Memopulerkan
Karya Sastra
Bernando J Sujibto ; Peneliti sastra dan kebudayaan Turki;
Alumni Sosyal Bilimler
Enstitusu Selcuk University, Konya Turki
|
KOMPAS,
30 Desember
2017
Usaha karya sastra menjadi
populer atau bisa dinikmati secara populus (people, masyarakat luas) tentu
saja tidak harus berasal dari sastra populer. Karya sastra populer menjadi
populer sudah menjadi barang biasa, tetapi karya sastra serius kemudian
menjadi populer akan memantik diskusi yang menarik dalam konteks kajian
kebudayaan kita secara umum. Tetapi naifnya, usaha memopulerkan karya sastra
masih belum menjadi strategi dan ikhtiar serius bagi bangsa dan negara besar
ini, dan kecenderungannya, karya-karya sastra yang sangat berbobot dan
ditulis oleh sastrawan besar—seperti Pramoedya Ananta Toer, Chairil Anwar,
Abdul Muis, Budi Darma, YB Mangunwijawa, dan WS Rendra untuk menyebutkan
beberapa—belum menjadi bagian dari populus, dan bahkan cenderung terasing dari
keseharian masyarakat Indonesia. Bagaimana memopulerkan karya sastra yang
secara teknik ataupun tema ditulis dengan kualitas maksimal dan menonjol
tetapi dibaca dan dikenal secara luas oleh masyarakat?
Sebelum menjawab
pertanyaan di atas, saya ingin masuk terlibat dalam diskusi kategorisasi
karya sastra antara karya populer dan (sastra) serius. Sebenarnya, dua ranah
tersebut sedikit rumit ditelusuri dan dibuktikan secara ilmiah di mana letak
populer dan di mana pula kadar serius dalam karya sastra. Meski para pengkaji
kesusastraan dari dunia akademik telah menemukan formulasi untuk
menjustifikasi perbedaan keduanya, pada satu titik tertentu (misalnya dalam
aspek tema) akan susah dipastikan kadar serius tidak karya sebuah sastra.
Apakah fiksi yang ditulis
tema-tema populis dan sehari-hari misalnya tentang minum kopi, misteri orang
hilang, pembunuhan, nasib percintaan dua anak manusia, atau cara mendidik
anak dan disampaikan dengan santai dan akrab kemudian bisa diklaim sebagai
karya sastra populer? Ataukah prosa yang menulis tema-tema kemanusiaan
tentang kehancuran dan keburaman sejarah, tentang tragedi sebuah bangsa
korban perang tetapi ditulis dengan teknis sederhana, gaya bahasa yang ringan
dan akrab juga dianggap sebagai karya sastra populer?
Dalam beberapa kesempatan
saya menangkap kategorisasi keduanya, misalnya ”bersifat komersil, menghibur,
dan menyajikan secara permukaan” untuk sastra populer. Sementara untuk sastra
serius dikatakan sebagai non-komersil (?), dalam, kreatif, kaya eksplorasi
untuk mencapai daya ungkap dan estetika, dan lain-lain.
Kategorisasi yang
berkembang dengan memakai istilah karya sastra populer dan karya sastra
serius sebetulnya kurang tepat karena tidak semua karya sastra populer
menjadi populer di tengah masyarakat dan tidak semua karya sastra serius juga
tidak populer dan tidak dibaca luas. Saya justru lebih cenderung mengikuti
kategorisasi fiksi yang berkembang di Barat dengan menggunakan istilah genre
fiction dan literary fiction, dua istilah yang bisa dipahami lebih terukur.
Kategori
Genre fiction adalah fiksi
dengan kategori (mempunyai genre), misalnya misteri/thriller, horror, gothic,
romance, inspirational, science fiction, fantasy, dan crime. Ditulis untuk
kepentingan hiburan dan komersial, novel jenis ini tidak terlalu
mempertimbangkan aspek-aspek kepenulisan tingkat tinggi dan secara kualitas
teknik sangat mungkin lemah (contain poor writing). Mereka secara gamblang
tidak dimasukkan ke dalam penulis sastra (nonliterary) karena karya sastra
(literary fiction), dalam pandangan umum mereka, tidak berada dalam kotak
kategori-kategori atau fiksi bergenre. Literary fiction dalam istilah kita
adalah karya sastra serius, yaitu karya fiksi yang mempertimbangkan secara
matang teknik kepenulisan, menjelajahi kedalaman dan kompleksitas karakter,
dan mengulas tema-tema kemanusiaan dengan bumbu sejarah, mitos, politik,
agama, dan lainnya. Dengan demikian, karya yang lahir dari kesadaran proses
produktif literary fiction akan tampak kompleks dan mendalam.
Deskripsi di atas semakin
memperjelas bahwa istilah populer yang kita pahami dan berkembang dalam
diskusi kesusastraan Indonesia bukan terletak pada (sebagai) genre, melainkan
lebih dilihat dari aspek apresiasi dan respons pembaca di tengah masyarakat.
Buktinya, genre fiction yang jamak disebut (karya untuk) entertainment itu
tidak semuanya lantas menjadi populer dalam masyarakat kita, misalnya
novel-novel crime dan horror. Mereka kalah dengan novel-novel dengan kategori
inspirational dan romance, misalnya novel-novel bestseller Andrea Hirata, A
Fuadi, ataupun Habiburrahman El Shirazy.
Dalam perkembangannya,
istilah genre fiction dan literary fiction akan terus mengalami banyak
perubahan dan bahkan penentangan. Munculnya nama-nama seperti John Banville,
Doris Lessing, Iain Banks, dan Margaret Atwood telah memberikan perspektif
baru bahwa kedua istilah tersebut tidak mutlak menjadi batas dalam menulis
fiksi karena mereka terbukti berhasil melakukan keduanya secara bersama-sama,
yaitu menulis fiksi genre ataupun novel sastra dan diakui dunia internasional
sebagai sastrawan juga.
Keterasingan dan
ketidakpopuleran karya sastra di tengah masyarakat kita sebenarnya terletak
pada komitmen bangsa ini yang tidak menganggap karya sastra sebagai bagian
penting yang harus dihadirkan ke gelanggang populer, yaitu kantong-kantong
kehidupan masyarakat. Untuk itu, saya ingin mengetengahkan perkembangan
kesusastraan Turki yang sudah mulai masuk ke dalam ranah budaya populer,
yaitu karya-karya sastra yang sudah akrab dalam sistem kehidupan sosial
mereka.
Dalam konteks kesusastraan
di Turki, dalam rentang tahun 2013-2017, saya acap kali menemukan
keunikan-keunikan yang membuat saya tercengang. Dalam berbagai acara televisi
nasional, saya mendapati para sastrawan Turki hadir dan berbincang-bincang
tentang karya (buku), tradisi, dan budaya, ataupun topik-topik tertentu yang
berkembang di Turki.
Di samping itu, keakraban
karya sastra dengan masyarakatnya dihadirkan lewat lagu-lagu yang
lirik-liriknya diambil dari puisi para penyair. Dalam catatan saya, ada sekitar
25 puisi dari semua penyair terkenal lintas generasi Turki yang sudah
dilagukan oleh penyanyi terkenal dan menjadi populer di tengah-tengah
masyarakat. Puisi dari para penyair besar, seperti Nazim Hikmet, Turgut Uyar,
Necip Fazil Kisakürek, Yahya Kemal, Atilla Ilhan, Orhan Veli, Cemal Sureya,
dan Murathan Mungan, telah dilantunkan ke dalam bentuk lagu dengan berbagai
genre dan menjadi populer di telinga masyarakat. Penyanyi prolifik, seperti
Cem Karaca, Sezen Aksu, Selda Bagcan, Zülfü Livaneli, dan Ahmet Kaya,
mengambil bagian memopulerkan puisi-puisi Turki dalam lagu-lagu mereka.
Dua cara yang menyasar
budaya populer di atas saya kira sangat efektif dalam memopulerkan
karya-karya sastra dan sastrawannya. Dalam riset kecil yang saya lakukan, ada
banyak program TV berkaitan dengan seni budaya (sanat ve kultur) yang tayang
setiap hari di stasiun TV yang berbeda, misalnya membahas karya-karya sastra
atau menghadirkan para sastrawannya. Nama-nama program TV yang fokus membahas
kegiatan kesenian, kebudayaan, dan kesusastraan (termasuk karya-karyanya)
bisa disebutkan misalnya Afis, Gece Gunduz, Acik Sehir, Kilavuz Cizgileri,
Hariçten Gazel, Siirden Turkuye, dan Okudukca.
Di samping itu, ada
nama-nama program TV umum, seperti Oteki Gundem, Simdi ve Burada, dan Once
Soz Vardi, yang tidak jarang menghadirkan para sastrawan, seperti Orhan
Pamuk, Zulfu Livaneli, Mustafa Kutlu, dan Ahmet Unit, untuk memberikan
analisis tentang isu-isu sastra, seni, ataupun kebudayaan. Setiap buku baru
dari para sastrawan terkenal Turki atau karya sastra yang mendapatkan
penghargaan sudah pasti diundang dan membahasnya di banyak kanal televisi di
Turki.
Kegiatan dan program di
atas, masyarakat Turki sudah akrab dengan karya sastra sejak di bangku
sekolah. Kementerian Pendidikan (Milli Egitim) Turki sudah menyiapkan daftar
100 Karya Sastra Dasar (100 Temel Eseri) yang direkomendasikan untuk dibaca
oleh para siswa. Implikasi dari proses masif mendekatkan karya sastra kepada
anak bangsa akhirnya bisa terbaca secara tersurat dalam konteks penerbitan
buku-buku karya sastra mereka. Buku-buku sastra menjadi salah satu komoditas
yang menarik yang laku dan dibeli. Misalnya, karya-karya klasik milik
Sabahattin Ali seperti Kurk Mantolu Madonna (1943) hingga sekarang sudah
terjual jutaan kopi dan naik cetak hingga lebih dari 70 kali.
Akhirnya, kisaran
memopulerkan karya sastra harus menjadi komitmen kita bersama untuk
mendekatkan dan menghadirkan sastra secara lebih akrab dengan masyarakat.
Indonesia harus cepat bergerak untuk mendesain program-program di media-media
mainstream di mana para sastrawan bisa hadir, menyampaikan gagasan, dan
membicarakan buku-bukunya. Di samping itu, pemikiran-pemikiran cerdasnya
harus disorot oleh media seperti TV dengan disediakan program khusus yang
mengangkat perkembangan seni dan sastra secara umum. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar