Kesukuan
dan Kebangsaan
Taufik Ikram Jamil ; Sastrawan dan Sekretaris Umum Majelis Kerapatan
Adat, Lembaga Adat Melayu Riau
|
KOMPAS,
30 Desember
2017
Simposium nasional dengan
tema menghormati keberagaman, menjaga kesatuan dan persatuan bangsa,
dilaksanakan di Gedung Nusantara IV MPR, Senin (11/12). Dilaksanakan oleh MPR
bekerja sama dengan Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum
Administrasi Negara, penyelenggara simposium mendatangkan narasumber dari
berbagai unsur seperti agama, adat, akademisi, dan birokrasi.
Simposium tersebut tentu
saja penting di tengah kecenderungan persatuan dan kesatuan yang seperti
digoyang dari berbagai sisi. Dapat disebutkan bahwa goyangan itu senantiasa
pula diwarnai primordialisme, khususnya berkaitan dengan agama dan suku
(etnis). Tak jarang pula kedua sosok primordialisme itu saling mengisi untuk
suatu kejadian.
Tanpa perlu menunjukkan
secara rinci, hal tersebut hampir dapat dicontohkan pada pemilihan kepala
daerah gubernur Jakarta, awal 2017. Ihwal agama dan suku diaduk untuk
keperluan tertentu. Hal ini kemudian diperlebar sehingga diduga menghasilkan
pola politik Indonesia dalam Pemilu 2019, yang tidak hanya memilih anggota
legislatif, tetapi juga presiden.
Hampir dapat dipastikan,
masih terkendalinya goyangan terhadap persatuan dan kesatuan bangsa—terutama
yang coba dipicu dari sisi kesukuan—disebabkan masih hidupnya potensi
persatuan dan kesatuan bangsa dalam setiap suku. Suara perwakilan-perwakilan
suku—mulai dari Aceh sampai Nusa Tenggara Timur—yang mengemuka dalam
simposium ini masih memperlihatkan potensi tersebut sebagai bagian yang belum
terpisahkan dari kehidupan terkini.
Pada suku Melayu,
misalnya, hakikat persatuan itu mendapat label khusus, yakni sebagai inti
kepribadian sebagaimana diungkapkan oleh Tenas Effendy dalam kitab Tunjuk
Ajar Melayu (1994 dan 2015). Dengan demikian, sikap persatuan dipandang
sebagai sesuatu yang naluriah sehingga untuk mewujudkannya tidak memandang
suku ataupun bangsa. Hal inilah yang kemudian menyebabkan Melayu senantiasa
terbuka kepada suku lainnya.
Tunjuk Ajar Melayu itu
juga mencantumkan dasar persatuan dengan tindakan kerja sama tersebut.
Ternyata, hal ini merupakan salah satu cara Melayu untuk menjalankan ajaran
Islam, misalnya dengan keyakinan bahwa semua manusia di dunia ini adalah
makhluk ciptaan Allah SWT. Dalam ungkapan adat disebutkan: ketuku batang
ketakal/ duanya batang keladi muyang/ kita sesuku dengan seasal/kita senenek
serta semoyang.
Hal itu senapas dengan
yang ditulis Ramlan Surbakti (2013: 57). Menurut dia, persepsi yang sama
tentang asal-usul dan sejarah tidak hanya melahirkan solidaritas, tetapi juga
tekad dan tujuan yang sama antarkelompok. Solidaritas, tekad, dan tujuan yang
sama itu menjadi identitas yang menyatukan mereka sebagai bangsa, membentuk
konsep ke-”kita”-an dalam masyarakat.
Kesejagatan
Memang, potensi persatuan
berbangsa pada suku-suku itu pula yang jadi tapak berdirinya Republik
Indonesia. Bukankah Sumpah Pemuda 1928 tak lain sebagai penggumpalan sikap
serupa dari para pemuda atas nama suku ataupun tempat tertentu yang saling
mengidentifikasi? Jong Java, Jong Selebes, Jong Ambon, dan Jong Sumatera,
misalnya, menunjukkan keberadaan penggumpalan suku dalam wadah yang bernama
Indonesia.
Hanya kemudian, di tengah
kesibukan pembangunan, kesukuan itu terlupakan. Keseragaman menjadi kata
kunci untuk persatuan dan kesatuan. Di sisi lain, eksistensi suku coba
digulung di bawah kecemasan yang menunjukkan justru suku dapat memecahkan
persatuan. Bersamaan dengan hal itu, Indonesia juga harus berdampingan dengan
negara-negara lain dalam pergaulan kesejagatan atau global.
Sampailah kenyataannya
pada abad ke-21 ini, pergaulan sejagat
cenderung berusaha menemukan identitas sebagaimana dikaji futuristik
seperti John Naisbitt dan Patricia
Aburdene melalui buku Megatrends 2000. Identitas hanya dapat ditemukan dalam
tradisi dan agama, sedangkan sektor lain, seperti politik dan ekonomi, telah
bias. Kehidupan agama jadi subur dan kesukuan menjadi sesuatu yang dicari
lagi.
Tak mengherankan,
misalnya, apabila orang terlihat makin religius yang selalu diwujudkan dalam
simbol-simbol agama. Terlepas dari tingkat keimanan,
pengalaman—misalnya—menunjukkan, amat jarang ditemui perempuan dewasa berjilbab
di Pekanbaru pada awal 1980-an, tetapi sekarang tidak demikian. Sementara
otonomi daerah dalam era Reformasi memungkinkan kesukuan ditampilkan, apalagi
bagi suku yang mengaitkan eksistensinya dengan agama.
Sebagaimana lazim terjadi,
sesuatu yang baru disambut dengan sensitivitas tinggi untuk tidak
mengatakannya euforia. Oleh karena setiap suku pada kondisi sensitivitas
serupa, sudah jelas keadaan tersebut dapat ”diolah” dengan maksud-maksud
pragmatis. Sifat elite, apalagi dalam konteks politik, akan selalu
memanfaatkannya untuk kepentingan suatu kelompok.
Keadaan ini ditambah
kenyataan perkembangan teknologi komunikasi secara luar biasa, padahal budaya
ditentukan oleh bagaimana situasi komunikasi terjadi. Tingkat sumber daya
masyarakat Indonesia yang belum menggembirakan, misalnya, terlihat melalui
minat baca 1:1.000, disuguhkan dengan perkembangan kemanusiaan lain di luar
alamnya secara bertubi-tubi. Apalagi sarana komunikasi itu belum lagi menjadi
fasilitas pendidikan bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, bahkan tidak
berpihak pada pencerdasan.
Tentu tidak ada kata
terlambat. Di antara cara yang bisa dilakukan terutama oleh pemerintah adalah
bagaimana kembali mewadahi suku sebagai khazanah bangsa, meletakkannya pada
latar depan. Hal ini sebenarnya tercantum dalam Trisakti pembangunan yang
dicanangkan pimpinan nasional yang dipegang Joko Widodo-Jusuf Kalla,
khususnya berkaitan dengan landasan pembangunan yang beridentitas tempatan. Tinggal mengelaborasinya lagi,
kan? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar