
gizi buruk di Kabupaten Yahukimo (lebih dari 10 tahun lalu) yang korbannya
juga anak balita. Ironisnya, pemerintah tidak kunjung bertindak mencegah.
Faktor
kondisional
Setidaknya ada tiga faktor
kondisional yang membuat mereka tidak terlayani. Pertama, posisi
keterisolasian lokasi yang ekstrem, sulit dijangkau. Jangankan para pengambil
kebijakan atau pemimpin negara di Jakarta, para pejabat (politisi dan
birokrat) di Provinsi Papua—bahkan Kabupaten Asmat—kemungkinan akan tidak
bersemangat berkunjung ke lokasi seperti itu.
Masalah utamanya memang
sulitnya aksesibilitas karena sarana dan prasarana transportasi yang buruk
plus biaya mahal.
Para pejabat lokal di
daerah itu akan sangat bergairah mondar-mandir ke Jakarta atau ke kota-kota
besar lainnya, menghabiskan uang negara dalam jumlah besar, ketimbang
berkunjung ke lokasi terpencil. Maka, masalah sosial di kawasan terpencil
tidak teridentifikasi baik.
Setelah korban berjatuhan
dan terungkap ke publik seperti sekarang, barulah pejabat lokal dan pusat
ramai-ramai berkunjung ke sana, mengirim misi bantuan.
Kedua, kebijakan anggaran
yang tidak fokus pada penanganan masalah sosial dan atau pelayanan kebutuhan
dasar di daerah terpencil. Basis alokasi anggaran Indonesia memang selalu
merugikan warga di daerah terpencil. Pasalnya, perhitungan pengalokasian
selalu berdasarkan jumlah penduduk. Daerah terpencil di Papua sama sekali
tidak masuk dalam hitungan kebijakan politik anggaran yang ideal untuk
pelayanan yang layak bagi masyarakat.
Dengan kata lain, politik
dan kebijakan anggaran di negeri ini cenderung diskriminatif, berupa
pengabaian warga di pedalaman yang jauh terpencil.
Untuk memastikan sentuhan
pelayanan terhadap masyarakat yang layak dan prima di daerah- daerah
terpencil, hitungannya bukan satu sektor seperti bidang pendidikan atau
kesehatan saja. Daerah terpencil harus dibangun secara terintegrasi
(integrated development for remote areas) sehingga memerlukan anggaran
memadai. Perhitungan alokasi harus bersifat afirmatif.
Otonomi
khusus
Bagi warga Papua, memang,
sudah ada kebijakan khusus untuk alokasi anggaran, diatur dalam UU Nomor 21
Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) Papua. Sejak pemberlakuan UU Otsus
Papua (2002-2017), sudah digelontorkan dana hampir Rp 68 triliun (termasuk
melalui APBN 2017 yang mencapai lebih dari Rp 8 triliun untuk Provinsi Papua
dan Papua Barat).
Program pembangunan
kesehatan merupakan salah satu fokus utama dana otsus, di samping untuk
program pendidikan, pemberdayaan masyarakat, dan infrastruktur. Pemerintah
Papua sebenarnya sudah meluncurkan Kartu Papua Sehat (KPS), tetapi mengapa
masih ada saja warga yang mengalami masalah kesehatan serius? Ini yang perlu
dievaluasi secara khusus.
Ketiga, pelayanan
kesehatan yang buruk di pedalaman Papua juga dirasakan warga daerah terpencil
lain di negeri ini. Di samping sarana dan prasarana yang tidak memadai, juga
ada keengganan petugas untuk bekerja dan sekaligus tinggal di sana.
Para dokter lulusan dari
perguruan tinggi ternama di negeri ini tidak banyak yang siap bertugas di
daerah-daerah seperti itu. Bukan sekadar soal insentif yang dianggap masih
rendah, melainkan juga faktor karakter dedikatif yang masih rendah—jarang
yang berwatak voluntaristik dan berorientasi pada pengabdian—selain mungkin
juga keamanan.
Oleh karena itu, yang
banyak menjalankan tugas pengabdian di daerah-daerah terpencil dan serba
terbatas seperti itu adalah para aktivis dari lembaga swadaya masyarakat,
baik dari dalam maupun luar negeri,
termasuk di dalamnya para pengingat misi agama.
Potensi yang disebut
terakhir ini sebenarnya bisa dimanfaatkan oleh pemerintah dengan bekerja sama
dan sekaligus memberikan insentif khusus yang memadai dengan melekatkan unsur
profesionalisme khusus, misalnya di bidang pelayanan kesehatan.
Bagi pemerintahan Presiden
Jokowi, tragedi buruknya pelayanan kesehatan bagi warga di Kabupaten Asmat
itu merupakan bagian dari kegagalan terkait dengan salah satu misi Nawacita:
membangun dari pinggiran.
Pada saat yang sama, dan
ini harus diantisipasi, kasus itu bukan mustahil akan secara politik
dieksploitasi oleh komunitas internasional yang semangatnya sama dengan
gerakan separatis, yakni pembiaran terus bisa diartikan sama dengan
pembunuhan orang-orang Papua. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar